Surabaya:(Globalnews.id)- Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Yuana Sutyowati menegaskan bahwa aspek permodalan merupakan faktor pendukung untuk pengembangan usaha koperasi dan UMKM di Indonesia. “Namun, koperasi dan UMKM masih memiliki keterbatasan dalam akses pembiayaan ke lembaga perbankan”, kata Yuana pada acara Forum Konsultasi Bidang Pembiayaan, di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (5/9).
Data Bank Indonesia (BI) Tahun 2017 menunjukkan, akses UMKM ke lembaga perbankan baru mencapai 19,94% (jumlah nasabah perbankan) dan 26,04% (jumlah rekening). Padahal, data koperasi di Indonesia ada sebanyak 138.140 unit (per 31 Desember 2018), dengan jumlah anggota tercatat sekitar 26 juta lebih atau sekitar 41% dari total pelaku UMKM di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 62,9 juta unit.
Dari jumlah koperasi tersebut, jenis usaha koperasi sektor simpan pinjam terdapat sebanyak 71.933 unit, yang terdiri dari 20.852 KSP/KSPPS (15,09%) dan 51.081 USP/USPPS (36,98%).
Koperasi memberikan kontribusi terhadap PDB Nasional sebesar 5,1%. Sedangkan kontribusi sektor UMKM terhadap PDB nasional adalah 57,6% dengan rincian: Usaha Mikro sebesar 30,3%, Usaha Kecil 12,8%, dan Usaha Menengah 14,5%; dengan penyediaan lapangan kerja sebanyak 136,18 juta orang (97%).
“Untuk itu, forum ini diharapkan dapat memperkuat peran KSP/USP koperasi dan KSPPS/USPPS koperasi, serta lembaga pendukung pembiayaan KUMKM lainnya”, ujar Yuana.
Dalam implementasinya, Yuana mengakui, hal itu tidak mudah dan sangat komplek kendalanya. Mengingat koperasi dan UMKM binaan banyak dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Sehingga, dibutuhkan koordinasi dan sinergi program antara Kemenkop dan UKM dengan pemerintah daerah, khususnya dengan dinas yang membidangi Koperasi dan UKM di daerah, serta stakeholder terkait.
Yuana menyebutkan, pihaknya memiliki beberapa program strategis di bidang pembiayaan dalam rangka peningkatan akses KUMKM ke lembaga keuangan formal (bank dan nonbank). Antara lain, bantuan pemerintah berupa startup capital bagi wirausaha pemula (WP) dan usaha mikro. Sejak 2011 hingga 2018, terealisasi kepada 20.382 WP dengan anggaran Rp246,76 miliar.
Kedua, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan subsidi bunga dari APBN sehingga menjadi 7%, dilaksanakan sejak 2015-2018 dengan realisasi secara kumulatif Rp324,22 triliun, dengan jumlah debitur sebanyak 13.893.262 orang. “Realisasi KUR Tahun 2019 (per 31 Juli 2019) Rp88,53 triliun atau 63,47% dari target KUR Rp139,49 triliun. Tahun ini, sebanyak 60% KUR akan disalurkan ke sektor produktif”, imbuh Yuana.
Sedangkan realisasi pembiayaan Ultra Mikro (UMi) melalui 34 KSP/KSPPS dan USP/USPPS Koperasi (per 20 Agustus 2019) sebesar Rp704,84 miliar yang disalurkan kepada 223.361 anggota. “Pembiayaan UMi bersumber dari PIP/BLU di bawah Kementerian Keuangan RI”, tukas Yuana.
Lebih dari itu, kata Yuana, sudah ada koordinasi dan sinergi pengembangan lembaga pendukung pembiayaan KUMKM, antara lain meliputi realisasi PPKD di 18 Provinsi, dan BLUD di 19 wilayah (3 provinsi dan 19 Kabupaten/Kota). “Ada juga pendampingan usaha mikro dan kecil untuk akses pembiayaan pasca mendapatkan Sertifikat Hak Atas Tanah atau SHAT”, kata Yuana.
Oleh karena itu, bagi Yuana, forum ini sangat strategis sebagai media komunikasi pemeritah pusat dan daerah serta stakeholder lainnya, dalam rangka pemantapan koordinasi dan sinergi program pemberdayaan koperasi dan UMKM. “Forum konsultasi ini diharapkan dapat memberikan solusi untuk menjawab beberapa permasalahan dan hambatan dalam upaya peningkatan akses KUMKM ke lembaga keuangan formal”, tandas Yuana.
