Jakarta:(Globalnews.id)- Dalam mitigasi perubahan iklim, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dan berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% hingga 43,2% dengan bantuan internasional pada 2030.
Salah satu upaya mengurangi emisi GRK yakni melalui transisi energi dimana sistem energi yang ada sekarang ditransformasi untuk mengakomodasi penetrasi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tinggi, sehingga secara berangsur-angsur akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Pada 2023, Indonesia berhasil untuk mencapai porsi energi terbarukan sebesar 14%. Namun demikian, potensi pemanfaatan energi baru terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik masih sangat besar. Dari potensi tenaga listrik sebesar 3.686 GW, pemanfaatan EBT baru mencapai 12.557 MW dimana bioenergi berkontribusi sebesar 3.086 MW.
“Sementara itu, menurut data Kementerian ESDM 2024, pada 2023 lalu realisasi pemanfaatan biodiesel domestik sebesar 12,2 juta kilo liter, melampaui angka yang semula ditargetkan pada 10,65 juta kilo liter. Di tahun ini, Pemerintah menargetkan realisasi sebesar 12,5 juta kilo liter. Peningkatan pemanfaatan biodiesel secara konsisten diharapkan dapat mencapai target enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pemanfaatan biodiesel sebesar 18 juta kilo liter pada 2030,” ungkap Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera dalam acara Diskografi Ekonomi Volume 1 bertema “Rembuk Nasional Transisi Energi” di Graha Sawala Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/03).
Acara Rembuk Nasional Forkem kali ini diadakan kembali pasca pandemi Covid-19 dan diharapkan dapat berlangsung secara rutin ke depannya. ”Acara ini diharapkan dapat menjadi wadah komunikasi antara para jurnalis yang tergabung dalam Forkem dengan pihak Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, serta stakeholders lainnya seperti akademisi dan praktisi di bidang ekonomi,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto.
Lebih lanjut mengenai transisi energi, Pemerintah akan terus memanfaatkan Sustainable Aviation Fuel atau bioavtur berkelanjutan berbasis bahan bakar nabati, terutama bioavtur dengan campuran minyak kelapa sawit. Pemerintah juga terus mengembangkan ekosistem kendaraan listrik dari sisi suplai maupun SPKLU. Hingga akhir tahun 2023, telah terdapat 1081 unit SPKLU yang beroperasi baik milik PLN maupun mitra dan swasta. Implementasi transisi energi berkeadilan, khususnya yang berbasis biomassa, juga dengan mempertimbangkan dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat.
“Selain biodiesel, kelapa sawit juga bisa jadi bioavtur yang prospeknya sangat besar. Tebu juga bisa untuk bioethanol. Semua ini tentu kalau kita optimalkan sisi pasokannya, saya pikir seharusnya sebelum Indonesia Emas 2045, kita sudah akan bisa swasembada energi, sebab dari berbagai aspek bisa diproduksi di dalam negeri, dan ini berlaku juga untuk bahan pangan,” jelas Deputi Dida.
Untuk mendorong investasi rendah karbon, Pemerintah telah meregulasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) beserta beberapa mekanisme seperti melalui implementasi Emissions Trading System di sektor ketenagalistrikan pada Februari 2023, dan peluncuran bursa karbon pada September 2023. Potensi pasar karbon masih dapat dioptimalkan melalui penyempurnaan regulasi untuk mendorong penerapan NEK di sektor prioritas NDC.
“Melalui diskusi publik ini, diharapkan narasi mengenai urgensi transisi energi, potensi energi terbarukan, serta skema pasar karbon di Indonesia dapat disampaikan dengan baik kepada publik. Hal itu diharapkan dapat mendorong pelaksanaan transisi energi yang dilakukan secara kolaboratif oleh banyak pihak, dan juga akan bermanfaat sebesar-besarnya untuk pembangunan bangsa,” tutup Deputi Dida.
Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan Indonesia saat ini tengah menuju menjadi negara maju dan melepaskan diri dari middle income trap. Tentunya, untuk menjadi negara yang maju, sejumlah hal perlu dilakukan oleh Indonesia, salah satunya adalah penggunaan energi yang bersih.
“Di masa depan, penggunaan energi bersih tentu akan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan oleh negara maju, sehngga transisi energi menjadi sebuah kebutuhan bagi Indonesia,” kata Dadan Kusdiana dalam Dikusi Publik bertajuk ”Diskografi Ekonomi Vol.01: Menuju Transisi Energi Berkelanjutan” di Graha Sawala, Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Dadan menjelaskan, Indonesia terus melakukan transisi energi dengan mengembangkan sumber-sumber potensial Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain itu, saat ini Indonesiajuga tengah menjalankan pilar-pilar utama pathway Transisi Energi yakni pemanfaatan EBT, praktik rendah karbon, elektrifikasi, efisiensi energi, penggunaan CCS/CCCUS untuk diimplementasikan pada ekstraksi batu bara, minyak, dan gas, serta pada PLTU.
