JAKARTA:(GLOBALNEWS.ID)-Selama kepemimpinan Emirsyah Satar, pelaksanaan program pengadaan pesawat dan perawatan mesin di Garuda Indonesia tidak pernah ada intervensi dan favoritisme untuk memilih atau memenangkan pihak tertentu. Semua pengadaan prosesnya berjalan normal melalui kajian tim dan rapat direksi dimana putusan diambil direksi berdasarkan usulan tim, tanpa ada intervensi atau paksaan.
Demikian garis besar kesaksian pada sidang keempat mantan direktur utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jalan Bungur Besar Raya, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2020. Hadir sebagai saksi masing-masing Handrito Hardjono, mantan direktur keuangan Garuda, Agus Priyanto, mantan direktur komersial, Rajendra kartawiria, mantan VP CEO Office, dan Norma Aulia, manager accounting Garuda.
Emirsyah Satar antara lain didakwa memaksakan agar pesawat Bombardier CRJ 1000 yang dipilih, meski pesawat Embraer E190 lebih unggul. Hal tersebut tidak benar mengingat seluruh proses pengadaan pesawat dilakukan dengan mengikuti usulan tim pengadaan yang beranggotakan staf dari berbagai unit, dan keputusan yang diambil dilakukan secara kolegial oleh seluruh direksi. Bahkan berkaitan dengan perhitungan dan kinerja terhadap usulan tim yang berubah-ubah, Emirsyah Satar telah memerintahkan unit Audit Internal untuk melakukan audit. Faktanya pemilihan Pesawat Bombardier CRJ 1000 merupakan usulan Tim dan pesawat tersebut harga per unitnya lebih murah US$ 3 Juta daripada pesawat Embraer E190.
Saksi Agus Priyanto juga menyatakan “soal pemilihan pesawat dan keputusan pengadaan adalah keputusan rapat direksi”.
Dalam kaitan dengan pemilihan/penetapan perawatan engine dengan metode “Total Care Program” (TCP), saksi Rajendra Kartawiria menjelaskan bahwa TCP ini seperti mekanisme dalam asuransi, karena pembayaran dilakukan berdasarkan jam terbang per bulan, dan apabila engine pesawat mengalami kerusakan dan harus diturunkan, maka akan diberikan engine pengganti.
Sedangkan metode “Time Material Based ” (TMB) bersifat fluktuatif, dan apabila terjadi kondisi tidak ada “spare engine” (engine cadangan) maka biaya bisa menjadi lebih mahal. TMB memang murah di awal namun kompetitifnya tidak bagus, karena apabila pesawat sedang diperbaiki enginenya, pesawat tidak jalan. Sedangkan dengan “Total Care Program”, proses penggantian dan penyediaan mesin pengganti semuanya dilakukan oleh Rolls Royce.
Saksi Agus Priyanto juga menyatakan dahulu dari 6 pesawat Airbus yang tidak bisa terbang ada 2 pesawat, karena banyak problem di engine. Tetapi sejak 2007 dan seterusnya ketika menggunakan TCP, performance pesawat Airbus membaik, yang ditandai dengan naiknya rating (peringkat Garuda) di Skytrax, lembaga pemeringkat airlines independen yang berkedudukan di London.
Sementara itu, saksi Norma Aulia juga menyatakan, antara Garuda dengan Rolls Royce terdapat “Supplementary Financial Agreement”, dimana setiap delivery pesawat dengan engine Rolls Royce maka Garuda akan mendapatkan semacam cashback yaitu “engine consession” dari Rolls Royce yang diberikan ke Garuda; dan terungkap bahwa selama periode 2012 sampai 2016 Garuda telah mendapatkan cashback dari Rolls Royce senilai total US$ 443,896,345.00.(jef)