Arsip Tag: Deputi bidang perkoperasian Ahmad zabadi

KemenKopUKM: LPS Koperasi Jadi Pelindung Hak-Hak Anggota Koperasi

Jakarta:(Globalnews.id)– Dalam meminimalisir kerugian yang muncul dari berbagai praktik yang merugikan anggota koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi menegaskan perlu ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) koperasi untuk melindungi hak-hak anggota koperasi yang dirugikan.

“Pembentukan LPS semata-mata dilakukan karena pemerintah ingin melindungi kepentingan anggota koperasi dan masyarakat dari praktik-praktik yang merugikan anggota koperasi,” kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi dalam acara Serap Aspirasi Urgensi Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi, di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Kamis (7/11/2023).

Menurut Zabadi, munculnya banyak masalah di KSP lantaran koperasi belum membentuk ekosistem yang kokoh bagi koperasi. Koperasi yang kokoh hanya bisa dibangun berdasarkan undang-undang yang baru, yang lebih bisa mengakomodir perubahan zaman.

“Kalau kita berkaca pada perbankan, saat COVID-19 ada bank yang bermasalah. Jika ekosistem perbankan belum kuat mereka bisa saja gagal bayar. Meski terjadi masalah, namun tidak terjadi rush karena industri bank sudah punya LPS yang menjamin simpanan nasabah hingga Rp2 miliar,” kata dia.

Selain punya LPS, industri perbankan juga punya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan otoritas lain seperti Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan kata lain, ekosistem di industri perbankan dinilai Zabadi sudah sangat kokoh.

“Berbeda dengan koperasi, saat ini koperasi belum punya ekosistem yang kuat. Di perbankan yang bisa memailitkan itu OJK/Kemenkeu. Ini tidak dipunyai oleh koperasi, di koperasi, anggota juga bisa memailitkan koperasi. Ada lebih dari 30 juta anggota koperasi yang perlu dilindungi kepentingannya dari praktik-praktik yang merugikan, yang dilakukan oleh pendiri maupun pengurus koperasi,” kata Zabadi.

Zabadi menilai, kehadiran LPS merupakan salah satu langkah konkret yang dilakukan pemerintah dalam menyiapkan ekositem koperasi yang kokoh. Penyiapan ekosistem ini sudah sangat mendesak dilakukan, sesuai mandat dari Mahkamah Konstitusi saat membatalkan seluruh materi muatan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

“Ini sudah lebih dari 10 tahun sejak putusan MK. UU Perkoperasian yang baru harus segera hadir agar bisa mengakomodir perubahan zaman dan kondisi terkini. Kami sudah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas RUU Perkoperasian. DPR berjanji akan memprioritaskan RUU Perkoperasian setelah reses selesai,” kata Zabadi.

Di waktu yang sama, Prof DR Pujiyono Suwadi SH, MH, pengamat hukum dari UNS mengatakan, pada dasarnya koperasi memang milik anggota. Namun, koperasi juga punya subjek hukum mandiri, di antaranya adalah pengurus.

“Subjek hukum mandiri ini berfungsi mewakili anggota koperasi. Di sisi lain, tidak semua anggota koperasi tahu apa yang akan dilakukan oleh pengurus. Maka kepentingan dari anggota koperasi perlu dilindungi,” kata dia.

Menurut Prof Puji, saat ini ada banyak pengurus yang merasa bahwa koperasi itu miliknya. Sehingga, pengurus bisa berbuat sesuka hati dalam mengelola koperasi. Padahal, langkah itu bisa berdampak buruk bagi kelangsungan koperasi.

“Ini yang perlu diperbaiki. UU Perkoperasian yang baru harus segera hadir dengan semangat memperbaiki dan mendorong koperasi untuk naik kelas,” kata dia.

Mahfud, salah satu gerakan koperasi yang hadir dalam acara tersebut, menyetujui pembentukan LPS Koperasi.

“Sangat setuju untuk dibuatkan LPS Koperasi, karena kalau ada yang kolaps atau nakal maka hak dari anggotanya bisa terlindungi,” ujar Mahfud.

Yuarti, salah satu pengurus koperasi di Jawa Tengah juga menyetujui pembentukan LPS Koperasi.

“Kami mendukung hadirnya LPS Koperasi agar menurunkan moral hazard. Dengan eksositem yang kuat, hadirnya Undang-Undang Perkoperasian yang baru maka tata kelola koperasi akan menjadi lebih baik,” kata Yuarti.(Jef)

KemenKopUKM Pacu Keunggulan Kolaboratif Koperasi

Jakarta:(globalnews.id) – Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) mendorong koperasi untuk tidak tumbuh kembang secara sendiri – sendiri, melainkan dengan memanfaatkan keunggulan kolaboratif.