“Dulu kita mencoba sumber energi dari tenaga angintapi kita belum berhasil. Kita terus mencoba sumber EBT yang lain, karena jika melakukan transisi energi dengan mengandalkan satu sumber EBT tentu tidak bisa,” kata Dadan.
Dadan menegaskan, Indonesia beruntung memiliki berbagai macam sumber potensi EBT. Indonesia memiliki potensi EBT besar, tersebar, dan beragam, untuk mendukung ketahanan energi nasional dan pencapaian target bauran EBT
Misalnya, potensi hidro tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kaltara, NAD, Sumbar, Sumut, dan Papua; Potensi Surya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di NTT, Kalbar, dan Riau memiliki radiasi lebih tinggi; Potensi Angin (>6 m/s) terutama terdapat di NTT, Kalsel, Jabar, Sulsel, NAD dan Papua
Potensi lainnya, yakni Potensi Energi Laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama Maluku, NTT, NTB dan Bali; Potensi Panas Bumi tersebar pada kawasan ring of fire, meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
“Dengan menggunakan EBT, nantinya Indonesia akan menjadi negara maju yang menggunakan energi bersih dan berkelanjutan,” ujar Dadan.
Transisi energi yang dilakukan pemerintah adalah bagian dari meningkatkan daya saing Indonesia. Dia mencontohkan daya saing di perdagangan internasional.
“Misalnya, kalau kita produksi suatu barang, pabrik smelter, pabrik kimia, bahan makanan, ditanya carbon footprint bagaimana, dalam proses produksi CO2 berapa banyak yang dirilis. Ini ditanya kalau kita mau ekspor,” kata Dadan.
Menurutnya, bila produk perdagangan Indonesia belum memenuhi standar dunia, hal itu akan mengurangi daya saing produk-produk di Tanah Air. Apalagi, Carbon Border Tax di Eropa akan berlaku 2026. Dadan membuat perumpamaan apabila daya saing perdagangan Indonesia masih tertinggal dari negara lain.
“Kalau kita produksi barang harganya 100 euro, kita ekspor ke Eropa, sama Vietnam juga produksi harganya sama, 100 euro per ton. Masuk ke border Uni Eropa, ditanya mana catatan karbonnya,” ujar Dadan.
Dadan menyebut saat Indonesia masih menggunakan energi listrik PLN dari proses produksi barang yang diekspor, sementara Vietnam menghasilkan produk ekspor dari energi yang lebih ramah lingkungan, maka Indonesia bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi.
“Ini mungkin ya, kalau begitu barang Indonesia dikasih pajak 10 euro, dan Vietnam 1 euro. Barang kita jadi 110 euro, Vietnam jadi 101 euro. Barang kita kurang daya saingnya di situ. Ini sesuatu kenapa kita harus dorong transisi energi,” tutur Dadan.
Kementerian ESDM mencatat, Indonesia memiliki potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang sangat melimpah. Mulai dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi, dan juga laut yang total potensinya 3.686 gigawatt (GW). Dadan menegaskan potensi ini harus benar-benar dimanfaatkan.
“Daya saing enggak boleh turun. Daya saing dipengaruhi bagaimana kita mengelola, memproses sumber daya alam yang kita punya,” ujar Dadan.
Seluruh Provinsi Bisa Jadi Penghasil Bahan Bakar
Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (AIBI) Tatang Hernas Soerawidjaja mengatakan keterbatasan sumber daya energi mineral untuk dijadikan bahan bakar seharusnya tidak menjadi halangan dalam memenuhi kebutuhan energi. Setiap daerah di Indonesia pada dasarnya memiliki sumber-sumber energi nabati yang bisa dijadikan bahan bakar.
Tatang Hernas Soerawidjaja mengatakan setiap daerah di Indonesia memiliki sumber energi potensial yang siap untuk diolah menjadi bahan bakar. Di setiap daerah, banyak pohon yang mengandung asam lemak tinggi.
“Dunia memandang transisi ke bioekonomi akan sangat mendukung tercapainya 11 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Transisi energi tentunya menjadi pilihan demi tercapainya tujuan tersebut. Indonesia merupakan negara yang potensial untuk melakukan transisi energi, karena memiliki sumber energi nabati yang bisa dijadikan bahan bakar,” kata Tatang.
Tatang menambahkan, transisi ke arah bioekonomi dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati tentunya sangat menguntungkan bagi Indonesia. Karena banyak tumbuhan di Indonesia yang potensial menghasilkan minyak maupun lemak.
