Anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty: Seharusnya Koperasi yang Kembangkan Layanan Online Harus Didukung

foto: sindonews

JAKARTA:(GLOBALNEWS.ID) Anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty menyayangkan langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang begitu mudah memberikan label “ilegal” kepada koperasi simpan pinjam (KSP) yang melayani anggotanya dengan sistem digital.

Selain meminta Kementerian Koperasi dan UKM agar bersikap membela koperasi, Evita juga berharap OJK memahami KSP dan Unit Simpan Pinjam di Koperasi seperti diatur dalam UU No25/1992 tentang Perkoperasian, dan Peraturan Pemerintah No9/1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi bukan membuat definisi sendiri.

“Ini sangat aneh, saat kita termasuk Presiden Jokowi mendorong semua koperasi dan UKM melakukan modernisasi dengan memanfaatkan teknologi digital, OJK malah menuduh mereka ilegal. Apa alasannya tidak jelas, jangan OJK membuat definisinya sendiri. Jadi ayo kita awasi penyimpangan, tapi jangan matikan koperasi yang menjadi gerakan ekonomi rakyat. Ini menyedihkan,” ungkap Evita Nursanty, dalam keterangannya Jum’at (29/5/2020).

Hal ini disampaikan Evita Nursanty menanggapi Satgas Waspada Investasi OJK yang mengatakan menemukan 50 aplikasi KSP yang melakukan penawaran pinjaman online ilegal, yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip perkoperasian yaitu, aplikasi pinjaman itu bisa diakses masyarakat umum yang bukan anggota atau calon anggota KSP dan melanggar ketentuan perundang-undangan Koperasi. Selain itu juga dikaitkan dengan penyebaran data pribadi serta intimidasi.

Evita berpandangan, OJK harus memilah-milah masalah, jangan mencampur-aduk untuk mencari-cari alasan. Ilegal atau tidak koperasi dilihat dari apakah punya izin, dan sesuai UU Koperasi serta PP tentang Simpan Pinjam. Kemudian apakah ada praktik penipuan yang dilakukan bukan dari sistem digital yang dipakainya. Menuduh semua koperasi khususnya KSP yang menggunakan digital sebagai pinjaman online juga tidak tepat.

“Soal ada penipuan, ada penyebaran data pribadi dan intimidasi itu urusan yang berbeda, silakan ditindak sesuai kewenangan lembaga, bukan koperasinya yang diaduk-aduk. Jadi tolong OJK jangan membuat definisi sendiri soal KSP ataupun soal pinjaman online ilegal. Tolong jelaskan prinsip perkoperasian mana yang dilanggar,” tegas Evita.

Menurut Evita, ada pertanyaan apakah KSP atau unit simpan pinjam koperasi tidak boleh menggunakan digital atau online untuk menawarkan produknya? Apakah kepada anggota atau calon anggota? Pasal 44 UU Koperasi memungkinkan penghimpunan dan penyaluran dana dari dan untuk anggota koperasi, lalu PPNo9/1995 diatur juga mengenai “calon anggota” dimana calon anggota dalam waktu paling lama tiga bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota. Jadi produk KSP itu terbuka untuk anggota dan calon anggota.

Evita juga menyoroti peranan Kementerian Koperasi dan UKM yang menurutnya tidak terlihat untuk mengatasi persoalan ini. Padahal seharusnya masalah pengawasan koperasi itu ada di Kementerian Koperasi dan UKM bukan di OJK. Hal itu bahkan sudah menjadi kekhawatiran lama para pelaku koperasi, sehingga melahirkan Deputi Pengawasan di Kementerian Koperasi dan UKM seperti yang ada saat ini, tujuannya untuk melakukan pengawasan koperasi yang menyimpang. Bahkan berdasarkan Permenkop No17/Per/M.KUKM/IX/2015 pengawasan juga dilakukan oleh gubernur, bupati/ wali kota.

“Kementerian Koperasi dan UKM harusnya tegas di sini. Selama ada di OJK maka koperasi sulit berkembang karena visinya memang berbeda. OJK mungkin akan terus berpihak kepada lembaga keuangan yang memang ‘membiayainya’ melalui iuran rutin, seperti perbankan,” sambung Evita.(jef)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.