YOGYAKARTA:(GLOBALNEWS.ID)-Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran kemenkop dan UKM Victoria Simanungkalit menekankan pentingnya melakukan standarisasi dan sertifikasi produk bagi pelaku KUMKM, bila ingin memasuki pasar global. “Urgensi standarisasi dan sertifikasi adalah menjamin posisi produk UKM menjadi lebih aman agar terhindar dari pelanggaran HAKI agar tidak dicuri”, kata Victoria pada acara forum diskusi bertema Standarisasi dan Sertifikasi Menuju KUMKM Naik Kelas, di Jogjakarta, Rabu (24/7).
Selain itu, lanjut Victoria, manfaat standarisasi dan sertifikasi adalah menjamin dalam pengembalian modal atau investasi serta sebagai aset UKM. Juga memberi bisa kemudahan dalam pengembangan usaha antara lain melalui waralaba dan lisensi. “Terkait mutu produk, sistem kekayaan intelektual melindungi konsumen terhindar dari produk-produk palsu yang kualitasnya cenderung rendah”, tukas Victoria.
Menurut Victoria, standarisasi dan sertifikasi produk itu harus detail dan spesifik dan harus sesuai dengan standar global. “Standarisasi adalah upaya untuk menjaga kualitas produk dan efisiensi usaha. Sementara sertifikasi merupakan kegiatan penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis dan produk telah memenuhi regulasi”, papar Victoria.
Victoria mengakui bahwa produk UKM Indonesia belum banyak masuk ke rantai pasar global. Pasalnya, produk UKM Indonesia masih memiliki spek yang rendah dan belum memenuhi standar global. “Saat ini, baru sekitar 1,2 juta UKM yang memiliki hak merek, 49 ribu UKM yang memiliki hak paten. Jadi, jangan heran bila Kopi Toraja sudah dipatenkan di Jepang”, ungkap Victoria.
Victoria juga mencontohkan produk UKM komponen, dimana ukuran produk masih beda dan belum memenuhi standar global. “Begitu juga dengan produk handicraft, apakah misalnya produk piring atau gelas hasil kita itu tidak pecah ketika masuk ke microwafe. Intinya, apakah produk UKM itu sudah berstandar global”, kata Victoria.
Dengan standarisasi dan sertifikasi produk UKM, konsumen juga terlindungi. “Lihat bisnis makanan dan minuman olahan, harus memperhatikan proses produksinya dengan tetap menjaga higienis dapurnya. Saya pernah mendapat fakta produk mamin UKM yang disukai orang-orang di Kanada. Lalu, importir mereka datang melihat proses produksinya kemudian membatalkan. Alasannya, dapur UKM tersebut dinilai tidak higienis”, ungkap Victoria.
Hanya saja, lanjut Victoria, ketika produk UKM memiliki standar ISO dan tersertifikat, juga memiliki konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Yaitu, produksi harus konsisten dengan kualitas produk yang tetap terjaga. “Jangan sampai setelah memiliki standar ISO dan sertifikat produk, lalu tidak menjaga kualitas, nama baik produk tersebut akan rusak di pasar”, tegas Victoria.
Bagi Victoria, kegagalan produk UKM di pasar juga bisa disebabkan karena para UKM kita sangat bangga dengan hasilnya tanpa memperhatikan kebutuhan dan keinginan konsumen. “Kita harus melihat dan memahami pasar maunya apa”, tandas Victoria.
Sedini Mungkin
Dalam kesempatan yang sama, Ketua BPD Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi) DIY Emirita Pratiwi mengatakan, HAKI bagi UMKM hal yang sangat penting karena termasuk dari aset berharga yang dimiliki. “Perlindungan terhadap produk atau karya dengan HAKI sebaiknya dilakukan sedini mungkin untuk menghindari pembajakan dari kompetitor”, tukas Emirita.
Selain itu, lanjut Emirita, keberadaan HAKI pada suatu produk milik UMKM memudahkan UMKM untuk memasuki pasar karena adanya kepastian mengenai kepemilikan dan hak UMKM atas produk atau karyanya. “Persaingan bisnis seringkali tidak mengindahkan etika sehingga menimbulkan pembajakan dan pemalsuan produk”, kata Emirita.
Bagi Emirita, produk hasil pembajakan tersebut juga bisa muncul karena daya beli masyarakat dimana produk palsu tersebut memiliki harga jual yang lebih rendah dari produk aslinya. “Produk yang sedang ngetren cenderung menjadi korban dari pembajakan atau pemalsuan produk”, ucap Emirita.
Hanya saja, ungkap Emirita, ada beberapa kendala bagi UMKM dalam mendapatkan HAKI. Diantaranya, pendaftaran HAKI memerlukan waktu panjang dan biaya besar, proses produksi untuk memunculkan produk baru membutuhkan waktu, biaya, dan investasi yang besar pula. “UMKM seringkali malas untuk mengurus HAKI karena kendala-kendala tersebut”, kata Emirita.
Hal senada dikatakan Direktur Koperasi Serba Usaha (KSU) Asosiasi Pemasaran Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (Apikri) Yanti Sukamta terkait kendala UMKM mengurus HAKI. Menurut Yanti, selain proses lama dan biaya tak sedikit, UMKM juga terkendala ketika sertifikat hak paten desain sudah keluar namun tren produk tersebut juga sudah memudar. “Itu kendala kongkrit yang kita hadapi”, tegas Yanti.
Yanti bercerita, KSU Apikri yang didirikan pada Juni 1987 kini sudah memiliki anggota sebanyak 500 keluarga yang menjalankan udaha kerajinan dan makanan minuman olahan. “Misi kita melakukan pengembangan masyarakat untuk penemuan pasar dan melakukan penemuan pasar untuk pengembangan masyarakat”, ujar Yanti.
Beberapa produk yang dihasilkan KSU Apikri diantaranya miniatur dari kayu, produk bambu, produk natural, painted product, aksesoris fesyen, coconut product, dan sebagainya. “Produk unggulan kita saat ini adalah peti mati berbahan natural rotan kombinasi pandan dan gedebong pisang. Sudah ada sejak 2008 dan sudah dipasarkan hingga ke UK. Menyusul akan masuk pasar Belanda dan Australia”, pungkas Yanti.(jef)