Oleh: Babay Parid Wazdi
(Bankir Senior)
Ikrar Pemuda 1928 yang lebih kita kenal dengan Sumpah Pemuda. Usia mereka yang mengadakan Kongres Pemuda itu ada di kisaran 20 tahunan. Mohammad Hatta menyebut peristiwa ini dengan sebuah letusan sejarah. Dan memang, akhirnya negeri yang merdeka dan berdaulat dengan nama Indonesia, terwujud 13 tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945.
Menyongsong 100 tahun sumpah pemuda, saat ini kita menghadapi tantangan yakni pandemic dan kesempatan bonus demografi. Kita mesti benar-benar melihat masa depan Indonesia dengan optimis tapi juga kritis. Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang terkenal Mukoddimah, mengingatkan kita akan adanya siklus kehidupan dalam berbangsa. Ada bangsa yang mampu bertahan hanya puluhan tahun, ratusan tahun dan seterusnya.
Seratus tahun sumpah pemuda harus menguatkan pemuda menyongsong jalan baru Indonesia merdeka.
Jalan baru menjelang 100 tahun Indonesia merdeka harus sudah lebih terang benderang mengenai kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan berperan dalam percaturan dunia secara bebas aktif.
Pada masa pandemi ini yang membuat sebagian besar orang cemas dan khawatir berlebihan, kita bisa melihat kedua peristiwa tersebut jernih bahwa cara terbaik menangani krisis justru adalah optimisme. Saat ini kita memang mundur sejenak dengan diam di rumah. Kita menamai fase ini sebagai fase memasuki “goa Ashabul Kahfi”. Kita harus bisa memanfaatkannya untuk lebih menggunakan waktu ini dengan produktif.
Berkaca kepada Ashabul Kahfi
Kisah Ashabul Kahfi yang termuat dalam surah al-Kahfi (18) ayat 9-26. Dalam beberapa hal, peristiwa Sumpah Pemuda dan kisah Ashabul Kahfi memiliki kesamaan pesan. Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar-nya menyatakan bahwa kisah Ashabul Kahfi ini adalah satu kisah percontohan tentang iman yang teguh dan keyakinan yang tidak dapat digoyahkan lagi, sehingga diri penganutnya ditelan dengan segala kerelaan hati oleh keyakinan hidupnya itu.
Ada beberapa pesan yang dapat kita tarik dari keduanya. Pertama, optimisme berbalut iman. Para pemuda peserta Kongres Pemuda yakin sepenuh hati tentang isi ikrar mereka dan karena itu dengan susah payah mewujudkannya. Teror, dipenjara, dan dikejar-kejar adalah bagian dari keseharian yang para pendiri bangsa alami dari pemerintahan kolonial Belanda saat itu. Tetapi toh mereka tetap setia memegang ikrar mereka tentang negeri ini. Karena itu, mereka tidak mundur sejengkal pun dari memperjuangkannya.
Sementara para pemuda Ashabul Kahfi memegang teguh keimanan dan tauhid karena itu rela meninggalkan semua kemewahan yang menjadi hak mereka sebagai putra pembesar negeri.
Buya Hamka dalam tafsirnya mengutip banyak pakar tafsir yang menilai bahwa Ashabul Kahfi merupakan para anak pejabat. Tetapi, mereka tidak cocok dengan perilaku ibadah raja dan masyarakatnya yang menyembah berhala. Dengan jiwa muda yang menggelora, mereka lantas jatuh kepada kesimpulan bahwa mestinya tuhan yang patut disembah hanyalah Allah swt. Bukan berhala yang tidak bisa berbuat apa-apa. Maka sejak itu secara sembunyi-sembunyi mereka melakoni dan memegang jalan tauhid.
Sebagai para putra pembesar negeri, kegiatan mereka akhirnya tercium istana dan mereka pun dipanggil oleh Raja Diqyanus. Mereka diadili terkait keyakinan tauhid mereka, tetapi mereka bersikukuh memegangnya. Pakaian, fasilitas, dan segala hal terkait jabatan yang melekat di tubuh mereka pun ditanggalkan. Di akhir pertemuan, Raja memberikan jaminan bahwa bila mereka mau kembali kepada agama nenek moyang dan melakukan perbuatan syirik lagi maka kedudukan mereka sebagai anak orang-orang besar akan dikembalikan. Tetapi, mereka memilih untuk meninggalkan semua keindahan dunia demi memperjuangkan keyakinan tauhid. Mereka yakin bahwa Allah swt akan memberikan pertolongan. Allah menolong mereka dengan membuat mereka tidur selama tiga abad lebih.
