Jakarta:(Global ews.id)- Teknologi finansial atau financial technology (fintech) khususnya di sektor peer to peer lending (P2P) melalui konsep credit scoring diharapkan mampu menjadi alternatif solusi pembiayaan bagi UMKM yang selama ini kesulitan mengakses pinjaman ke perbankan, karena terganjal persyaratan kolateral (jaminan), mempertimbangkan bahwa UMKM merupakan market yang sangat besar untuk dioptimalkan.
Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menyebut, dalam survei yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, sekitar 69,02 persen UMKM mengalami kesulitan permodalan saat pandemi COVID-19. Data tersebut menunjukkan bahwa bantuan permodalan bagi UMKM menjadi hal yang penting dan dibutuhkan.
“Kuncinya adalah akses pembiayaan. Saya kira hal ini harus di-addressed. Termasuk mengkaji penerapan credit scoring lewat penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sudah diterapkan di 145 negara,” ucapnya dalam konferensi pers AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) UMKM Digital Summit 2023 di Jakarta, Kamis (14/9).
MenKopUKM melihat, saat ini industri fintech terus tumbuh dan berkembang. Di mana fintech hadir memberikan solusi pembiayaan ke UMKM tanpa menerapkan agunan, karena menggunakan teknologi sehingga mereka mengetahui persis kriteria calon nasabah yang akan diberikan pembiayaan.
“Di fintech, plafon pinjaman sebesar Rp2 miliar sudah diberikan tanpa memakai agunan. Bahkan UMKM yang terhubung dengan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang) bisa meminjam pinjaman hingga Rp10 miliar. Hal ini merupakan terobosan yang baik bagi UMKM dalam mengakses pembiayaan,” ucap Teten.
Meski begitu, Menteri Teten memberikan catatan terkait bunga yang masih tinggi di fintech. Sebab, bunga yang tinggi juga menjadi persoalan tersendiri dalam mempermudah UMKM mengakses pembiayaan. Tercatat saat ini bunga di fintech berkisar antara 12-18 persen/tahun.
“Kesehatan UMKM yang terpenting bisa membayar kembali pinjaman, maka diharapkan bunga lebih berani untuk diturunkan. Saya optimistis, penurunan bunga di fintech bisa terjadi dan menjadi pertimbangan bagi perbankan juga untuk berani memberikan pinjaman ke UMKM tanpa agunan,” katanya.
Yang terpenting kata MenKopUKM, pihaknya menyepakati bagaimana membangun ekosistem yang sehat agar setiap rupiah yang dipinjamkan kepada UMKM tidak akan macet karena cashflow usaha mereka sudah bisa terhubung dengan offtaker (buyer). Misalnya dengan membangun klaster agriculture maupun aquaculture yang menghubungkan antara lembaga pembiayaan dengan petani. “Peran agregator menjadi bagian penting dalam mengembangkan UMKM,” kata Teten.
Ia juga mengapresiasi, sebesar 96 persen sektor keuangan dalam ekonomi digital dikuasai oleh lokal yang dapat dijadikan benchmark bagi sektor lain. Berbeda dengan sektor e-commerce yang justru lebih dikuasai oleh asing dan hanya sebesar 44 persen dikuasai lokal. “Sehingga ada yang salah dalam mengatur transformasi digital. Ini yang sedang kita bereskan supaya terbangunnya infrastruktur internet jangan sampai kemudian dinikmati oleh asing,” ucap MenKopUKM.
Maka dari itu, Teten juga mengimbau UMKM agar terus mengadopsi kemajuan digital, sehingga kesehatan usaha UMKM bisa menjadi track record. Selain itu, UMKM juga dianjurkan untuk memiliki business plan. “Karena pengalaman kami, banyak UMKM yang tak punya business plan, padahal mereka punya potensi bisnis yang besar dengan dukungan bahan baku dan captive market,” jelasnya.
