Perlu Sinergi antar Pelaku Usaha dengan Regulator Agar Industri Jasa Logistik Bisa Survive

Jakarta:(Globalnews.id)- Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan Umiyatun Hayati Triastuti mendorong perlunya sinergi antar pelaku usaha dan dukungan regulasi pemerintah agar industri jasa logistik dapat bertahan hidup dan tumbuh seperti yang diharapkan baik di masa pandemi maupun pascapandemi.

“Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama dalam tiga tahapan untuk menyelamatkan kehidupan, kesehatan, dan mata pencaharian,” katanya dalam webinar Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan bertajuk “Strategi Pemulihan Angkutan Logistik pada Masa Pandemi Covid-19” Kamis (1/10/2020).

Ia memaparkan, tahapan pertama yaitu bertahan dan menekan yang kuncinya terletak pada Indonesia sehat. Pada masa ini, kata dia, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam berkegiatan perlunya mempertahankan dan menaikkan tingkat konsumsi masyarakat agar roda pertumbuhan dan investasi terus bergerak.

Selanjutnya, tahapan bertarung untuk pulih yang kunci utama ada pada Indonesia bekerja. Jadi masyarakat tetap bekerja di masa PSBB dengan cara disiplin mengikuti protokol kesehatan. “Pada masa ini kita harapkan kegiatan bekerja dan daya beli masyarakat menengah ke bawah bisa meningkat sehingga menggerakan daya konsumsi masyarakat lebih besar lagi dan mengundang investasi,” ucap Umiyatun.

Tahapan ketiga adalah masa transformasi bertumbuh. Kuncinya Indonesia bertumbuh dan bertransformasi. Pada masa pascapandemi diharapkan terjadi transformasi sosial ekonomi baik dari investas transformasi digital dan sumber daya manusia semakin terampil. Yang jelas, ada banyak kesempatan yang bisa dihasilkan walaupun dalam kondisi sulit.

Ketiga tahapan masa tersebut jika diilustrasikan pada kondisi perekonomian dan kebijakan yang diambil pemerintah, maka dapat dilihat dengan jangka waktu 6 bulan pada kuartal pertama 2020 merupakan masa bertahan dan menekan kurva penyebaran Covid-19 dengan memberikan dukungan melalui berbagai program terkait salah satunya seperti jaring pengaman sosial. Masa transisi atau adaptasi dengan jangka waktu 12 sampai 18 bulan.

Menurutnya, masa ini sangat tidak stabil karena kegiatan ekonomi, kapasitas utilisasi dan produktivitas belum pulih. Malah kemungkinan yang terjadi adalah defisit dan hutang kian meningkat. Namun di saat bersamaan, Indonesia juga bertarung untuk mencapai tujuan di masa kemenangan dengan cara pro aktif dan mempersiapakan re-emerging, re-desgin reform dan mendorong leading sector.

Masa kemenangan dengan jangka waktu sekitar 1 sampai 2 tahun akan bergantung pada seberapa cepat pertumbuhan mencapai titik pulih yang dilakukan di masa sekarang. Karena itu, perlu diimbangi dengan kebijakan yang efektif baik fiskal, moneter, struktural maupun partisipasi dari semua stakeholder termasuk dunia usaha.

Di samping itu, ada beberapa hal lain yang menurutnya juga perlu diperhatikan yaitu intervensi pemerintah, kapital manajemen, perubahan dan perilaku konsumen, akselerasi digital untuk industri 4.0, dunia usaha yang fleksibel dan produktif, rantai pasok yang resilient, konsolidasi industri dan tax reform.

Transportasi Humanis

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono mengatakan,
membangun transportasi yang humanis, diperlukan untuk menjamin industri logistik tetap tumbuh di tengah atau pascapandemi Covid-19.
Industri logistik telah menjadi tulang punggung (backbone) perdagangan karena berkontribusi 15,8 triliun terhadap Produk Domestik Bruto pada tahun 2020.

Transportasi humanis merupakan transportasi yang mengutamakan manusia dan kemanusiaan untuk produktivitas ekonomi yang lebih baik menuju transportasi Indonesia yang sehat dan maju. Sebagaimana pernah dikatakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terkait perlunya membangun sistem transportasi yang berbudaya higienis (tranportasi humanitarian) dengan cara meminimalkan kontak fisik, terdigitalisasi dan lebih adaptif.

Hal ini menurut Agus tidak lepas dari tren mobilitas masyarakat di masa depan yang akan mengurangi mobilitas fisik dan memilih layanan transportasi yang bersifat personal. Selain itu, kendaraan tanpa awak (autonomus vehicle) juga bermunculan menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil, teknologi-informasi menjadi backbone layanan, dan sarana prasarana mobilitas semakin terkoneksi dengan sistem pintar. Sehingga sistem transportasi yang humanis ini menjadi keniscayaan untuk segera dirumuskan sebagai opsi kebijakan.

Sebab jika tidak, akan berimplikasi terhadap bisnis logistik kemanusiaan. Semisal dalam transportasi Kereta Api, pendapatan dari gerbong yang dipakai untuk layanan kemanusiaan menurun sedangkan besaran biaya operasi dan pemeliharaannya tetap. Termasuk perlunya investasi untuk tambahan kapasitas logistik kemanusiaan. “Karena itu, adaptasi diperlukan mulai dari sisi pengendalian mobilitas, sarana dan prasarana, adaptasi bisnis, sampai adaptasi regulasi agar muncul bisnis-bisnis baru dan angkutan barang pun meningkat,” kata Agus.(Jef)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.