JAKARTA: Melambungnya harga garam saat ini dan sebelumnya juga harrga daging sapi cabe, menunjukkan sistem logistik dan distribusih komoditas yang carut-marut.
“Ada kesalahan dalam sistem logistik dan distribusi nasional Amanah undang-undang tidak dijalankan secara konsisten. Ditambah ada permainan yang dimainkan oleh sekelompok pedagang yang kemungkinan tahu tentang kebijakan pemerintah terkait dengan kelangkaan sejumlah komoditas,’ ujar Agung Sudjatmoko Ketua Harian Dekopin, di Jakarta, Jum’at (4/8).
Agung menilai, sebenarnya jika di negara ini diurus dengan benar terlait dengan komoditas pangan rakyat tidak akan terjadi. Menurut Agung, negara melalui pelaku usaha koperasi, dulu berhasil membangun swasembada pangan. Dampaknya, Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar beralih ke pengekspor beras karena surplus.
Pemerintah saat itu memberikan kebijakan jelas kepada koperasi untuk penyangga hasil panen, pemerintah memberikan subsidi pupuk ke petani, pemerintah membangun infrastruktur irigasi dan menugaskan Bulog untuk pengendali logistik dan distribusi beras. Puluhan tahun dijalankan secara konsisten oleh pemerintah saat itu di bawah Presiden Suharto.
Dirusak IMF
Lebih lanjut Agung menguraikan, masuknya IMF telah merubah kebijakan yang melemahkan kebijakan pemerintah membangun swasembada pangan nasional. Hal itu karena subsidi di hapus, monopoli dihilangkan dan berbagai kebijakan yang justru melemahkan peran pemerintah membangun basis pangan dan pengendalian distribusi pangan rakyat.
“Kebijakan ini sangat merugikan baik bagi rakyat maupun gerakan koperasi yang saat itu dilakukan oleh KUD. Kesalahan itu baru terbukti setelah 20 tahun pasca tumbangnya orde baru. Padahal sebagai bangsa tidak harus merubah semua kebijakan yang ada saat itu jika masih menguntungkan rakyat dan memberikan perlindungan kpada pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat,” tegasnya.
Sekarang garam mahal, kerena pemerintah tidak memberdayakan petani garam, melalui intensifikasi dan ekstensifikasi serta membina mereka dalam wadah koperasi petani garam.”Petani seolah dibiarkan saat panen dipermainkan oleh para tengkulak, sehingga harga jatuh yang sangat merugikan petani garam,” katanya.
Rantai produksi garam dilakukan oleh pasar jelas merugikan petani jika mereka sendiri-sendiri membuat garam, bahkan tidak sedikit karena keterbatasannya petani garam mengijonkan ptoduksi garamnya kepada tengkulak karena tidak ada lembaga pembiayaan yang memberikan layanan kepada petani garam saat belum panen
Momentum Pembenahan
Menurut Agung, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, maka momentum gejolak harga garam ini harus dijadikan titik awal untuk menbangun swasembada garam berbasis pada produk garam rakyat dan menjadikan koperasi sebagai penyangga hasil produk garam rakyat tersebut.
“Sistem memerankan koperasi pembuat garam sebenarnya mudah. Petani garam membuat garam, hasilnya dibeli oleh petani dengan standar harga ekonomi yang layak, terus koperasi membuat produksi garam olahan baik untuk konsumsi maupun untuk industri,” jelasnya.
Selain itu bisa juga koperasi bekerjasama dengan pabrik garam mengolah lebih lanjut garap produk petani garam, yang sekaligus mendistribusikan garam sampai ke pelosok daerah sehingga terjadi stabilitas pasokan dan harga garam.
Kenapa harus melalui koperasi? Menurut Agung, hal itu karena berkumpulnya petani garam di koperasi memudahkan pembinaan dan pengembangan petani garam itu sendiri. Sebab koperasi adalah wadah ekonomi bersama yang segala sesuatunya diputuskan secara bersama.
Koperasi juga merupakan wadah usaha bersama yang dibangun oleh kesamaan kepentingan usaha dan sosial budaya. “Tetapi di tubuh koperasi yang sama juga sebagai perusahaan yang harus dikelola sebaik mungkin sama dengan perseroan terbatas,” pungkasnya. (jef)