“Di Indonesia ada banyak sekali pohon yang bijinya berminyak ataupun berlemak, dimana pohon yang ada di Indonesia ini parktis tidak ada di negara yang memiliki empat musim. Misalnya, kemiri, kelor, sawit, kelapa, karet, jarak, malapari dan yang lainnya,” kata Tatang.
Hanya saja, tegas Tatang, naluri berinovasi para pelaku industri di Indonesia masih kecil. Industri selama ini hanya puas dengan pendapatan berbasis komisi saja.
“Selama ini, yang punya pikiran inovatif itu orang asing. Apa yang orang asing inovasikan kita hanya menyediakan untuk mereka. Naluri berinovasi kita kecil. Mudah-mudahanpada 2045 Indonesia sendiri yang berinovasi untuk memanfaatkan dan mengolah sumber daya alamnya, sehingga bisa mewujudkan transisi energi dengan inovasi sendiri,” ujar Tatang.
Kontribusi PLN EPI dalam Transisi Energi
PLN Energi Primer Indonesia (EPI) hingga saat ini turut berkontribusi dalam upaya melakukan transisi energi.
Sekretaris Perusahaan PLN EPI Mamit Setiawan mengatakan kondisi sebelum adanya PLN EPI terdapat risiko unbalance diantara Supply & Demand serta inefisiensi di sepanjang value chain pasokan. Setalah adanya PLN EPI, ternyata fleksibilitas sebagai Single Point of Procurement mampu menyeimbangkan Supply & Demand.
Mamit menjelaskan, PLN EPI sendiri mempunyai visi menjadi solusi energi primer terintegrasi nomor 1 se-Asia Tenggara.
Adapun misi PLN EPI adalah menyediakan energi primer untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Tenaga Listrik secara efisien, berkualitas tinggi, dan tepat waktu; Mengkonsolidasikan proses pengadaan dan logistik energi primer ke dalam ekosistem rantai pasok yang resilient; Memastikan perolehan sumber-sumber pasokan energi primer untuk menjamin security of supply; Menjalankan kegiatan usaha agar tumbuh berkelanjutan dengan prinsip tata kelola GRC (Governance, Risk, and Compliance) dan “a good steward of the environment”.
Mamit mengungkapkan, PLN EPI pada tahun ini akan memasok 2,2 juta ton kebutuhan biomassa di 47 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara milik PLN Grup. Volume ini naik 220 persen dibandingkan realisasi tahun 2023 sebesar 1 juta ton.
Kemudian, reduksi emisi dari penggunaan biomassa di tahun 2024 ditargetkan bisa mencapai 2,4 juta ton CO2 equivalen. Meningkat dibandingkan realisasi penurunan emisi pada tahun 2023 sebesar 1,05 juta ton CO2 equivalen.
“Pada 2024 kami juga menargetkan implementasi cofiring di 47 PLTU, naik signifikan dibanding realisasi 2023 yang hanya 43 PLTU,” ujar Mamit.
TGI Dukung Pemerintah
Business Development Advisor PT Transportasi Gas Indonesia (TGI), Petrus Gunarso memaparkan, dalam upaya penurunan Emisi, TGI berkomitmen mendukung program Pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi GRK dengan menangkap emisi gas metana dari Palm Oil Mill Effluent/ POME (Limbah Pabrik Kelapa Sawit) sebagai limbah industri dan mengangkut gas metana yang ditangkap (atau dikenal sebagai “Bio-metana”) melalui pipa TGI. (“Inisiatif Biometana”).
Apalagi Indonesia merupakan penandatangan “Ikrar Metana Global” – bersama dengan 155 negara lainnya. Janji tersebut menargetkan pengurangan emisi sebesar 30% pada tahun 2030.
Menurut Petrus TGI sedang memulai tahap pertama Inisiatif Biometana bekerja sama dengan 12 Pabrik Kelapa Sawit yang dekat dengan Jalur Pipa TGI di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Riau.
Ditambahkannya, inisiatif Bio-metana ini mempunyai potensi untuk diperluas ke sekitar 300 Badan POM di wilayah tersebut. Proyek ini akan mengurangi emisi GRK secara signifikan, dan membantu industri agar dianggap lebih ramah lingkungan. Karenanya dibutuhkan kolaborasi, mengingat potensi penurunan emisi GRK dari Industri Kelapa Sawit melalui inisiatif ini
“TGI terbuka terhadap kerjasama investasi apa pun. TGI dan Mitra saat ini bekerja sama dengan 12 Badan POM di Jambi dan Riau untuk melakukan Studi Kelayakan yang akan segera dimulai. Pihak mana pun yang berminat untuk berkolaborasi dengan kami atau mencari informasi lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami,” pungkas Petrus.
