JAKARTA:(Globalnews.id).—Forum Komunikasi Maritim Indonesia (FORKAMI) menyoroti perizinan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) yang tidak segera diproses atau setidaknya sangat lamban diselesaikan oleh Kementerian Perhubungan, padahal TUKS-TUKS tersebut sudah selesai dibangun.
James Talakua, Ketua FORKAMI mengatakan organisasinya telah menerima banyak
pengaduan dari para pemilik TUKS di Indonesia yang perizinannya masih
menggantung di Kementerian Perhubungan. Mereka mengeluh karena dokumen dan
persyaratan sebenarnya telah dipenuhi, tetapi izin operasi tak kunjung diberikan.
Bahkan, katanya, sudah ada yang sampai tahunan mengurus perizinan persetujuan
pengeloaan TUKS. Akibatnya, mereka harus menggunakan TUKS milik perusahaan
orang lainnya. “Keterlambatan Ditjen Perhubungan Laut dalam memberikan izin
operasi TUKS menyebabkan biaya tinggi bagi industri,” katanya.
Selain soal TUKS, FORKAMI juga mendengar bagaimana sulitnya kapal berbendera
Indonesia yang beroperasi di luar negeri selama masa Pandemi Covid-19. Hal ini
terjadi setelah Ditjen Perhubungan Laut hanya menunjuk PT Biro Klasifikasi Indonesia sebagai satu-satunya yang diberi kewenangan untuk melakukan survey statutoria kapal berbendera Merah Putih yanh beroperasi di luar negeri.
BKI memiliki cabang yang sangat terbatas sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri. Kapal-kapal berbendera Indonesia tersebut sudah menghasilkan devisa, tapi karena proses sertifikasi statutoria yang ruwet, kini mereka merana.”Padahal mereka sudah menghasilkan devisa untuk negara, memangkas defisit
neraca jasa yang selama ini menjadi beban ekonomi negara. Pada saat mereka butuh pelayanan klasifikasi yang cepat dan efisien di tengah Covid-19, negara tidak bisa meenghadirkannya,” kata James.
Ditjen Perhubungan Laut seharusnya mendukung beroperasinya kapal berbendera Indonesia di luar negeri dengan menyerahkan penerbitan sertifikat statutoria kapal keepada klasifikasi yang diakui keberadaannya oleh pemerintah, baik klasifikasi dalam
negeri maupun luar negeri.
FORKAMI sangat menyayangkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang sangat
lelet dalam menangkap pesan Presiden Joko Widodo soal efisiensi birokasi dan
perizinan berusaha, khususnya di sektor perhubungan laut. Padahal, guna
mempercepat pertumbuhan ekonomi, Presiden Jokowi tidak ingin ada proses
birokrasi yang lamban dan berbelit-belit.
Bahkan dengan kondisi saat ini karena adanya wabah Covid-19, Presiden Jokowi
mengultimatum dengan tegas agar seluruh pejabat dan kementerian tidak
mempersulit dunia usaha dalam soal administrasi perizinan. Jokowi juga meminta tidak ada lagi birokrasi atau prosedur yang menghambat laju ekonomi di tengah situasi seperti ini.
Karena itu, dibutuhkan pejabat yang cepat bekerja, proaktif dan tidak ego sectoral dalam membantu pemulihan perekonomian nasional. Sebab, karena Covid-19,
demand rusak, supply rusak, produksi industri juga rusak. Demand, termasuk didalamnya tentu saja konsumsi dan investasi. “Investasi yang mau masuk, karena ada Covid-19 jadi ngerem. Ini, pengusaha sudah Investasi untuk TUKS, sudah investasi kapal dan mengoperasikannya di luar negeri,
kenapa tidak segera diselesaikan dan dipermudah urusan birokrasinya sesuai dengan
instruksi Presiden Jokowi,” kata James.
Proses Perizinan TUKS
Sebagai informasi, proses pengurusan perizinan operasi TUKS yang lambat tersebut tidak sesuai dengan informasi yang diumumkan di website Kementerian Perhubungan bahwa proses pengurusan Persetujuan Pengelolaan Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) hanya membutuhkan waktu selama 19 hari kerja.
TUKS adalah fasilitas terminal yang dibangun dan dioperasikan hanya bersifat penunjang kegiatan pokok perusahaan seperti usaha pertambangan, usaha energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal.
Perizinan pengelolaan TUKS diberikan Direktur Jenderal Perhubungan Laut
Kemenhub..Dari data FORKAMI, syarat untuk memperoleh izin operasi TUKS mencakup 11 item antara lain data perusahaan yang meliputi akta perusahaan, nomor pokok wajib pajak,
dan izin usaha pokok, studi kelayakan, hasil survei yang meliputi hidrooceanografi (Pasang surut, gelombang, kedalaman dan arus), topografi, titik nol (Benchmark)
lokasi pelabuhan yang dinyatakan dalam koordinat geografis, gambar tata letak lokasi terminal untuk kepentingan sendiri dengan skala yang memadai, gambar konstruksi dermaga, dan koordinat geografis letak terminal untuk kepentingan sendiri hingga rekomendasi dari syahbandar pada pelabuhan setempat.(jef)