UNAIDS Dukung Kelompok Marjinal Indonesia Bangkit dari Dampak Pandemi


Jakarta:(Globalnews.id) – Empat puluh satu tahun – sejak pertama kali ditemukan sekitar tahun 1980-an di New York dan Los Angeles – HIV masih menjadi persoalan global. Di Indonesia, diestimasikan ada sekitar 543.000 orang dengan HIV yang secara epidemi terkonsentrasi di 4 kelompok populasi kunci. Yaitu laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender perempuan, pekerja seks, dan pengguna narkotika suntik.

Menurut catatan UNAIDS, program gabungan PBB untuk penanggulangan epidemi AIDS, 4 kelompok populasi kunci ini termasuk golongan yang sangat terdiskriminasi di Indonesia.

Human Rights and Gender Advisor UNAIDS Indonesia, Yasmin Purba mencontohkan, dalam konteks pendidikan, misalnya, seorang transgender perempuan seringkali mengalami bullying bahkan sejak di sekolah dasar.

“Situasi ini mendemotivasi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Nah begitu juga dengan populasi kunci lainnya. Bentuk-bentuk diskriminasi itu membuat pendidikan menjadi tidak aksesibel bagi mereka,’ kata Yasmin saat menjadi pembicara dalam briefing pers PBB di Indonesia, “Upaya Pemulihan Covid-19 Melalui Respon Sosial dan Ekonomi”, Kamis (15/10/2021).

Ketika tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kelompok ini akan sulit mengakses pekerjaan layak.

“Sehingga banyak sekali yang bekerja di sektor-sektor non formal, atau bekerja di sektor precarious job, misalkan pekerja seks atau pengamen di jalan. Tidak ada kepastian kerja, tidak ada kepastian income,” sesal Yasmin.

Ketika pandemi covid-19 datang, berbagai pembatasan aktivitas dan sosial membuat hidup kelompok yang termajinalkan semakin berat.

“Betul-betul terasa sekali, kalau kita melihat dari beberapa penemuan, misalnya dari Jaringan Indonesia Positif yang melakukan survei terhadap lebih dari 1.000 orang HIV, menunjukkan ada sekitar 46% responden di awal pandemi 2020 yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan, 44% kehilangan pendapatan, dan 19% tidak mampu membayar sewa tempat tinggalnya,” papar Yasmin.

Terdengar ironis, ketika pemerintah menganjurkan warganya untuk “Stay at Home”, ada kelompok masyarakat yang justru tidak sanggup mempertahankan rumah mereka.

“Artinya marjinalisasi ini membuat mereka harus keluar dari rumah, satu-satunya tempat mereka berlindung, atau juga satu-satunya tempat yang diharapkan bisa menjadi tempat mereka mengisolasi diri agar tidak menyebarkan covid-19,” ucapnya.

Pada titik inilah UNAIDS mengambil peran, untuk memastikan tidak ada kelompok yang ditinggalkan.

Dalam konteks program bersama Multi-Partner Trust Fund (MPTF), UNAIDS Indonesia berupaya menjembatani kesenjangan bagi orang-orang dengan HIV dan populasi kunci, agar dapat terlindungi dari efek ekonomi sosial akibat pandemi.

“Kami bekerjasama dengan ILO dan UNDP, telah mengidentifikasi individu-individu yang terdampak pandemi untuk mengikuti pelatihan skill membangun kewirausahaan. Intinya memberikan bekal kepada mereka untuk dapat bangkit dari dampak covid-19 ini,” tukas Yasmin. 

Tapi UNAIDS juga menyadari, akar masalah dari peliknya situasi yang dihadapi kelompok marjinal, adalah tindakan diskriminatif dari orang-orang di sekitar mereka.

Karena itu UNAIDS bekerja sama dengan Yayasan Kusuma Buana, mengembangkan platform kebijakan online agar orang-orang dapat lebih memahami apa itu inklusivisme, khususnya terhadap pengidap HIV dan populasi kunci.

“Kami mendorong advokasi kebijakan yang bisa memastikan, bisa mendorong inklusivisme di tempat kerja, untuk memberikan lingkungan yang aman bagi orang HIV dan populasi kunci,” ujarnya.

Perlindungan itu bisa diberikan, salah satunya melalui pembaharuan hukum.

“Karena berbagai legislasi nasional yang kami lihat, sayangnya belum ada yang betul-betul secara eksplisit menyatakan bahwa status HIV atau keberagaman seksual dan gender, tidak boleh menjadi dasar orang untuk mendiskriminasi orang lain,” tandasnya.(Jef)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.