Arsip Tag: Harkopnas ke 76

KemenKopUKM Terus Perbaiki Ekosistem Koperasi Sambut Harkopnas ke-76

Jakarta:(Globalnews.id)- Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mengungkapkan bahwa Pemerintah terus memperbaiki ekosistem koperasi di Indonesia agar semakin baik memasuki usia koperasi yang ke-76 tahun pada 12 Juli 2023.

“Kita belajar dari 8 koperasi bermasalah, hingga KUD-KUD yang dulu mengelola produk pertanian, banyak yang mati. Kita benahi ekosistemnya,” kata MenKopUKM Teten Masduki dalam rangka Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-76, Jakarta, Rabu (12/7).

Berkaca pada kasus 8 koperasi bermasalah, Menteri Teten mengakui, tidak ada solusi jangka pendek untuk menyelesaikan masalah tersebut, yang melibatkan total uang anggota sebesar Rp26 triliun.

“Langkah PKPU juga sulit dijalankan karena aset koperasinya sudah tidak ada. Dan tidak ada skema bail out dari pemerintah untuk masalah ini,” kata MenKopUKM.

Meski begitu, Menteri Teten juga menggarisbawahi bahwa ada juga diantara anggota koperasi bermasalah itu yang tidak pernah merasa menjadi anggota koperasi. Mereka hanya berinvestasi sebagai investor di koperasi-koperasi bermasalah itu dengan iming-iming bunga besar.

Maka, ketika koperasinya bermasalah, mereka bukan melakukan urun rembug untuk menyelamatkan koperasinya sebagai anggota sekaligus pemilik koperasi. Mereka hanya ingin segera menarik uangnya, bukan menyelamatkan koperasinya.

“Dalam kasus-kasus seperti itu, relasi antara anggota dengan koperasi sudah seperti nasabah dengan penyedia layanan keuangan,” ucap Menteri Teten.

Meski begitu, MenKopUKM tidak melihat itu sebagai lemahnya faktor pendidikan koperasi di internal koperasi. Tapi, lebih kepada ukuran atau skala usaha koperasi yang sudah terlalu besar.

“Bayangkan saja, koperasi-koperasi besar itu jumlah anggotanya sudah mencapai ratusan ribu orang, bahkan sudah masuk skala provinsi dan nasional,” kata Menteri Teten.

Lebih dari itu, MenKopUKM juga melihat iklim demokrasi di kalangan internal koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP) besar yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Akhirnya, dengan kondisi seperti itu, melahirkan orang-orang kuat yang menguasai koperasi. Yang menjadi pengurus koperasi ya yang itu-itu saja, hingga ke pengawasnya ya teman-temannya juga,” kata Menteri Teten.

Oleh karena itu, MenKopUKM memandang UU Nomor 25 Tahun 1992 sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan permasalahan koperasi saat ini.

Lantas, ekosistem koperasi ideal pun harus dibangun di Indonesia. “Lewat UU P2SK kita sudah meletakkan pilar dan fondasi bahwa koperasi boleh masuk ke semua sektor usaha. Boleh mendirikan bank, perusahaan asuransi, masuk pasar modal, dan sebagainya. Secara konkret kita sudah mulai,” ucap Menteri Teten.

Bahkan, kata MenKopUKM, dalam UU P2SK sudah ada pembagian yang jelas antara koperasi yang open loop dan close loop. Koperasi yang close loop itu berarti koperasi yang melayani dari anggota untuk anggota. “Ini yang sedang kita tata di dalam UU Perkoperasian yang baru, yang tahap harmonisasinya sudah selesai. Sekarang sudah di tahap menunggu Surat Presiden di Kemensetneg,” kata Menteri Teten.

Menurut MenKopUKM, hal-hal penting dalam revisi UU Perkoperasian diantaranya mengenai pengawasan koperasi. “KSP yang kelas menengah dan besar akan diawasi lembaga eksternal yang namanya Otoritas Pengawas Koperasi, dimana sistem pengawasannya jauh lebih modern ketimbang yang konvensional,” ucap Menteri Teten.

Selama ini, KSP-KSP yang besar itu tidak ada kewajiban untuk melaporkan kondisinya. “Hal yang seperti ini yang akan kita modernisasi sistem pengawasannya. Sementara untuk KSP yang kecil-kecil masih efektif dengan melakukan pengawasan sendiri secara internal,” kata MenKopUKM.

