Jakarta:(Globalnews.id)– Dalam meminimalisir kerugian yang muncul dari berbagai praktik yang merugikan anggota koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi menegaskan perlu ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) koperasi untuk melindungi hak-hak anggota koperasi yang dirugikan.
“Pembentukan LPS semata-mata dilakukan karena pemerintah ingin melindungi kepentingan anggota koperasi dan masyarakat dari praktik-praktik yang merugikan anggota koperasi,” kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi dalam acara Serap Aspirasi Urgensi Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi, di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Kamis (7/11/2023).
Menurut Zabadi, munculnya banyak masalah di KSP lantaran koperasi belum membentuk ekosistem yang kokoh bagi koperasi. Koperasi yang kokoh hanya bisa dibangun berdasarkan undang-undang yang baru, yang lebih bisa mengakomodir perubahan zaman.
“Kalau kita berkaca pada perbankan, saat COVID-19 ada bank yang bermasalah. Jika ekosistem perbankan belum kuat mereka bisa saja gagal bayar. Meski terjadi masalah, namun tidak terjadi rush karena industri bank sudah punya LPS yang menjamin simpanan nasabah hingga Rp2 miliar,” kata dia.
Selain punya LPS, industri perbankan juga punya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan otoritas lain seperti Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan kata lain, ekosistem di industri perbankan dinilai Zabadi sudah sangat kokoh.
“Berbeda dengan koperasi, saat ini koperasi belum punya ekosistem yang kuat. Di perbankan yang bisa memailitkan itu OJK/Kemenkeu. Ini tidak dipunyai oleh koperasi, di koperasi, anggota juga bisa memailitkan koperasi. Ada lebih dari 30 juta anggota koperasi yang perlu dilindungi kepentingannya dari praktik-praktik yang merugikan, yang dilakukan oleh pendiri maupun pengurus koperasi,” kata Zabadi.
Zabadi menilai, kehadiran LPS merupakan salah satu langkah konkret yang dilakukan pemerintah dalam menyiapkan ekositem koperasi yang kokoh. Penyiapan ekosistem ini sudah sangat mendesak dilakukan, sesuai mandat dari Mahkamah Konstitusi saat membatalkan seluruh materi muatan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
“Ini sudah lebih dari 10 tahun sejak putusan MK. UU Perkoperasian yang baru harus segera hadir agar bisa mengakomodir perubahan zaman dan kondisi terkini. Kami sudah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas RUU Perkoperasian. DPR berjanji akan memprioritaskan RUU Perkoperasian setelah reses selesai,” kata Zabadi.
Di waktu yang sama, Prof DR Pujiyono Suwadi SH, MH, pengamat hukum dari UNS mengatakan, pada dasarnya koperasi memang milik anggota. Namun, koperasi juga punya subjek hukum mandiri, di antaranya adalah pengurus.
“Subjek hukum mandiri ini berfungsi mewakili anggota koperasi. Di sisi lain, tidak semua anggota koperasi tahu apa yang akan dilakukan oleh pengurus. Maka kepentingan dari anggota koperasi perlu dilindungi,” kata dia.
Menurut Prof Puji, saat ini ada banyak pengurus yang merasa bahwa koperasi itu miliknya. Sehingga, pengurus bisa berbuat sesuka hati dalam mengelola koperasi. Padahal, langkah itu bisa berdampak buruk bagi kelangsungan koperasi.
“Ini yang perlu diperbaiki. UU Perkoperasian yang baru harus segera hadir dengan semangat memperbaiki dan mendorong koperasi untuk naik kelas,” kata dia.
Mahfud, salah satu gerakan koperasi yang hadir dalam acara tersebut, menyetujui pembentukan LPS Koperasi.
“Sangat setuju untuk dibuatkan LPS Koperasi, karena kalau ada yang kolaps atau nakal maka hak dari anggotanya bisa terlindungi,” ujar Mahfud.
Yuarti, salah satu pengurus koperasi di Jawa Tengah juga menyetujui pembentukan LPS Koperasi.
“Kami mendukung hadirnya LPS Koperasi agar menurunkan moral hazard. Dengan eksositem yang kuat, hadirnya Undang-Undang Perkoperasian yang baru maka tata kelola koperasi akan menjadi lebih baik,” kata Yuarti.(Jef)