Jakarta:(Globalnews.id) – Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi bagian terpenting yang harus dilibatkan dalam proses hilirisasi, terutama dalam pengembangan produk di bidang Akuakultur dan agrikultur. UMKM ditargetkan mampu berperan dalam menggerakkan roda ekonomi di Indonesia di sektor aquaculture dan agrikultur.
Hillirisasi, atau integrasi vertikal dan horizontal, dalam sektor Akuakultur dan agrikultur menjadi penting dalam upaya memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh UMKM.
Untuk itu, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menekankan, pentingnya proses hilirisasi tidak hanya ditujukan untuk skala usaha besar. Ini merupakan strategi krusial yang juga sangat relevan bagi sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kelautan yang banyak digerakkan oleh Koperasi dan UMKM.
“Hilirisasi tidak hanya tentang peningkatan nilai tambah. Tetapi ini tentang mengubah paradigma ekspor bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi, yang pada gilirannya akan mendorong transformasi pembangunan ekonomi kita ke arah yang lebih berkelanjutan dan inklusif,” katanya dalam diskusi bersama FORWAKOP (Forum Wartawan Koperasi dan UKM) dengan tema ‘Peran UMKM dalam Hilirisasi sektor Akuakultur dan agrikultur,’ di Auditorium Kemenkop UKM, Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Dalam acara diskusi yang didukung oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Permodalan Nasional Madani (PMN) dan PT Perum Bulog ini, Menkop UKM menegaskan, hilirisasi dalam konteks industrialisasi bukan meningkatkan value added produk UMKM, tetapi juga membawa produk UMKM masuk dalam ekosistem bisnis ke industri atau masuk dalam rantai pasok.
“Mengapa sampai hari ini UMKM masih sulit mengakses teknologi modern, pembiayaan maupun akses pasar? Karena UMKM kita disconnect (tidak terhubung) dengan industri. Karena didominasi mikro, kebanyakan UMKM kita bersifat mandiri. Beli bahan baku sendiri, packaging sendiri dsb,” ucap Teten.
Seharusnya, bagaimana hilirisasi membuat UMKM sebagai benchmark seperti apa yang dilakukan Korea Selatan, Jepang dan negara lainnya, di mana UMKM telah menjadi rantai pasok industri tak berjalan sendiri.
Menkop UKM mengatakan, dalam menghadapi tantangan global dan nasional yang kompleks, termasuk kerawanan pangan yang signifikan dan dampak perubahan iklim terhadap kemiskinan ekstrem, memerlukan tindakan strategis dan kolaboratif.
Tercatat, kontribusi sektor pertanian di tahun 2023 terhadap PDB sebesar Rp 2.617 triliun atau 12,5 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor pertanian selama 5 tahun terakhir (2018-2023) rata-rata sebesar 2,1 persen atau masih di atas kenaikan jumlah penduduk 1,13 persen namun di bawah pertumbuhan rata-rata total PDB Nasional sebesar 3,4 persen (data BPS).
Dalam upaya mendorong hilirisasi, Kementerian Koperasi dan UKM telah dan sedang membangun 11 Rumah Produksi Bersama (RPB).
Termasuk empat yang berfokus pada komoditas pertanian seperti coklat di Jembrana Bali, pasta cabai di Batu Bara, Fitofarmaka Jahe di Kaltim, dan susu di Sleman DIY, serta 7 RPB khusus untuk minyak makan merah. Pembangunan ini, yang didukung oleh Dana BPDKS, LPDB, dan mandiri.
“Ke depannya, rencana akan dikembangkan RPB yang akan berfokus pada rumput laut dan hidrolisat ikan, bertujuan untuk mengkonversi ikan menjadi susu, menunjukkan komitmen berkelanjutan terhadap inovasi dan diversifikasi produk,” tuturnya.
Hilirisasi produk pertanian yang lebih hilir terus didorong seperti minyak nilam dan produk turunannya, plastik, pupuk dan beras analog, kosmetik dari rumput laut, serta bahan organik lainnya.
“Hilirisasi sangat penting dilakukan untuk menaikkan kelas petani dan nelayan menjadi bagian dari Industri yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan,” ungkap Teten.
Kemenkop UKM juga berkomitmen untuk memastikan bahwa ekosistem bisnis terjaga, contohnya melalui dukungan pembiayaan kepada Koperasi Al-Itifaq. Koperasi ini tidak hanya melakukan hilirisasi pertanian tetapi juga pemberdayaan berbasis komunitas pesantren, berperan sebagai agregator dan distributor produk pertanian anggotanya.
Selain itu, saat ini sedang dikembangkan Indonesia Trading House (ITH) di China, yang akan memainkan peran penting dalam memasarkan dan mengolah produk pertanian Indonesia, seperti durian, kelapa, dan nangka dari Parigi Mountong.
“Rencananya termasuk kerja sama dengan petani untuk menanam nangka sekitar 10 ribu hektar, memperluas jangkauan dan memperkuat posisi pasar produk pertanian Indonesia,” terangnya.
Di kesempatan yang sama, Deputi Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman menambahkan, Kemenkop UKM terus mendorong agar terciptanya semacam pohon industri. Indonesia memiliki banyak sumber daya yang selama ini dijual dalam bahan mentah. Seperti, sarang walet, ikan, udang, maupun rumput laut.