Di kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan, anggota fintech yang berada di naungan AFPI terus berupaya untuk mengoptimalkan pinjaman ke UMKM. Saat ini, sebanyak 40 persen pembiayaan masuk dalam sektor produktif. Tercatat, periode Januari-Juli 2023 penyaluran pembiayaan mencapai Rp58 triliun, dan pembiayaan di sektor produktif sebesar Rp22 triliun.
“Pembiayaan sebesar 40 persen ke sektor produktif di Indonesia tergolong sangat besar jika dibandingkan dengan China. Di ASEAN porsi ini cukup diapresiasi. China justru lebih besar strukturnya ke pembiayaan sektor konsumtif. Kami ingin fintech di Indonesia menjadi contoh bagi ASEAN,” ungkapnya.
Sunu menekankan, dalam mengoptimalkan pembiayaan kepada UMKM, dibutuhkan dua hal yang menjadi faktor penting. Yakni literasi digital dan literasi keuangan yang tak bisa dipisahkan. UMKM jika tidak bisa mengadopsi digital akan tertinggal.
“Karena digital akan menjadi track record dari cashflow. Misalnya, UMKM di daerah remote, selama terhubung dengan digital, fintech pasti akan berani memberikan pinjaman. Digitalisasi mengonfirmasi kegiatan usaha secara digital,” ucap Sunu.
Digitalisasi kata Sunu, menjadi kunci untuk menjawab tantangan pendanaan yang selama ini menghambat UMKM untuk berkontribusi lebih terhadap perekonomian.
“Kehadiran fintech P2P lending dalam ekosistem digital bertujuan untuk menyediakan solusi pendanaan yang lebih optimal bagi para UMKM, mengingat keunggulan dari fintech yakni mudah diakses, persyaratan sederhana, dan memerlukan waktu pencairan dana yang relatif singkat,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Humas AFPI sekaligus CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menuturkan, AFPI bersama EY Parthenon mengklasifikasikan UMKM di Indonesia menjadi empat segmentasi yang lebih rinci, untuk mendukung pengambilan kebijakan pemberian pembiayaan yang lebih tepat sasaran. Khususnya bagi pemangku kepentingan termasuk penyelenggara fintech P2P lending.
Dalam riset AFPI dan EY Parthenon, ditambahkan elemen literasi digital dan literasi keuangan, sehingga akan memperkuat segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini. Terdapat empat segmentasi baru untuk UMKM, yakni pertama Kelompok Bisnis Prospektif merupakan bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis.
Kedua, Kelompok Kebutuhan Dasar, yakni bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah, menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi.
Ketiga, Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan, yaitu bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan rendah, hanya berfokus pada upaya mempertahankan kondisi status-quo mereka.
Terakhir yang keempat, Kelompok Bisnis Unggul, yaitu bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.
*UMKM Digital Summit 2023*
KemenKopUKM juga mendukung terselenggaranya AFPI UMKM Digital Summit 2023, di mana kegiatan tersebut akan mempertemukan para pelaku UMKM dengan penyedia platform fintech P2P lending untuk berinteraksi, berkolaborasi, dan berbagi pengetahuan dalam rangka mendorong pertumbuhan sektor UMKM di era digital.
UMKM Digital Summit 2023 akan diselenggarakan pada 21 September 2023 di Convention Hall SMESCO Jakarta, dengan menghadirkan para menteri Kabinet Indonesia Maju dan tokoh-tokoh inspiratif berpengalaman di dunia usaha.
“Kegiatan ini diharapkan dapat menjawab masalah akses pembiayaan yang dialami pelaku UMKM dan membantu peningkatan inklusi keuangan nasional melalui proses digitalisasi yang dimiliki fintech,” ucap Sunu.
UMKM Digital Summit 2023 menjadi bukti konkret AFPI dalam meningkatkan awareness semua stakeholders bahwa digitalisasi dan pemanfaatan teknologi meningkatkan akses pembiayaan UMKM sebagai tindak lanjut temuan riset AFPI-EY. (Jef)