Namun, Menteri Teten mengakui, masih ada wilayah abu-abu antara KSP yang open loop dan close loop. “Ini yang akan kita clear-kan. Karena sebenarnya sudah jelas batasannya di UU P2SK,” ujar MenKopUKM.(Jef)

Sambut Harkopnas, MenKopUKM Tekankan Koperasi Harus Jadi Bagian Hilirisasi Nasional

Jakarta:(Globslnews.id) – Dalam menyambut Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) 2023, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) menekankan, koperasi harus menjadi bagian dari agenda besar Pemerintah untuk meningkatkan perekonomian rakyat melalui hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) terutama hilirisasi sumber daya mineral, pertanian, dan perkebunan.

“Koperasi harus menjadi bagian dari program hilirisasi nasional. Untuk nikel misalnya, di sektor hilir, koperasi bisa ikut dalam produksi di hilir seperti bahan piring, sendok, pisau, maupun produk kesehatan yang bahan bakunya dari nikel,” kata MenKopUKM Teten Masduki dalam acara perayaan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) di Jakarta, Rabu (12/7).

Selain itu, saat ini KemenKopUKM juga sedang mengembangkan pabrik Minyak Makan Merah di beberapa provinsi berbasis sawit. Pabrik tersebut sepenuhnya dimiliki para petani sawit anggota koperasi. Dengan pabrik itu, hilirisasi produk dapat dilakukan. Petani sawit tidak lagi hanya menjual Tandan Buah Segar (TBS), namun menikmati nilai tambah dari produk akhir yakni minyak makan merah tersebut.

Pemerintah kata Menteri Teten, juga terus mengupayakan peningkatan ekosistem koperasi. Selain pengembangan minyak makan merah melalui koperasi petani sawit, KemenKopUKM juga mendorong terciptanya korporatisasi petani dan nelayan melalui koperasi.

“Kami juga memiliki program SOLUSI nelayan, hingga pembangunan rumah produksi bersama dengan koperasi sebagai pengelolanya,” ujarnya.

SDA lainnya yang berpotensi dihilirisasi adalah bambu. Saat ini, di dunia tengah didorong penggunaan bambu untuk menggantikan kayu karena dinilai lebih ramah lingkungan.

“Di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada sekitar 40 ribu hektare bambu, potensi ini juga akan kita coba hilirisasi. Komoditas unggulan di wilayah lain harus dikembangkan dengan cara demikian. Koperasi bekerja di hulu dan hilir, sehingga nilai tambah tinggi dan manfaat ke anggota juga meningkat,” kata Teten.

Pemerintah, saat ini fokus pada pengembangan koperasi sektor riil guna membangun ekonomi anggota dan masyarakat yang lebih luas. Dari sisi peluang, koperasi sektor riil ini juga memiliki banyak potensi mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, jasa, pariwisata, dan banyak macam usaha lainnya.

Setiap wilayah, kota/kabupaten di Indonesia pasti memiliki potensi unggulan seperti komoditas, kerajinan, destinasi wisata, atau lainnya. “Koperasi sektor riil harus menjadi pemain utama dalam potensi unggulan tersebut. Tujuannya agar manfaat dan nilai tambah yang dihasilkan dapat sebesar-besarnya terdistribusi kembali ke anggota dan masyarakat di wilayah tersebut,” ucap MenKopUKM.

Dalam menangkap peluang tersebut, tahun ini KemenKopUKM pun telah membangun tujuh rumah produksi bersama untuk menjadi tempat maklon, sehingga kperasi dan UMKM didorong menjadi supply chain industri baik di dalam maupun luar negeri.

Di Garut, Jawa Barat, telah dibangun rumah produksi bersama untuk industri kulit senilai Rp12 miliar. Diharapkan produksi kulit dalam negeri tidak kalah dengan merek terkenal dunia.

“Koperasi dalam pengelolaan hilirisasi merupakan hal fundamental. Sehingga jika berbicara industrialisasi, maka bukan hanya milik usaha besar tetapi koperasi dan UMKM bisa menjadi bagian dari industri yang ada,” kata MenKopUKM.

Terkait agenda besar Indonesia di tahun 2045 menuju negara maju, dalam RPJMN yang sudah disusun, pendapatan per kapita minimum harus mencapai 14.000 ribu dolar Amerika Serikat (AS). Saat ini, masih berada di angka 4.500 dolar AS per kapita.

“Bagaimana mengubah 4.500 dolar AS menjadi 12.000 dolar AS per kapita? Salah satunya harus meningkatkan kualitas pekerja atau SDM, misalnya dengan melibatkan usaha mikro di sektor hilirisasi,” ucapnya.

