Iklim Pendidikan yang Dikembangkan di Keluarga Indonesia Belum Kondusif Tumbuhkan Wirausaha Baru

BANDUNG:(GLOBALNEWS.ID)- Sekretaris Menteri Koperasi dan UKM Prof Rully Indrawan mengakui, masih rendahnya rasio wirausaha di Indonesia karena iklim pendidikan yang dikembangkan di keluarga Indonesia belum kondusif. “Artinya, orangtua lebih senang kalau anaknya menjadi pegawai. Hal yang sama juga terjadi di dalam dunia pendidikan”, ungkap Prof Rully saat menjadi keynote speech dalam forum diskusi di Kampus Universitas Sangga Buana, Bandung, Sabtu (21/12).

Prof Rully menambahkan, bagi sebagian besar guru di Indonesia, siswa berprestasi itu adalah siswa yang hasil ulangannya bagus, pakaiannya rapih, disiplin, penurut, catatannya bagus, rapi dan jelas. “Padahal, pada dasarnya, ciri seorang enterpreuner bukan orang seperti itu. Orangnya unik. Orang yang out of the box. Orang berpikir A, dia sudah berpikir B,” kata Prof Rully.

Selain itu, lanjut Prof Rully, regulasi di Indonesia banyak ketentuannya. Hal itu menghambat pelaku usaha, karena belum apa-apa, sudah harus urus perizinan dahulu. “Ini direspon pemerintah sekarang. Dengan keluarnya RUU dimana regulasi-regulasi yang menghambat akan dihilangkan. Kita tunggu nanti,” tukas Prof Rully.

Oleh karena itu, Prof Rully mengajak peran ibu dan keluarga. Indonesia mulai membangun iklim kewirausahaan yang baru. “Kita mulai dari pendidikan dan regulasinya. Jadi nanti, jangan ada lagi bacaan anak sekolah yang berbunyi Budi ke sekolah. Ibu Budi membersihkan rumah. Bapak Budi pergi ke kantor. Bacaan yang seharusnya muncul, di buku-buku sekolah adalah Budi ke sekolah. Ibu budi. Ibu pergi ke pasar, jualan. Bapak keluar negeri mengurus ekspor”, papar Prof Rully.

Sehingga, anak-anak sejak kecil diajarkan bahwa berbisnis adalah hal yang penting. Harapannya, pada momentum Hari Ibu ini kembangkan semangat membangun dan mendidik wirausaha pemula. Agar mereka menjadi pengusaha yang berdaya saing.

Analoginya, tambah Prof Rully, ada induk ayam yang mengerami telur burung elang. Karena induk ayam itu adalah induk ayam yang baik, induk ayam itu akhirnya mengetahui, anak yang telah dierami itu ternyata bukan anaknya. Hingga suatu saat, diajaknya anak-anak ayam itu ke atas bukit, induk ayam mendorongnya.

“Anak elang itu awalnya memang jatuh, dan dirawatlah. Setelah beberapa kali, ternyata anak tersebut akhirnya bisa terbang. Dan dia menjadi burung elang yang perkasa,” kata Prof Rully.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Unpas Prof Dr R Poppy Yaniawati mengatakan bahwaperubahan adalah suatu keniscayaan. Yaitu, perubahan menuju ke arah yang lebih baik. “Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi saat ini telah memaksa induvidu melakukan perubahan dalam melakukan kegiatan”, jelas Prof Poppy.

Salah satunya pengaruh IT pada berbagai aktivitas. Yang paling terasa, dalam dunia transportasi, dan kuliner, dengan tinggal pesan Grab dan Gojek. “Perubahan itu juga telah menyebabkan terjadinya disruption, seperti tornado yang menyambar pohon besar yang sedang berdiri kokoh”, ujar Prof Poppy.

Maksudnya, ada fenomena yang terjadi yang diakibatkan perubahan yang mendasar yang begitu cepat diakibatkan perkembangan teknologi.”Situasi di mana, pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linier,” kata Prof Poppy.

Perubahan yang sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Hingga menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahan luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan.

“Menghadapi disruption dibutuhkan mindset baru. Fixed Mindset (intelligence is static) dan Growth Mindset (intelligence can be developed)”, ucap dia.

Sementara CEO Mich Entrepeneural Award MARA Malaysia, Dr Risti Yuni Lestari MBA mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam makalah bertajuk membangun soft skill untuk bisnis yang kompetitif. “Human capital investment itu penting. Skill yang sulit dikuasai robot adalah soft skill. Karena orang bisa interest, bisa care, dan bisa berdiplomasi,” jelas Risti.

Penelitian Harvard University Amerika Serikat itu menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesuksesan seseorang ternyata ditentukan sekitar 20% oleh hard skil dan sisanya 80% oleh soft skill.

“Realitanya, pendidikan di Indonesia saat ini lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, dibandingkan dengan soft skill”, tandas Risti.

Padahal, lanjut Risti, soft skill itu penting untuk menangani hubungan antar pribadi, untuk mengambil keputusan yang tepat, untuk berkomunikasi dengan benar dan untuk memiliki kesan dan dampak yang baik untuk mendapatkan pengembangan pribadi.

“Soft skill yang harus dimiliki kaum milenial adalah komunikasi, berpikir kritis, optimisme, melek teknologi, open minded, bekerja dalam tim,” pungkas Risti.(jef)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.