Dalam kesempatan yang sama, Yuana juga memberikan penghargaan kepada 10 provinsi dalam pendayagunaan dana wakaf uang bagi koperasi. Kesepuluh provinsi itu adalah Jateng dengan 58 unit koperasi dengan nilai penghimpunan sebesar Rp8,8 miliar, Jatim (36 unit dan Rp5,7 miliar), Jabar (19 unit dan Rp1,3 miliar), Jogjakarta (11 unit dan Rp551 juta), DKI Jakarta (3 unit dan Rp113 juta), Banten (2 unit dan Rp5,2 miliar), Lampung (10 unit dan Rp2,8 miliar), NTB (3 unit dan Rp13 juta), Sumbar (3 unit dan Rp18 juta), serta Sulteng (1 unit dan Rp54 juta).
“Terkait pendayagunaan wakaf uang untuk koperasi ini sudah ada UU yang menaunginya, ditambah dengan Permenkop dan UKM. Saat ini, baru ada 20 provinsi yang melaksanakan itu dengan jumlah koperasi (KSP dan KSPPS) sebanyak 146 unit”, jelas Yuana lagi.
Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Mas Purnomo Hadi mengatakan, memasuki era Revolusi Industri 4.0 pihaknya akan terus mendorong tumbuhnya koperasi berbasis digitalisasi dan syariah. Saat ini, dari sekitar 34 ribu unit koperasi di Jatim, ada sekitar 2.350 unit koperasi yang sudah afiliasi ke pola syariah. “Dari jumlah koperasi 34 ribuan itu, 70% merupakan Koperasi Simpan Pinjam atau KSP”, kata Mas Purnomo.
Memang, aku Mas Purnomo, dari jumlah 2.350 unit itu, belum sepenuhnya 100% syariah, namun tahun ini ditargetkan menjadi 3.000 unit koperasi berpola syariah. “Kita akan terus tingkatkan kualitas dari pola syariahnya”, ujar Mas Purnomo.
Selain itu, lanjut Mas Purnomo, dari 34 ribu unit koperasi di Jatim, sekitar 24 ribuan unit koperasi sudah masuk dalam Online Data System (ODS) yang 54% diantaranya sudah melaksanakan RAT. “Sementara tercatat ada sekitar 20% (9.000 ribuan unit koperasi) dalam kondisi hidup segan mati tak mau”, papar Mas Purnomo.
Terkait kinerja koperasi di Jatim, total asetnya mencapai Rp34 triliun dengan omzet sebesar Rp47 triliun, sisa hasil usaha (SHU) Rp5,3 triliun, hingga penyerapan tenaga kerja sebesar 62 ribu orang.
Marak Fintech
Selain itu, Mas Purnomo juga menyoroti sepak terjang keberadaan perusahaan Fintech, terutama di daerah-daerah. “Fenomena Fintech saat ini sedang marak. Dan tak sedikit koperasi yang latah dengan masuk kesana. Sementara mereka banyak yang belum tahu apakah software-nya sudah siap atau belum. Dan kenyataannya, memang belum siap”, tukas Mas Purnomo.
Mas Purnomo mengungkapkan, banyak koperasi besar di luar Surabaya yang bermain di Fintech. Tak sedikit juga fakta di lapangan Fintech yang menamakan dirinya koperasi. “Saya berharap ada regulasi yang mengatur hal tersebut. Di sini, OJK harus masuk untuk mengawasi Fintech-Fintech tersebut”, tegas Mas Purnomo.
Pasalnya, lanjut Mas Purnomo, ketika ada KSP yang melayani anggota melalui Fintech, aturan main dan payung hukumnya sudah berbeda, yaitu UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM). “Ini erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap koperasi. Saya berharap, koperasi harus tetap menganut azas dan jati diri koperasi, idealisme koperasi, dan dasar-dasar perkoperasian”, jelas Mas Purnomo.
Mas Purnomo juga mengungkapkan bahwa masih banyak terjadi di desa-desa para rentenir yang memberikan layanan simpan pinjam. “Payung hukum kita belum optimal mengatasi kondisi itu. Bahkan, tidak ada yang berani menindak keberadaan mereka yang liar”, pungkas Mas Purnomo.(jef)