Jakarta:(Globalnews.id)– Sejak terjadi kasus kekerasan seksual, pihak kepolisian telah melakukan penahanan terhadap 4 terduga pelaku. Selanjutnya, polisi mengeluarkan SP3 setelah pihak keluarga korban dan para pelaku bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dan dilakukan pernikahan.
Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) juga telah memberikan sanksi pemecatan kepada 2 orang pegawai honorer dan sanksi berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun dari kelas jabatan 7 menjadi kelas jabatan 3 kepada 2 orang PNS.
Perkembangan terakhir keluarga korban membuka kembali kasus tindak kekerasan seksual dengan melaporkan kembali kasus ini ke LBH APIK dan Ombudsman. Kementerian Koperasi dan UKM meminta kepada keluarga korban untuk melakukan prapradilan terhadap kasus yang sudah di SP3.
Untuk menuntaskan kasus ini secara menyeluruh KemenKopUKM bergerak cepat membentuk Tim Independen sebagai upaya penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan KemenKopUKM dengan melibatkan tiga unsur KemenKopUKM yang diwakili Staf Khusus MenKopUKM Bidang Ekonomi Kerakyatan M. Riza Damanik, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Aktivis Perempuan Sri Nurherwati, Ririn Sefsani, dan Ratna Bataramunti.
Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki saat menggelar konferensi pers usai bertemu dengan keluarga korban, pendamping dan Aktivis Perempuan di kantor KemenKopUKM, Jakarta, Selasa (25/10), mengatakan Tim Independen yang dibentuk memiliki dua tugas utamanya yakni, mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian kasus kekerasan seksual maksimal 1 bulan.
“Tugas lainnya adalah merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) internal penanganan tindak pidana seksual KemenKopUKM selama jangka waktu tiga bulan. Kita ingin momentum ini dijadika untuk pembenahan internal,” kata Menteri Teten.
MenKopUKM Teten Masduki mengatakan, audiensi bersama aktivis perempuan itu menjadi pertemuan yang sangat produktif untuk mencari solusi penanganan kasus kekerasan seksual.
“Karena KemenKopUKM tidak mentolerir praktik tindak kekerasan seksual. Kalau saat ini dianggap masih belum memenuhi azas keadilan segera kami tindak lanjuti,” kata Menteri Teten.
Tak sampai disitu kata Teten, KemenKopUKM siap memberikan data pendukung dan berkoordinasi intensif dengan tim independen. Sehingga perlindungan keluarga korban di kementerian dipastikan terjamin dan tidak ada intimidasi apapun.
“Penyelesaiannya di Tim Independen jadi bukan lagi dari internal KemenKopUKM. Kami akan menggunakan momentum ini untuk pembenahan internal kementerian, supaya kami memiliki SOP untuk menangani tindak kekerasan seksual,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Aktivis Perempuan Ririn Sefsani menekankan, tahapan hukum akan terus dilakukan sehingga para pelaku mendapatkan hukum yang setimpal, serta bagi korban mendapat perlindungan dan keadilan dalam pemenuhan hak-haknya.
“Kami menyambut baik MenKopUKM responsif setelah aduan kami. Berita baik lagi, KemenKopUKM membuat langkah cepat penyelesaian kasus dengan membentuk tim independen. Jika ini sesuai dengan waktu yang diberikan dan memiliki hasil yang baik, KemenKopUKM ini akan menjadi role model penanganan kekerasan seksual,” ucapnya.
Ririn menambahkan, adanya Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah disahkan menjadi payung hukum yang baik, sehingga hak korban mendapatkan jaminan perlindungan.
“Kami juga akan berkoordinasi dengan LPSK dan pihak kepolisian dalam penyelesaian kasus. Sanksi yang ada saat ini belum memenuhi etik dan ini menjadi tugas tim untuk melengkapi dokumen dan berikan sanksi sesuai kejahatan pelaku,” katanya.
Turut hadir dalam pertemuan itu Kuasa Hukum LBH APIK Jawa Barat Asnifriyanti Damanik selaku pendamping hukum keluarga korban, keluarga korban dan sejumlah aktivis perempuan, antara lain KAPAL Perempuan, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Migrant Care, dan Yayasan Kalyanamitra.(Jef)