JAKARTA: Pemerintah menyatakan siap mendukung upaya industri batik nasional yang kini tengah dilanda kelesuan, untuk bangkit kembali.
Kelesuan yang diderita industri batik itu antara lain terlihat dari anjloknya pemasaran batik, ditambah sulitnya mencari bahan baku khususnya bahan tenun sutra dan cat pewarna.
“Pada 2009 batik diakui UNESCO sebagai identitas bangsa, itu membangkitkan para perajin dan industri batik nas untuk terus berinovasi,” kata Dirjen IKM Kemperin, Gati Wibawaningsih, dalam deklarasi APPBI (Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia), di museum Batik, Jakarta, Kamis (20/12/2017).
Hadir dalam acara itu Sekretaris Kemenkop dan UKM Agus Muharram, Ketum APPBI Komarudin Kudiya, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Batik Indonesia (YBI) Jultin Ginandjar Kartasasmita, Ketua Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) Sendi Dede Yusuf, Ketua panitia Deklarasi APPBI Romi Oktabirawa dan Esti Utami,kaunit pengelola batik Dinas Pariwisata Jakarta.
Gati menjelaskan, sampai saat ini ada 101 sentra batik di Indonesia, mulai dari Medan sampai Papua.
Indonesia masih me jadi market leader ekspor batik, dengan nilai 51,15 juta dollar AS pada 2016, dengan pasar utama, Jepang, AS dan Eropa.
Namun diakuinya perkembangan akhir-akhir ini penjualan batik turun, khususnya di pasar domestik.
“Makanya saya senang dengan APPBI ini yang kaya akan data, saya yakin APPBI akan membantu bangkitnya batik nasional,” kata Gati.
Dirjen IKM Kemperin menjelaskan, pihaknya akan mendirikan material center di Semarang Jateng, untuk mengatasi kesulitan bahan baku batik.
” Nantinya perajin baik akan saya temukan dengan pihak industri agar terjadi link and match dalam pasok bahan baku ini,” kata Gati.
Sementara untuk mengatasi anjloknya pemasaran, Kemperin akan mengembangkan pemasaran online dengan nama e-smart yang menggandeng perusahaan online besar sepertiTokopedia, BLi BLi, Belanja.com, Bukalapak dan Shopi.
Kemperin juga akan membuat film yang memuat utuh seputar batik, sehingga berbagai persepsi keliru masyarakat soal batik cap atau printing, bisa diluruskan.
Kata Kunci
Sekretaris Kemenkop dan UKM Agus Muharram juga menyatakan dukungannya atas terbentuknya APPBI ini.” Kemenkop dan UKM yang salah satu tugasnya adalah melakukan koordinasi dan membuat kebijakan, mendukung terbentuknya APPBI ini,” katanya.
Menurut Agus Muharram, dalam organisasi APPBI ada kata kunci yaitu, pengrajin dan pengusaha bersatu dalam satu wadah asosiasi.
” Artinya bukan hanya pengusaha saja, kan banyak sekarang asosiasi yang anggota hanya pengusaha, sementara pengrajinnya ada yang hanya mensuplai produknya, dengan harga yang ditentukan oleh pengusaha” katanya.
Dengan bergabungnya pengusaha dan pengrajin dalam satu wadah, maka keduanya bisa disinergikan. Artinya ada yang berproduksi dalam hal ini pengrajin dan ada yang memasarkannya, sehingga pemasaran batik bisa dilakukan secara masif, lebih terintegrasi, terkoordinasi dan berdaya saing.
Kolaborasi pengrajin dan pengusaha, juga bisa meluruskan pemahaman yang salah terhadap batik-batik seperti printing, yang sebenarnya bisa dikatakan bukan batik.
Adanya APPBI juga bisa menjadi wadah pengrajin dalam mengembangkan desain-desain baru sesuai tuntutan pasar dan perkembangan jaman.
Merosotnya Nilai Budaya
Ketum APPBI Komarudin Budiya mengatakan saat ini yang terjadi adalah merosotnya nilai budaya batik, akibat membanjirnya batik tiruan seperti batik printing, cap di pasar.
” Meski sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya, namun masih banyak PR pelik yang harus dikawal dan diselesaikan untuk menyelamatkan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia.
Dalam hal budaya misalnya, sudah terlalu jauh pergeseran nilai batik bahkan sudah tecabut dari akar budaya, karena faktor ekonomi dan eksploitasi semata.
” Label batik tulis, batik halus oleh industri merupakan pembodohan publik. Kamiharap pemerintah bisa menertibkan masalah ini dan tegakkan law enforcement,” tegasnya.
Ekploitasi oleh industri itu antara lain berimbas pada penurunan penjualan batik orisinil.
“Kami sekarang juga kesulitan mendapatkan bahan baku dan bahan produksi seperti kain sutra tenun maupun benangnya,” ungkap Komarudin yang juga pemilik batik Komar itu.
Di sektor pendidikan juga tak ada upaya meluruskan kesalahan persepsi soal batik ini.”Tak ada kurikulum yang lengkap dan komprehensif menyangkut batik,” tambahnya.
Pemakaian batik seragam sekolah juga menambah salah kaprah, karena produk itu sebenarnya bukan batik.
” Intinya perlu koordinasi antara semua baik itu pemerintah, dunia pendidikan, pemerhati, yayasan, perajin, pengusaha batik, maupun industri,” pungkasnya. (jef)