Kontribusi EBT pada Pembangunan Berkelanjutan
Peneliti Yayasan Inspirasi Indonesia Dr. E. Panca Pramudya mengatakan kontribusi EBT pada pembangunan berkelanjutan melalui penurunkan emisi GRK dilakukan dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi jumlah polutan yang dilepaskan ke atmosfir, dan dengan itu mengurangi emisi GRK dan memitigasi efek perubahan iklim.
EBT juga dapat meningkatkan ketahanan energi.”Pengembangan EBT dapat mengurangi pada impor bahan bakar fosil dan menjadi lebih swadaya dalam mencukup kebutuhan energinya, dan oleh karena itu meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi,” kata Panca.
Menurut Panca, dengan adanya kontribusi EBT tentunya meningkatkan akses terhadap energi.”Dengan cara membuka dan meningkatkan akses energi terhadap komunitas yang sebelumnya kekurangan akses energi, sehingga dapat membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan mutu hidup” ujarnya.,
Ditambahkannya, kontribusi EBT terhadap pembangunan berkelanjutan tentunya terciptanya lapangan pekerjaan. “Teknologi EBT dapat menciptakan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi terutama sehubungan dengan kegiatan manufaktur dan instalasi,” kata Panca.
Selain itu, lanjut Panca, EBT dapat mendukung pembangunan perdesaan. “Teknologi EBT dapat mendukung pembangunan perdesaan dengan memberikan akses energi terhadap masyarakat perdesaan, yang dapat meningkatkan kualitas hidup, produktivitas pertanian dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” tutur Panca.
Meski demkian, Panca pun mengungkapkan adanya hambatan dalam pengembangan EBT. Ada beberapa hambatan dalam pengembangan EBT. Pertama, kepastian akan permintaan terhadap EBT.
“Ini terjadi akibat kurang akuratnya asumsi pertumbuhan permintaan dan terjadinya keterlambatan pada proses dan tahapan pengadaan,” ujarnya.
Kedua, hambatan keterbatasan regulasi untuk ET. Ini terjadi karena rezim tarif yang memaksa tarif ET bersaing dengan biaya pembangkit termal, bahkan tidak tarif khusus bagi ET yang memaksa ET bersaing langsung secara biaya dengan pembangkit termal; Peningkatan TKDN untuk modul surya yang kurang memperhitungkan kapasitas manufaktur yang skalanya terbatas dengan tingkat pemanfaatan kapasitas yang rendah; Kewajiban ET untuk tunduk pada skema BOOT (Build – Own – Operate – Transfer), yang menghambat akses terhadap pinjaman karena ada ketidakpastian terhadap penilaian lahan dan pengurangan durasi PPA, membatasi peluang menjual proyek dan mengurangi kemungkinan proyek ET dibangun di lahan sewa; Bila terjadi force majeure akibat bencana alam, tidak ada kompensasi dalam bentuk terminasi dan hanya diberikan perpanjangan waktu
Ketiga, hambatan pengembangan EBT karena jaringan nasional kelistrikan belum terintegrasi (8 jaringan utama dan 600 sistem jaringan terisolasi) serta batas penetrasi ET variabel 10% dari beban puncak siang hari untuk memastikan kestabilan jaringan
Keempat, penyediaan dan pembebasan lahan, serta kelambatan pengurusan izin penggunaan lahan. Kelima, kekurangan tenaga terampil untuk pengoperasian dan pemeliharaan sistem energi terbarukan terdistribusi dan manufaktur peralatan ET.
Terakhir, keenam, kurangnya dukungan investasi dari perbankan dan investasi dalam negeri
Untuk menghilangkan hambatan tersebut perlu mengembangkan solusi riil melalui nilai tambah dan modernisasi manusia, alam dan potensi bagi generasi mendatang merupakan orientasi dari pengembangan solusi riil.
Kemudian, perlu adanya kelembagaan dan investasi yang mendukung pengembangan EBT berorientasi pembangunan industri bangsa
Lalu, partisipasi masyarakat dalam kesempatan secara utuh untuk terlibat dan memiliki fasilitas EBT yang dimulai dengan penataan tata kelola yang bukan sekedar retorika politik untuk kepentingan jangka pendek
Hambatan pengembangan EBT juga bisa diminimalkan dengan mengoptimalkan potensi lokal.
“Potensi lokal merupakan modal utama dalam modernisasi, baik dalam hal manusia, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati dan potensi geografis. Generasi mendatang adalah kita sendiri di masa mendatang, pengembangan energi baru dan berkelanjutan jangan mengorbankan potensi alam bagi mereka,” kata Panca.(Jef)