Untuk itu kata Menteri Teten, dibutuhkan dukungan kebijakan selain fiskal, juga dibutuhkan dukungan moneter, dengan anggaran yang besar. “UMKM butuh untuk memodernisasi usahanya, perlu membangun pabrik-pabrik bersama. Saat ini ada regulasi untuk menyalurkan pembiayaan hingga 30 persen untuk UMKM, namun saat ini baru mencapai 21 persen jadi harus dioptimalkan,” katanya.(Jef)

KemenkopUKM Dorong Petani Berkoperasi untuk Tingkatkan Skala Ekonomi

Jakarta:(Globalnews.id) – Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi mendorong petani berlahan sempit dan nelayan agar berkonsolidasi dalam wadah koperasi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan memiliki skala ekonomi.

“Koperasi bisa menjadi jawaban berbagai keterbatasan di kalangan petani dan nelayan. Kita tahu bahwa petani yang menggambarkan pelaku usaha mikro dan kecil, saat ini memiliki keterbatasan ekonomi seperti lahan yang terbatas, SDM (Sumber Daya Manusia), akses pembiayaan, hingga kemampuan untuk menjangkau pasar,” kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi saat menyampaikan keynote speech pada Seri Webinar dalam Rangka Peringatan Hari Koperasi ke-76 secara virtual, Senin (03/07).

Zabadi menjelaskan dengan segala keterbatasan yang dimiliki, koperasi menjadi pilihan rasional dalam mengembangkan usaha bagi para petani dan nelayan.

“Koperasi bisa berperan mengolah hasil panen, dan koperasi pula yang bergerak sebagai aggregator dalam menghubungkan hasil produksi dengan market. Sehingga dengan demikian, bisnis yang dikelola memiliki skala ekonomi dan daya saing. Ini sekaligus meningkatkan produktivitasnya,” ujar Zabadi.

Ia memberikan contoh Koperasi Al-Ittifaq di Bandung, Jawa Barat, yang mampu mengonsolidasikan petani berlahan sempit dengan rata – rata 50 hingga 100 meter, menjadi 1.200 hektare.

“Selain mengonsolidasikan lahan sempit para petani, koperasi itu bermitra dengan offtaker akhir seperti gerai ritel modern Superindo dan lainnya untuk memasarkan produk hasil petani,” ucap Zabadi.

Di sektor perikanan, Zabadi menyebutkan pihaknya menerapkan program Solusi Nelayan (Solar Untuk Koperasi Nelayan) untuk membantu para nelayan yang tergabung dalam koperasi, agar dapat lebih mudah menjangkau solar bersubsidi.

“Kita tahu di sektor perikanan, 60 persen biaya yang dikeluarkan ada pada bahan bakarnya. Para nelayan harus membeli harga bahan bakar solar jauh dari harga subsidi yang ditentukan. Kami upayakan 250 desa kampung nelayan untuk dapat difasilitasi SPBU nelayan kedepannya,” kata Zabadi.

Hadir sebagai narasumber Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Tungkot Sipayung mengatakan, petani dan koperasi sawit merupakan penggerak ekonomi pedesaan yang tercatat signifikan mengurangi kemiskinan dan pengangguran di pedesaan.

“Mengapa petani sawit memerlukan koperasi? Karena skala usaha perkebunan sawit rakyat relatif kecil dan menyebar, jalan sendiri-sendiri memiliki posisi tawar lemah, serta secara lokal berada dalam dua kekuatan monopsonistis dan monopolistis,” kata Tungkot Sipayung.

Ia juga menekankan pentingnya para petani sawit untuk memiliki organisasi ekonomi yang mengintegrasikan hulu-hilir sehingga dapat mencapai skala ekonomi. Dengan begitu, para petani sawit rakyat yang hanya bergerak pada on farm dapat memiliki nilai tambah pada mata rantai bisnis sawit.

Senada dengan Tungkot Sipayung, CEO Rumah Kesejahteraan Pendi Yusup mengungkapkan, dengan berkoperasi para petani dan nelayan akan merasakan manfaat ekonomi yang lebih ketimbang berjalan sendiri-sendiri.

“Koperasi bisa menjawab kebutuhan anggota, dalam konteks petani mampu memenuhi kebutuhannya. Selain itu dengan mengonsolidasikan diri maka akan tercapai skala ekoomi, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih murah,” kata Pendi Yusup.(Jef)