JAKARTA:(GLOBALNEWS.ID)– Pustaka Obor Indonesia didukung KBRI Berlin menyelenggarakan acara bedah Buku “Kebaya Melintasi Masa” karya Soesi Sastro dkk yang diselenggarakan secara virtual.
“Busana kebaya masih eksis bertahan dan terus berkembang hingga saat ini karena faktor-faktor eksternal, termasuk keberanian para perancang yang menggabungkan ide modern dengan nilai klasik kebaya. Kebaya kini dikembangkan sesuai aktivitas masyarakat yang ingin busana praktis, ada yang memadukan kebaya dengan bawahan modern seperti rok atau celana panjang agar lebih nyaman. Perkembangan bentuk itu menjadi titik eksistensi kebaya yang terhindar dari kepunahan selera zaman,” demikian disampaikan Ketua Dharma Wanita Persatuan KBRI Berlin, Sartika Oegroseno (isteri Dubes RI di Jerman) dalam acara bedah buku tersebut, Minggu (15/8/2021).
Dalam bedah buku “Kebaya Melintasi Masa” hadir sebagai pembahas adalah, Dr. Pudentia MPSS, M.Hum; Prof. Dr. drh. AETH Wahyuni, M.Si.; dan seniman nusantara Sari Yok Koeswoyo.
Menurut Sartika Oegroseno yang akrab disapa Titi, dirinya sudah membaca Buku “Kebaya Melintasi Masa” yang disunting dan ditulis oleh Soesi Sastro. Buku tersebut sangat menarik dan inspiratif karena ada pendapat, peran dan cerita pribadi dari seluruh penulisnya tentang kebaya sebagai baju tradisional Indonesia.
“Perempuan-perempuan Indonesia di Jerman aktif juga memperkenalkan budaya Indonesia. Di Berlin ada komunitas Selasa Berkebaya, beberapa ibu-ibu berkebaya pada hari Selasa, lalu mereka berfoto bersama di tempat bersejarah atau tempat-tempat wisata di Berlin,” tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Dr. Pudentia MPSS, M.Hum mengatakan, kebiasaan suatu kelompok mengenakan kebaya pada hari-hari yang disepakati bisa membantu menyebarkan “virus” cinta busana tradisional Nusantara.
Menurut Pudentia, berkebaya adalah salah satu cara membangun identitas diri. Tanpa identitas, kita nyaris tidak bermakna dan tidak berdaya. Kita selalu berusaha menunjukkan identitas dan keberpihakan identitas tertentu. Penulis-penulis dalam buku ini menunjukkan upaya membangun identitas bangsa dengan cara menarik.
“Sejak abad ke-19, kebaya tidak hanya milik perempuan Jawa. Dari foto dari masa lampau, ada bukti bahwa kebaya juga dikenakan di Sumbawa hingga Pontianak. Kebaya digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari acara ritual yang formal, sebagai busana resmi untuk menerima tamu hingga busana informal sehari-hari untuk rekreasi,” ujar Pudentia yang menjadi salah satu penulis kata pengantar pada buku tersebut.
Pada kesempatan yang sama Prof. Dr. drh. AETH Wahyuni M.Si dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang dikenal sebagai pencinta kebaya memaparkan tentang pengalamannya menggunakan kebaya saat kecil menjadi pendamping pengantin menumbuhkan ketertarikan dan rasa cinta terhadap busana khas Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, formal maupun informal, AETH Wahyuni selalu berkebaya dengan jenis bervariasi. Bahkan ke kampus pun, Profesor yang satu ini selalu lekat dengan kebaya warna-warni.
“Berkebaya itu tidak merepotkan, justru menyenangkan, kita bisa mengekspresikan apa keinginan kita. Tulisan dalam buku Kebaya Melintasi Masa menurutnya, ibarat serpihan-serpihan kain perca yang berhasil dijahit dengan baik oleh Soesi Sastro menjadi sesuatu yang enak dibaca, dikelompokkan menjadi 12 bagian sehingga memudahkan pembacanya,” kata AETH Wahyuni.
Sementara seniman dan mantan penyanyi cilik Sari Yok Koeswoyo (puteri penyanyi grup band Koes Ploes, Yok Koeswoyo) mengaku bahwa membaca buku Kebaya Melintasi Masa ini seperti ‘gue banget’. Sejak lama ia mengoleksi kain-kain nusantara.
“Bukan kain yang mahal tetapi kain yang sudah ada di rumah terutama yang ada di lemari ayahnya,” tuturnya.
Karena kecintaannya pada budaya nusantara, Sari rajin berkebaya dan berkain bukan hanya untuk acara formal seperti resepsi pernikahan atau acara-acara adat, tetapi ke tempat-tempat seperti supermarket atau saat keluar kota. Gaya busananya sering di padupadan ketika harus pergi untuk urusan santai. Kain atau sarung bawahan dikombinasikan dengan kaos oblong sebagai pengganti kebaya.
Menurut Sari Koeswoyo, busana tradisional Indonesia memberi aura berbeda terhadap pemakainya karena tampilannya berubah jadi elegan dan menarik. Meskipun memakai kebaya motif kembang dipadu kain batik sogan terlihat bertabrakan, tetapi mendiang neneknya terlihat menarik dan cantik dengan padanan tersebut.
“Ketika harus ke acara resmi, aku merasa berubah drastis saat berkain kebaya. Pembawaan jadi otomatis berubah menjadi elegan setelah berkebaya lengkap dengan selop tinggi dan cepol. Kalau berjalan, serasa ratu. Kebaya itu seperti “jimat”-nya perempuan Indonesia. Kalau mau kelihatan cakep, megah, pakailah kebaya,” ujar Sari menambahkan.
Ketua Yayasan Obor Indonesia Kartini Nurdin mengapresi DWP KBRI Berlin yang memberikan perspektif berbagai pakaian tradisional di berbagai belahan dunia termasuk busana kebaya Indonesia. Kartini bersyukur, peserta dari berbagai negara dapat bergabung dalam acara bedah buku karya Soesi Sastro dkk tersebut. Dirinya berharap perempuan-perempuan lain terinspirasi untuk menghasilkan karya tulis dengan topik-topik menarik lainnya sehingga menghidupkan dunia literasi di Indonesia.
Bagi Soesi Sastro, kebaya dan berkebaya termasuk budaya yang menjadi saksi sejarah kemerdekaan bangsa ini bahkan jauh sebelumnya. Kebaya adalah tradisi, busana yang merdeka, bisa dipadu dengan apa saja, dimana pun dan kapanpun melekat dengan masanya. Dirinya yakin, kebaya akan tetap ada dan dikenakan selamanya sebagai busana perempuan Indonesia, dengan segala manfaatnya dari aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Tulisan-tulisan tentang kebaya dari perspektif lain perlu dikembangkan lagi.
Dalam acara yang dipandu Diah Yulianti dari Heidelberg Jerman ini, tampak hadir dan berbagi pengalamannya, seniman tari Maria Dardamaningsih, Nungki Kusumastuti, dan Gana Stegmann. (Jef)