“Koperasi perlu membangun keunggulan kolaboratif, yakni keunggulan yang dicapai dan dihasilkan dari kerja sama antara satu dengan koperasi lainnya,” kata Deputi Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi di Jakarta, Sabtu (25/11).

Pemanfaatan keunggulan kolaboratif, kata Zabadi dapat diaplikasikan dengan berbagai opsi sesuai amanat RUU (Rancangan Undang-Undang) Perkoperasian yang saati ini sedang menunggu pembahasannya di DPR RI.

“RUU ini adalah upaya sistemik untuk membangun koperasi Indonesia agar lebih besar dan kuat. Terlebih lagi, saat ini sebagian besar atau hampir 80 persen koperasi skalanya mikro. Dengan skala mikro ini, manfaat bagi anggota tidak optimal. Di sisi lain koperasi tidak hidup di ruang hampa. Sebaliknya, berada pada pasar yang penuh persaingan. Sehingga koperasi harus meningkatkan skala permainannya,” jelas Zabadi.

Beberapa opsi yang dapat digunakan koperasi salah satunya adalah tindakan peleburan (merger) atau penggabungan (amalgamasi). Perusahaan swasta lain sering menggunakan opsi merger atau amalgamasi tersebut untuk meningkatkan skala perusahaan, jangkauan pasar, efisiensi operasional, penguatan rantai pasok, dan sebagainya. Opsi semacam itu perlu dibiasakan di koperasi.

“Banyak koperasi besar di Indonesia merupakan hasil merger atau amalgamasi dari beberapa koperasi. Itu membuktikan opsi merger atau amalgamasi terbukti valid dalam meningkatkan usaha koperasi,” ujar Zabadi.

Opsi lain yang didorong lewat RUU Perkoperasian ini adalah aliansi strategis dalam bentuk kerja sama jaringan atau kemitraan.

“Bahkan untuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP), hal ini kita wajibkan. Di mana KSP harus menjadi anggota dari sekunder, asosiasi, atau jaringan lainnya. Selama ini banyak KSP yang bergerak sendirian, stand alone, hasilnya kapasitas dan kapabilitas tumbuh secara lambat,” papar Zabadi.

Dengan kerja sama tersebut, koperasi dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya. Di sisi lain kerja sama juga menjadi salah satu prinsip koperasi internasional. Pemerintah akan mengamplifikasi prinsip tersebut dalam pembangunan dan pengembangan koperasi ke depan.

“Melalui kerja sama, banyak hal bisa dilakukan. Swasta saja melakukan co-opetition, koperasi yang tak perlu bersaing antarsesama, bisa sepenuhnya co-operation,” kata Zabadi.

Tidak berhenti di situ, dengan RUU Perkoperasian sebagai perubahan ketiga terhadap UU Nomor 25 Tahun 1992 ini, pemerintah akan merekognisi dan mendorong pengintegrasian melalui apex koperasi. Lembaga apex saat ini telah berkembang alamiah di dalam gerakan koperasi. Dalam RUU ini keberadaan koperasi direkognisi dan diperkuat. Tujuannya agar terbentuk berbagai apex untuk menjawab kebutuhan di lapangan.

“Fungsi apex sangat variatif dan mendukung usaha koperasi. Fungsi itu seperti pooling fund untuk mendukung likuiditas antaranggota, riset dan pengembangan, serta standardisasi pada produk, layanan, merek, pemasaran, teknologi, dan lainnya. Bahkan apex kita libatkan untuk menentukan dapat melakukan pemeriksaan keuangan, pemeringkatan atau penilaian kesehatan, serta pengawasan koperasi dalam jaringan,” tutup Zabadi.

Secara terpisah, Akademisi Universitas Bakrie sekaligus Anggota Tim Asisitensi RUU Perkoperasi Suwandi berpendapat koperasi di Indonesia saat ini masih beroperasi dengan skala usaha kecil disertai SDM dan tata kelola yang sulit untuk maju.

“Sementara pasar dan kebutuhan anggota berubah cepat, pada posisi ini antisipasi koperasi lambat,” ujar Suwandi.

Menurut Suwandi, mengubah tradisi ini bagi koperasi tentu tidak mudah, apalagi semua keputusan mengandung risiko. Namun, pilihannya cuma satu.

“Cooperation built in cooperatives. Koperasi Indonesia, mesti menggerakkan kerja sama antar koperasi meski ini lagu lama. Tugas pemerintah harus endorced terus agar koperasi dari sekadar operation, tapu mampu bekerja secara cooperation,” kata Suwandi.

