JAKARTA:(Globalnews.id)- Luar biasa! Produksi jambu getas merah yang semula hanya dibeli tengkulak dengan harga Rp 500/Kg atau bahkan banyak yang dibiarkan jatuh membusuk dari pohon, kini bisa dibeli BUMDes dengan harga empat kali lipatnya, Rp 2.000/Kg.
Inilah yang terjadi di kalangan petani jambu getas merah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sejumlah desa yang bertebaran di beberapa kecamatan di Kendal memang dikenal memiliki Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades), yakni jambu getas merah, salah satu jenis jambu yang digemari di pasar.
Di pasaran, jambu jenis ini umumnya dijual dengan harga di kisaran Rp 5.000/Kg. Bahkan di toko-toko buah ternama bisa dijual dengan harga Rp 10.000/Kg bahkan lebih tinggi.
Menurut Plt Direktur Jenderal Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi (PKP2Trans), Hari Pramudiono SH MM, situasi tidak menguntungkan bagi petani tersebut terjadi karena selama ini para perani hanya berfokus pada produksi.
“Mereka sama sekali tidak mengerti jaringan pemasaran regional atau bahkan nasional, sementara pasar lokal sudah jenuh dan terbatas pemasaraannya. Inilah yang dimanfaatkan para pengepul atau tengkulak untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya,” ujar Hari di Kantor Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (6/3/2018).
Ada empat kecamatan di Kabupaten Kendal yang selama ini mengembangkan tanaman jambu getas merah, yakni Sukorejo, Patehan, Plantungan,danPageruyung, dengan total luas lahan sekitar 671,7 Hektare.
Para petani memanen jambu dua kali dalam seminggu, yakni hari Selasa dan Sabtu, dengan total hasil panen 1,2 Ton/Hektare per minggu. Dalam sebulan, Jambu Getas Merah yang mereka panen mencapai 4,8 Ton per hectare per bulan.Sehingga dengan luas lahan 671,7 hektare, para petani Kendal memanen jambu eberat 3.224,2 ton per bulan.
Dengan jumlah panen yang sedemikian melimpah, kata Hari, tak jarang para petani membiarkan jambu tersebut jatuh membusuk, karena pasar lokal tak mampu menyerapnya atau harga jualnya terlalu rendah. “Hal ini mengakibatkan lingkungan kebun menjadi tidak sehat dan berdampak pada penurunan produk di kemudian hari,” lanjut Hari.
Hari menduga, nasib seperti ini tidak hanya dialami oleh petani jambu di Kendal. Masih banyak petani di daerah lainnya yang juga bernasib sama, yakni menjadi korban permainan para tengkulak. Hal inilah, kata Hari, yang mendorong pemerintahan Presiden Jokowi untuk memberi perhatian besar dalam pemberdayaan perekonomian desa, termasuk di dalamnya adalah petani.
Seiring dengan bergulirnya Dana Desa yang tahun ini mencapai Rp 60 Triliun, Kemendes PDTT kini menggencarkan empat program prioritas .Keempat program tersebut adalah Program Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades), pembangunan embung, pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pembangunan sarana olahraga desa. Dengan program itu, jelas Hari, kasus-kasus seperti yang dialami petani jambu di Kendal bisa terangkat.
BUMDes Bersama
Dalam kasus di Kendal, Kemendes PDTT pun akhirnya turun tangan bersama dengan Pemerintahan Kabupaten Kendal untuk mencarikan solusi. Langkah yang dilakukan adalah membentuk BUMDes Bersama, yakni gabungan BUMDes dari desa-desa penghasil jambu di Kabupaten Kendal.
“Jadi, desa-desa penghasil jambu di Kendal ini dibantuk membentuk BUMDes. Karena jumlahnya banyak dan kemudian dikumpulkan menjadi satu badan usaha, maka disebut BUMDes Bersama (BUMDesma),” terang Hari.
