JAKARTA: (Globalnews.id)- Pakar geologi asal ITB Dr Ir Budi Sulistijo, M.App. Sc, mempertanyakan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar bahwa sudah ada indikasi perusakan lingkungan yang ditemukan oleh Tim Kajian Lingkungan Hidup Startegis (KLHS) pusat terhadap areal penambangan milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Rembang, Jawa Tengah.
“Bagaimana ada indikasi perusakan terhadap lingkungan kalau PT Semen Indonesia saja belum mulai menambang? Aneh indikasinya itu,” kata Budi Sulistijo yang pakar di bidang hidro geologi, engineering geologi, serta bidang geologi eksplorasi dan lingkungan geologi, sabtu (25/3/2017).
Seperti diberitakan di rmol.co, Menteri Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan adanya indikasi awal perusakan lingkungan yang ditemukan oleh Tim KLHS. “Dalam diskusinya, para ahli sudah menemukan indikasi-indikasi sebetulnya,” katanya, Jumat (24/3/2017).
Menteri Siti kemudian menyebut soal metode Q-Max dan Q-Min atau debit air maksimal dan minimal yang mengindikasikan berkurangnya debit air di sekitar areal tambang milik PT Semen Indonesia.
Menurut Budi Sulistijo, pengukuran Q-Max atau Q-Min memang metode yang normal dipergunakan dalam hidrologi untuk mengetahui debit air. Pemantauan Q-Max dan Q-Min harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu, pada musim hujan dan musim kering, untuk memastikan penyebab berkurangnya debit air. Sebab metode itu sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan sistem infiltrasi di suatu wilayah. “Perubahan Q-Max dan Q-Min itu terjadi akibat fluktuasi curah hujan dan laju infiltrasi,” katanya.
Namun Budi membenarkan bahwa debit air di suatu wilayah juga bisa berubah akibat aktivitas penambangan, jika penambangan memotong muka air tanah dan air hujan dari lokasi penambangan dibuang keluar. Hal itu disebabkan lahan yang menjadi gundul atau hilangnya vegetasi. “Lha padahal Semen Indonesia belum melakukan aktivitas penggalian. Kegiatan penggalian kan justru sudah dilakukan oleh 18 perusahaan penambangan swasta yang arealnya dekat dengan areal milik Semen Indonesia,” ujarnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, jika memang debit air berkurang akibat aktivitas penambangan, harus dilihat bagaimana metode penambangan yang dilakukan oleh 18 perusahaan swasta yang kini telah menggarap areal seluas sekitar 250 hektare.
Budi Sulistijo juga coba mengungkapkan soal metode penggunaan cairan garam di areal batu gamping untuk menentukan ke mana air bakal berkumpul di sumber mata air terdekat. Menurutnya, struktur batu gamping di manapun pasti mempunyai rekahan dan saling berhubungan. Air juga akan mengalir menuju zona jenuh dan jika terpotong oleh topografi bakal menjadi mata air.
Untuk hubungan antara rekahan dengan zona jenuh dan akhirnya meneadi sumber mata air yang menjadi hulu, maka di lokasi yang ditetapkan dilakukan pengeboran untuk kemudian dimasukkan cairan garam sebanyak 40.000 ppm. Kemudian pada saat bersamaan diukur daya hantar listriknya yang mempunyai korelasi dengan kadar garam. Di beberapa sumber mata air diperiksa mana yang kandungan garamnya meningkat. “Konsep ini diterapkan untuk mendapatkan desain penambangan yang berwawasan lingkungan dan bagaimana meningkatkan imbuhan air tanah,” kata Budi.
Terkait dengan penambangan Semen Indonesia yang menggunakan konsep “zero run off” atau air yang keluar dari areal penambangan nol persen sehingga seolah- olah membuat biopori raksasa atau sumur resapan – – seperti yang dianjurkan Menteri LHK untuk membuat biopori di setiap rumah– dan dibuat sabuk pengaman yang mengelilingi areal tambang, maka debit di sumber mata air bisa menjadi tolok ukur apakah cara penambangan sudah benar atau menyimpang.
“Nah, metode uji air garam tadi nantinya mengontrol apakah teknologi zero run off di areal tambang berhasil menambah debit air di sumber airnya. Itu teknologi paling murah. Supaya kita justru bisa yakin menambah pasokan di sumber mata air tersebut,” ungkapnya.
Budi memberi jaminan bahwas di lokasi IUP (Izin Usaha Penambangan) seluas 293 hektare milik PT Semen Indonesia tidak ada sumber mata air, goa, dan apalagi habitat kelelawar yang hidup di dalam goa. Bahkan menurutnya, izin prinsip areal penambangan Semen Indonesia seharusnya 530 hektare. Namun menyusutmenjadi 293 hektare setelah dikeluarkan IUP setelah berpatokan pada tidak adanya sumber mata air dan goa.
“Intinya harus ada win-win solution. Konservasi alam harus jalan, sementara industri juga harus jalan. Kan antara konservasi alam dan industri harus berjalan seiring. Kecuali kalau pemerintah memang mau kelimpungan gara-gara industri penambangan tidak boleh jalan ya lain persoalan,” katanya.
Budi pada akhirnya kembali menegaskan bahwa areal penambangan milik Semen Indonesia secara geologi bukan termasuk wilayah Zona Kendeng (Kendeng ridge) melainkan masuk Zona Rembang. “Zona Kendeng berada di selatan Zona Rembang. Jadi kalau masih ada yang menggunakan istilah pegunungan Kendeng yang merupakan terjemahan dari Kendeng Ridge, apakah mereka memahami zonasi geologi atau tidak?” pungkasnya.(jef)