INSA : UU Cipta Kerja Belum Jawab Masalah Pelayaran

Jakarta(Globalnews.id)- Undang-Undang
tahun 2008 tentang Pelayaran
termasuk salah satu UU yang
direvisi Pemerintah melalui
pengesahan Rancangan Undang￾Undang tentang Cipta Kerja atauOmnibus Law.

Di dalam RUU Cipta Kerja yang
sudah diketok oleh Parlemen dan
ditandatangani menjadi UU No.11
tahun 2020 tersebut, setidaknya
terdapat 60 lebih pasal UU
Pelayaran tahun 2008 yang direvisi.
Pasal sebanyak itu, ada yang
diubah, ditambah dan sebagian ada
yang dihapus.

Indonesian National Shipowners
Association (INSA) pun angkat bicara
tentang hasil revisi UU Pelayaran
tersebut melalui UU Omnibus Law.
Meskipun belum gembira dengan
hasil revisi, akan tetapi Indonesian
National Shipowners Association
tetap mengapresiasinya.

“Kami mengapresiasi karena
beberapa pasal di dalam UU
Pelayaran telah direvisi menjadi
lebih pro terhadap investasi dan
pengembangan usaha angkutan
laut dalam negeri, misalnya tentang
sanksi,” kata Ketua Umum
Indonesian National Shipowners
Association Sugiman Layanto di Jakarta kemarin.

Meskipun demikian, katanya, ada
beberapa pasal yang juga berpotensi merugikan industri pelayaran nasional, salah satunya adalah adanya pasal yang
mengakomodasi keberadaan perusahaan asing, kapalberbendera asing dan awak kapalasing untuk beroperasi di perairan
dalam negeri.

Di dalam RUU Cipta Kerja, katanya,
kapal asing dapat melakukankegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan
angkutan laut dalam negeri di perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia. “Kami kurang gembira dengan pasal ini,” katanya.

Dia menjelaskan secara umum UU Omibus Law belum menjawab permasalahan yang dihadapipelayaran yang selama ini
dikeluhkan yakni tentang adanyatumpang tindih kewenangan di dalam penegakan hukum di laut.

Menurut dia, dengan jumlah kapal niaga nasional yang mencapai 27.567 unit yang dioperasikan oleh sekitar 3.612 perusahaan, baik SIUPAL maupun SIOPSUS,
masalah penegakan hukum di laut
dalam rangka memberikan rasa aman kepada kegiatan angkutanlaut menjadi tantangan Pemerintah untuk mewujudkannya.

Pihaknya sejauh ini telah melakukan analisa mengenai masalah yang terjadi di dalam proses penegakan hukum di laut
dan menemukan sejumlah masalah antara lain adanya tumpang tindih
kewenangan di dalam pemeriksaan
/penyidikan serta banyaknya instansi yang terlibat dalam proses pemeriksaan.

Saat ini, setidaknya terdapat 13
Undang-Undang yang memberikan
otorisasi terhadap kegiatan penegakan hukum di laut denganmelibatkan 13 kelembagaan. “Sejak awal kami mengharapkan Omnibus Law menyasar masalahini karena penyederhanaan
penegakan hukum di laut sangat
urgent,” ujarnya.

Dia menjelaskan masalah tumpang tindih kewenangan di dalam penegakan hukum di laut telahdibahas dalam Rapat Umum
Anggota (RUA) Indonesian National
Shipowners’ Association tahun
2019.

Dalam rapat tersebut, para anggota
Indonesian National Shipowners’ Association menyepakatinya
menjadi program kerja dan mendo￾rong penyelesaiannya melalui RUU Omnibus Law. Namun, hingga RUU Cipta Kerja disahkan, masalah penegakan hukum di laut tidak
masuk di dalamnya.

Sementara itu, Koordinator Indonesian Cabotage Advocation Forum ( INCAFO) Fakultas Teknik Universitas Indonesia Idris Sikumbang menilai UU Cipta Kerja telah memperlemahsemangat azas cabotage yang merupakan modal dan kunci utama
bagi Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia.

Pelemahan itu terjadi setelah adanya
pasal 14-A, pasal tambahan yang
esensinya sangat tidak sejalan dengan azas cabotage, termasuk dengan judulnya yakni untuk membuka lapangan kerja bagi
bangsa Indonesia. Sebab, pasal
tersebut justru memberikan lapangan
pekerjaan bagi asing.

Oleh karena itu, katanya, INCAFO
menyerukan kepada Pemerintah
untuk memperbaiki RUU Cipta Kerja
dengan cara menghapus pasal 14-A
di dalam UU No 17 tahun 2008
tentang Pelayaran.(Jef)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.