Kemenkop Berharap UU Kementrian Negara Diamandemen

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram bersama Deputi Akses Permodalan (BEKRAF) Fadjar Hutomo, Direktur Mikro BRI Mohammad Irfan, dan Edy Wirawan dari Deloitte melakukan Diskusi Panel Pembiayaan dan kelembagaan dalam Rapat Kerja Nasional Kadin dengan tema Peran Kadin Dalam Mendorong UMKM, Koperasi dan Ekonomi Kreatif Sebagai Unggulan Ekonomi Nasional. Jakarta, Senin (21/11).
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram bersama Deputi Akses Permodalan (BEKRAF) Fadjar Hutomo, Direktur Mikro BRI Mohammad Irfan, dan Edy Wirawan dari Deloitte melakukan Diskusi Panel Pembiayaan dan kelembagaan dalam Rapat Kerja Nasional Kadin dengan tema Peran Kadin Dalam Mendorong UMKM, Koperasi dan Ekonomi Kreatif Sebagai Unggulan Ekonomi Nasional. Jakarta, Senin (21/11).

JAKARTA: (Globalnews.id) – Sekretaris Kementrian Koperasi dan UKM berharap bahwa UU Kementrian Negara harus segera diamandemen karena sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang.

“Dalam banyak kesempatan, saya selalu mendapat pertanyaan, seperti apa fungsi dari Kementrian Koperasi dan UKM? Kita ini ada di dalam kategori 3 dalam UU Kementrian Negara, dimana tugas intinya hanya merumuskan kebijakan dan tidak mempunyai teknis operasional. Untuk itu, saya menyebutkan bahwa UU itu harus diamandeman”, tandas Agus pada acara Rapat Kerja Nasional Kadin Indonesia Bidang UMKM, Koperasi dan Ekonomi Kreatif, di Jakarta, Senin (21/11).

Menurut Agus, kementrian yang masuk kategori satu itu kementrian yang secara langsung disebut dalam UUD 1945. Seperti, Kemenlu, Kemendagri, Kemenkeu, KemhukHAM, dan Kementrian Agama. Sedangkan kementrian lainnya disebut secara tidak langsung di dalam UUD 1945. “Nah, yang kategori tiga itu tidak disebut dalam UUD 1945. Padahal, koperasi disebut-sebut dalam UUD bahwa kekuatan ekonomi itu ada tiga, yaitu pemerintah, swasta, dan koperasi”, jelas Agus lagi.

Dengan kondisi itu, lanjut Agus, jelas memiliki dampak bagi pengembangan dan pemberdayaan KUMKM di Indonesia. “Kemenkop hanya memberikan ijin usaha koperasi simpan pinjam, pendirian koperasi. Kalau ke sektor tidak ada. Misalnya, mau buka lahan pertanian, ijinnya ke Kementan, mau buka hutan, ijinnya ke Kemenhut. Bila ada koperasi yang ingin membuka sektor perdagangan, seharusnya ijinnya ke Kemenkop, bukan ke Kemendag. Ketika kita sudah memberikan ijin koperasi, lalu koperasi itu ingin membuka usaha peternakan, Kemenkop tidak bisa memberikan ijin, karena harus melalui kementrian terkait. Jadi, agar diketahui bahwa di Kemenkop tidak ada kebijakan teknis, hanya ada ijin mendirikan koperasi, pendirian dan pengawasan koperasi. Ini agar semua menyadari bahwa Kemenkop tidak memiliki kewenangan secara teknis”, papar Agus.

Oleh karena itu, Agus berharap tidak ada lagi kementrian yang masuk kategori tiga, karena semua kementrian sudah memiliki UU sendiri-sendiri. “Kita ada UU Perkoperasian. Kementrian lain pun sudah memiliki UU seperti UU Olahraga, UU Perlindungan Perempuan dan Anak, dan sebagainya. Jadi, bagaimana jika tidak ada di teknis operasional. Karena seharusnya, selain membuat kebijakan juga melakukan teknis kegiatan, sedangkan saat ini kita hanya merumuskan kebijakan, contohnya KUR”, tukas dia.

Dalam kesempatan itu pula, Agus memaparkan bahwa ada tiga pendekatan dalam membangun koperasi dan UMKM. Pertama, social development (full subsidi). Kedua, social economic development (semi subsidi). Dan ketiga, economic development (no subsidi). “Namun, kadang-kadang di dalam kita melaksanakan kebijakan, kita tidak mengenal social economic development ada di level mana diterapkan, dan dimana economic development diterapkan”, ungkap dia.

Contoh KUR, itu semi subsidi dari sisi pemerintah, dimana mereka perlu pembiayaan perbankan tapi tidak bisa memenuhi syarat penjaminan. “Sedangkan jika kita melihat masyarakat UKM yang jumlah sekitar 57.9 juta, itu ada di tiga level tersebut. Yang social development itu yang betul-betul usaha mikro atau kita kenal dengan istilah gurem. Itu sudah banyak program pemberdayaan masyarakat untuk mereka dari banyak kementrian. itu sudah ada sejak dulu”, kata Agus.

Yang di atas mereka, dimasukkan ke semi subsidi. Di dalam KUR sendiri ada juga level-levelnya, dimana tidak ada lagi strata pembiayaan. “Saya mengusulkan bahwa harus ada level-level untuk KUR karena kalau tidak akan mematikan lembaga keuangan mikro lainnya, karena tidak ada strata pembiayaan lagi. Misalkan, BPR dan koperasi. Karena ada semacam distorsi di pasar. Ini saya sampaikan sebagai informasi atau masukan dari bawah”, kata Agus lagi.

Dimana satu sisi ingin bunga rendah, tapi di sisi lain juga ada yang terganggu. “Pemerintah sedang pikirkan hal ini. Saya sudah bicarakan dengan LPS. Karena sudah banyak yang beralih ke KUR terutama dari sektor perdagangan dan jasa. Sementara yang pertanian belum tertangani. Untuk itu, level dari pembiayaan itu harus diatur. Modal ventura dilakukan oleh PNM, mulai terganggu karena tidak bisa menerapkan bunga yang bersaing karena modalnya dari perbankan. Begitu juga dengan BPR dan koperasi”, tegas Agus.

Agus pun mengharapkan disini ada institutional set-up yang bisa menangni itu. “Apa institutional set-up dari pembiayaan ini? Ada lembaga-lembaga pembiayaan di kementrian-kementrian yaitu badan layanan umum (BLU), di kemenkop ada LPDB-KUMKM. Ini yang harus kita satukan”, kata dia.

Setelah mendapat pembiayaan, lalu kemana memasarkan produknya? “Kalau saja di Indonesia memiliki lembaga penyangga produk UKM, seperti kerja Bulog di sektor beras. Produk-produk UKM itu tentunya dikurasi terlebih dahulu, yang bisa dipasarkan di pamaran-pemaren dengan harga semacam operasi pasar. Ini yang belum terakomodasikan”, pungkas Agus (jef)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.