Penjajahan, tekanan, penjara, dan berbagai bentuk intimidasi lainnya yang menimpa para pemuda pendiri bangsa Indonesia dan Ashabul Kahfi tak membuat mereka lantas mundur. Malah mendorong mereka untuk lebih bulat memegang keimanan dan keyakinan mereka (QS. al-Kahfi [18]: 13). Itu karena mereka memegang iman dan keyakinan itu dengan teguh. (QS. al-Kahfi [18]: 14).
Kedua, kolaborasi. Pemuda Soegondo Djojopoespito, ketua Kongres Pemuda II, mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia setelah membaca Indonesia Merdeka terbitan Perhimpunan Indonesia yang saat itu diketuai Mohammad Hatta di Belanda.
Sebagaimana disebutkan di muka, peserta Kongres Pemuda II yang berjumlah sekitar 700 orang itu datang dari berbagai bangsa dan latar belakang. Setelah Kongres Pemuda II itu, mereka bersepakat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ketika akhirnya kemerdekaan negeri ini harus dipertahankan dengan senjata dan revolusi fisik, semua tumpah darah Indonesia turun tangan berada di garis depan. Mulai dari ulama, kyai, santri, pelajar, petani apatah lagi para pemimpin bangsa. Bung Karno mengistilahkan gerakan ini dengan tepat, gotong royong (kolaborasi).
Pun dengan Ashabul Kahfi. Mereka kuat karena menjalani keimanan yang mereka peluk secara bersama-sama. Ketika ada salah seorang pemuda yang menepi dari keramaian ibadah dan pesta yang diperuntukkan bagi berhala-berhala, lalu ada seorang lagi. Lalu, datang lagi pemuda; datang pula seorang pemuda lain. Dari percakapan sederhana, lantas mereka meyakini bahwa keimanan para nenek moyang dan orang tuanya terhadap berhala itu salah. Iman yang benar adalah keimanan kepada Allah Yang Maha Esa. Mereka membentuk kelompok tauhid di tengah kerajaan dan masyarakat pagan (musyrik). Karena bersama-sama, keimanan mereka makin kuat.
Kolaborasi juga bisa kita lihat ketika mereka terbangun. Pemimpin pemuda itu meminta salah satu dari mereka untuk turun ke kota dan membeli makanan. Mereka lapar. Tetapi, dia harus tetap hati-hati agar tidak tertangkap oleh prajurit kerajaan. “Karena sesungguhnya jika mereka ketahui tentang hal kamu, niscaya akan mereka rajam kamu, atau akan mereka kembalikan kamu ke dalam agama mereka. Maka tidaklah kamu akan berbahagia lagi buat selama-lamanya. (QS. al-Kahfi [18]: 20).
” Berkat kolaborasi yang mereka lakukan, mereka menemukan janji Allah dalam surah al-Kahfi (18) ayat 16, “…niscaya akan diperlindungi kamu oleh Tuhan kamu dengan rahmat-Nya dan akan disediakan-Nya buat kamu, dalam keadaan kamu begini, suatu kemudahan.”
Optimisme dan kolaborasi akan menjadi kunci penting bagi kita untuk bisa melewati masa pandemic ini dan mempersiapkan diri menghadapi bonus demografi dan menyongsong seabad sumpah pemuda. Agar kita, seperti pesan Bung Karno, mewarisi api sumpah pemuda.
“Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi, ini bukan tujuan akhir.”
Tujuan akhir Indonesia merdeka tercantum dalam Pembukaan UU 1945. Anies Baswedan menyebutnya dengan janji kemerdekaan. Salah satu janji kemerdekaan itu adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangasa. Menyongsong 100 tahun Sumpah Pemuda merupakan momentum penting untuk untuk mewujudkan janji kemerdekaan.(**)