Suwandi menekankan kemitraan dan investasi juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk menguatkan kerja koperasi, meluaskan produksi dan pasar, menekan risiko dan mengembangkan peran partisipasi, membendung residu arus pasar global, serta teknologi digital yang mereduksi peran koperasi.(Jef)

KemenKopUKM: Koperasi Terbukti Mampu Pertahankan Eksistensi

Solo:(Globalnews.id)- Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi meyakinkan kepada gerakan koperasi bahwa selama puluhan tahun koperasi terbukti mampu mempertahankan eksistensi karena kekuatannya yang melekat pada rakyat sebagai badan usaha yang dikelola dengan asas gotongroyong dan kekeluargaan.

Oleh karena itu, Deputi KemenKopUKM itu menekankan agar gerakan koperasi tetap optimistis dengan berbagai kemudahan kebijakan untuk koperasi termasuk ketentuan mendirikan koperasi yang cukup 9 orang, terutama bagi koperasi yang pada akhirnya kemudian memilih pola Open Loop dan diawasi oleh OJK sebagaimana perbankan. Hal ini disebutnya tidak akan membahayakan eksistensi koperasi.

“Saya juga meyakini, bila RUU Perkoperasian nanti disahkan yang di dalamnya mencakup pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Koperasi, separuh penduduk Indonesia bakal menjadi anggota koperasi,” ucap Deputi Zabadi saat berdialog dengan sekitar 500 anggota koperasi, pada acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Perhimpunan Baitul Maal wa Tamwil (PBMT) Indonesia 2023 di Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/10).

Buktinya, lanjut Zabadi, PBMT Indonesia bisa mengonsolidasikan dana lebih dari Rp12 triliun, dengan jumlah anggota koperasi yang terus bertambah secara signifikan mencapai 3,4 juta orang. “Terlebih lagi, bila koperasi memiliki LPS, saya yakin di tingkat grass root lebih senang dan nyaman untuk simpan uang di koperasi,” kata Zabadi.

Dari perbandingan bunga simpanan saja, paling tinggi entitas keuangan lain hanya bisa memberikan suku bunga 4 persen, karena komponen biaya operasionalnya yang tinggi. Sedangkan koperasi bisa memberikan sekitar 7-9 persen, terlebih lagi dengan ada penjaminan LPS, tentu akan lebih aman dan kompetitif.

Oleh karena itu, Zabadi merasa heran bila ada insan koperasi yang justru menolak kehadiran LPS. “Orang takut menyimpan uang di koperasi karena tidak ada jaminan, takut ketika mau menarik uang ternyata dananya tidak ada. Maka, dengan adanya LPS di koperasi, ini justru akan meningkatkan daya saing dan kepercayaan terhadap koperasi,” kata Zabadi.

Oleh karena itu, Zabadi menyebutkan bahwa koperasi tidak perlu takut bersaing dengan entitas lembaga keuangan lain, sepanjang koperasi dikelola dengan benar dan profesional.

*Strategi Spin-Off Koperasi*

Dalam kesempatan itu, Zabadi juga menegaskan bahwa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tidak boleh menjalankan usaha lain di sektor riil. “Bisa saja menjalankannya, tapi dengan cara melakukan spin-off dengan cara melakukan kajian cukup terlebih dahulu dan memastikan kelayakan ekonominya,” imbuh Zabadi.

Zabadi mencontohkan Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI) yang awalnya hanya usaha simpan pinjam, kemudian mengembangkan usaha lain di sektor riil dengan membentuk koperasi-koperasi lain. Di antaranya, Koperasi Konsumen Benteng Muamalat Indonesia, Koperasi Sekunder BMI, dan sebagainya.

“Dengan skema pengembangan seperti ini, memungkinkan koperasi bisa menjadi konglomerasi. Konglomerasi koperasi hanya bisa terjadi kalau dilakukan pengembangan bisnis secara horizontal, bukan vertikal, melalui cara spin-off,” kata Zabadi.

Saat ini, kata Zabadi, sudah banyak koperasi melakukan spin-off. Dan dia berharap jangan pernah melakukan spin-off dalam bentuk PT. Memang, tidak dilarang dalam bentuk PT. Tapi, kalau melakukan itu, sama saja dengan mereduksi koperasi seolah-olah koperasi tidak kompeten untuk bisnis-bisnis tertentu hingga harus berbentuk PT.

“Bagi saya, dengan spin-off dalam bentuk koperasi juga, ini bisa menjawab keraguan masyarakat atas koperasi sebagai sebuah entitas bisnis moderen. Jadi, spin-off usaha koperasi, sebaiknya juga dalam bentuk koperasi,” ujar Zabadi.(Jef)

Selusin Alasan Perlu Segera Dilakukan Perubahan UU Perkoperasian

Jakarta:(Globalnews.id) – Pengembangan koperasi di Indonesia menjadi bagian dari cita-cita untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga dalam perjalanannya diperlukan payung hukum berupa regulasi yang komprehensif, holistik, dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi menilai, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak relevan dan tidak cukup memadai untuk digunakan sebagai payung hukum pengembangan koperasi di Indonesia. Terlebih, koperasi sedang dihadapkan pada perkembangan tata ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan digital.