BUMDesma para petani jambu di Kendal ini diberi nama BUMDesma Plasma Petik Sari yang beranggotakan 7 Desa dari 2 Kecamatan. Dari Kecamatan Sukorejo meliputi Desa Bringinsari, Desa Pesaren, Desa Trimulyo dan Desa Kalipakis.Sedangkan dari Kecamatan Patean meliputi Desa Pakisan, Desa Plososari dan Desa Mlatiharjo.
Hari menjelaskan, luas lahan jambu getas merah di 7 desa tersebut hanya setengah dari potensi jambu getas merah di 4 kecamatan penghasil jambu getas merah di Kabupaten Kendal.“Meskipun BUM Desa Bersama ini milik 7 desa, namun demikian ruang lingkup kegiatannya dapat melayani desa-desa yang lain diluar desa bahkan kecmatan yang lain,” ujarnya.
Bersamaan dengan pembentukan BUMDes, pemerintah juga membantu mencarikan mitra swasta sebagai pembeli produk jambu yang dihasilkan petani.Pihak swasta yang digandeng BUMDes Bersama di Kendal adalah PT Fruit ING Indonesia. “Kerjasama dengan swasta ini diperlukan untuk mendapat jaminan pasar dan harga yang menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pihak swasta maupun pihak petani,” ujar Hari.
Dengan kondisi seperti ini, petani jambu di Kendal tidak perlu lagi takut hasil produksinya tidak laku dijual, atau dibeli dengan harga murah. Kini, Kendal bahkan akan membangun Kawasan Perdesaan Agro Politan. “Setelah program ini berjalan nantinya tidak akan ada lagi petani jambu yang tidak bisa menjual produksinya,” kata Hari.
Pengelolaan pemasaran jambu getas merah di Kendal ini akan melibatkan 350 orang petani, 50 pengepul, BUMDesma Plasma Petik Sari (PPS) dan PT Fruit ING. Mekanismenya, kata Hari, para petani akan menjual produksinya kepada pengepul yang ditunjuk dengan harga Rp. 2.000/Kg. Harga ini empat kali lipat dari harga semula, yakni Rp 500/Kg.
Sedangkan para pengepul wajib menjual hasil kulakannya dari petani jambu tersebut ke BUMDesma PPS dengan harga Rp 2.400/Kg untuk grade B dan C. Sedangkan untuk produk jambu grade A, pihak pengepul diberi keleluasaan untuk memasarkannya pasar lokal dan regional.
“Pada tahap akhirnya, BUMDesma menjual jambu tersebut ke PT Fruit ING dengan harga Rp 3.000/kg. Jadi, dengan skema ini semua diuntungkan, baik petani, pengepul maupun pengusahanya,” terang Hari.
Rencanya, pengiriman jambu pada triwulan pertama sebanyak 28 ton/bulan.Bila tahap pertama lancer, maka pada triwulan kedua meningkat menjadi 56 ton/bulan, dan selanjutnya triwulan ketiga menjadi 600 ton/bulan. Kabarnya, PT Fruit ING mampu menyerap produk jambu hingga 20.000 ton/tahun.
Hari berkeyakinan, bila semua desa yang ada di Indonesia melakukan langkah pemberdayaan potensi ekonomi seperti yang terjadi di Kendal, maka problem kemiskinan di desa akan teratasi. “Mengapa? Karena sangat banyak keuntungan yang akan diperoleh masyarakat desa, dalam hal ini petani. Mereka tidak hanya bisa menjual harga produksinya dengan harga mahal, tetapi juga akan diberi pembinaan dan pelatihan. Biasanya perusahaan yang bermitra akan membina petaninya agar mampu menghasilkan produk lebih banyak dan lebih baik,” ujarnya.
Meski demikian, kata Hari, bukan berarti tugas pemerintah sudah selesai. Monitoring dan pembinaan akan terus dilakukan sampai pemberdayaan potensi ekonomi desa tersebut benar-benar bisa dianggap berhasil. (jef)