“Produk mentah tersebut, kalau diolah dengan melibatkan UMKM tentu akan memiliki nilai tambah. Bahkan jika dipromosikan dengan baik, kita harapkan akan terbentuk ekosisitem,” katanya.
Kemenkop UKM sambung Hanung, terus melakukan piloting dengan kerja sama bersama koperasi dan Pemerintah Daerah melalui program Rumah Produksi bukan hanya membangun secara fisik, tetapi juga mengembangkan model bisnis.
“Termasuk ekosistemnya. Kami juga dorong dari sisi Research and Development (RnD). Jika butuh lembaga keuangan kita juga membentuk skema menarik agar mudah diakses oleh para pelaku UMKM.
Agar UMKM menjadi bagian dari ekosistem yakni indutrialisasi, maka perbaiki di sektor hulu sehingga menghasilkan hilirisasi yang memiliki prospek tinggi. “Hilirisasi merupakan kerja sama dengan usaha besar agar saling mengisi,” ucapnya.
*Dukungan Dan Tantangan*
Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok KADIN Indonesia Akbar Djohan mengatakan, KADIN Indonesia selalu berupaya memberikan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan daya saing UMKM, sehingga dapat membantu mereka untuk berkompetisi di pasar regional maupun internasional.
“Rencana Go Global dalam persaingannya, bagaimana UMKM bisa memiliki pemahaman komoditas yang strategis dan penguasaan teknologi, akan membantu KADIN logistik promote the trade, dengan harapannya membangun ekosistem trade yang mature,” ungkap Akbar di acara yang sama.
Selain itu, Akbar menekankan perlu adanya opportunity yang sustain dan langkah konkret dari Pemerintah dalam mendorong UMKM masuk dalam industri rantai pasok. “Kalau bicara rantai pasok namun opportunity belum konkret maka sulit terwujud,” ujarnya.
Sebagai salah satu agregator para petani di sektor aquaculture (blue economy), e-Fishery menjadi startup Aqua-Tech pertama di Asia, yang konsisten membangun ekosistem aquakultur berkelanjutan dengan teknologi yang membantu budidaya ikan dan udang.
Head of RGR e-Fishery Luciana Dita Chandra Murni menyampaikan, aquakultur memiliki potensi untuk berperan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan.
“Kami percaya bahwa aquakultur adalah kunci dalam mengatasi isu kelaparan global,” ucapnya.
E-Fishery hadir sambung Luciana, memberikan layanan dari hulu ke hilir untuk pembudidaya ikan. Menyediakan mulai dari kemudahan dalam transaksi pakan, akses ke institusi keuangan yang terdaftar dan terawasi, serta platform untuk menjual ikan hasil panen secara menguntungkan.
“Rantai pasok blue economy masih sangat terganggu dari sisi pakan yang sangat mahal. Maka, kami hadir dengan pemberian pakan. Kami mampu memangkas 74 persen waktu panen. Dari yang biasanya proses mencapai 4-5 bulan, hanya menjadi 2,5-3 bulan,” jelas Luciana.
Ia menambahkan, e-Fishery membantu pembudidaya yang terlilit utang untuk membeli pupuk dan pakan. Maka, e-Fishery membentuk Kabayan (Kasih, Bayar Nanti) yang merupakan layanan finansial bagi pembudidaya tanpa menggunakan jaminan.
“Jaminannya itu dari sistem validasi kolam. Nanti dari situ akan dilihat kelayakannya dan hitungan dalam memberi pakan atau pupuk,” katanya.
Luciana berharap, dalam membantu keberlangsungan hilirisasi dari aquaculture melalui budidaya ikan dan udang, ada kerja sama stakeholder agar bisa memantau harga ikan dan udang di daerah-daerah.
Menyoroti hal ini, dalam diskusi yang sama, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan, hilirisasi yang awalnya pertambangan, tetapi saat ini juga bicara melalui sketor Akuakultur dan agrikultur yang sifatnya lebih banyak menyerap tenaga kerja.
“Ada produktivitas dari hulu ke hilir, mengurangi emisi karbon. Sementara hilirisasi pertanian dekat dengan green economy menciptakan sirkular ekonomi. Bukan hanya sekadar menghasilkan industri mikro produk barang jadi,” katanya.
Untuk itu, Faisal menyebutkan, setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan hilirisasi agar UMKM masuk dalam rantai pasok. Pertama, standar spek harus memenuhi ekspetasi konsumen. Kedua, memiliki volume besar.
“Dalam memenuhi hal ini, maka diperlukan peran agregator. Di mana produk petani yang kecil dikumpulkan untuk bisa mensuplai ke industri besar membangun inkubator, serta kemudahan sertifikasi dan lainnya,” ungkap Faisal.
Ketiga, adalah kontinuitas. Menurut Faisal, tidak ada hilirisasi tanpa hulu yang kuat. Karena UMKM harus menyediakan suplai yang banyak dan berkelanjutan.
“Industri besar banyak sudah memenuhi tapi banyak juga yang terkendala hulu kurangnya bahan baku. Maka, tiga hal ini yang biasa menjadi permasalahan. Dibutuhakn peran Pemerintah dalam memastikan tiga hal ini bisa dipenuhi. Serta peran berbagai stakeholder menyelesaikan permasalahan tersebut,” tegasnya.(Jef)