“Pemerintah Indonesia perlu memperbaharui regulasi terkait koperasi, agar semakin relevan dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di kalangan masyarakat. Regulasi ini lewat penetapan landasan hukum baru berupa Undang-Undang. Kita butuh solusi terkini dalam mengatur perkoperasian karena munculnya permasalahan hukum baru yang semakin kompleks,” kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi, dalam keterangan resminya, di Jakarta, Rabu (11/10).

Saat ini, kata Zabadi, kemudahan perizinan usaha koperasi justru disalahgunakan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, khususnya koperasi simpan pinjam sehingga tumbuh perusahaan yang menamakan dirinya koperasi, yang sejatinya bukan koperasi.

“Padahal perusahaan itu masuk kategori bank gelap atau rentenir terselubung yang jelas-jelas menyimpang dari jati diri koperasi,” kata dia.

Kondisi ini jelas merusak citra koperasi Indonesia. Hal ini membawa dampak pada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dan akuntabilitas pengelolaan koperasi, sehingga perlu segera ditingkatkan dengan mengembangkan sistem tata kelola koperasi yang baik.

“Kepercayaan yang turun juga berimbas lain bagi koperasi, gerakannya menjadi terbatas, khususnya dalam mengakses sumber daya produktif, seperti akses pembiayaan usaha dari perbankan dan lembaga keuangan, akses pasar, akses teknologi, akses sumber daya manusia, dan sumber daya produktif lainnya,” jelas Zabadi.

Untuk mengembalikan tingkat kepercayaan, ada 12 hal yang perlu diatur dalam RUU Perkoperasian. Pertama, pemerintah perlu merinci ulang tentang definisi dan nilai prinsip dari koperasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian belum mengatur secara lengkap jati diri koperasi, sesuai dengan identitas koperasi secara internasional. Pasalnya, UU Koperasi disahkan lebih dulu, sebelum jati diri koperasi tersebut dirumuskan dan disahkan oleh ICA pada tahun 1995 di Manchester.

Kedua, pemerintah perlu mengatur dengan tegas pembentukan, pendirian, dan anggaran dasar koperasi. “Ada beberapa hal yang perlu ditambahkan, di antaranya terkait penamaan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan nama koperasi yang merugikan masyarakat,” tegas dia.

Selain itu, lanjut Zabadi, perlu pengaturan yang lebih spesifik terkait pendirian, perubahan anggaran dasar, termasuk di dalamnya koperasi yang telah dicabut izin usahanya atau dalam pengawasan khusus. Pemerintah perlu mengatur praktik usaha koperasi dengan basis anggota yang beragam yang telah berhasil dijalankan di negara lain, sehingga dapat memperkaya dan menjangkau seluruh kegiatan ekonomi masyarakat sesuai dengan semangat koperasi di Indonesia.

Ketiga, keanggotaan koperasi. Regulasi lama belum mengatur dan memberikan perlindungan secara memadai kepada hak anggota, hak koperasi sebagai badan hukum, dan hak pihak ketiga, serta hak masyarakat.

Keempat, perangkat organisasi, salah satunya belum mengatur dengan jelas tentang tugas, wewenang dan tanggung jawab pengurus, pengawas dan pengelola koperasi.

Kelima, belum jelas dan tegasnya terminologi modal dan utang, serta belum jelasnya tentang struktur permodalan dan ketentuan terkait jumlah modal dasar dan modal pendirian koperasi. Regulasi yang ada belum mengatur secara tegas batasan modal minimal usaha simpan pinjam untuk kelangsungan usaha.

Keenam, usaha koperasi. Saat ini, kegiatan usaha koperasi dibatasi berdasarkan jenisnya, sehingga memasung kreativitas koperasi dan mengancam fleksibilitas usaha koperasi, serta menghambat pengembangan usaha koperasi untuk menentukan sendiri bidang usahanya.

Koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, kata Zabadi perlu diberikan kesempatan dan ruang berusaha yang seluas-luasnya di berbagai sektor usaha, sesuai kompetensi usahanya. Selain itu, pemerintah juga perlu mengatur tentang koperasi sekunder dan Apex koperasi, serta model koperasi multi pihak untuk memenuhi kebutuhan anggota, inovasi bisnis, dan tanggap terhadap perekonomian global.

Ketujuh, perlindungan anggota dan koperasi belum diatur secara memadai. Sehingga dalam praktiknya sering terjadi penyalahgunaan perizinan usaha koperasi simpan pinjam dan penyalahgunaan pemberian pinjaman oleh usaha simpan pinjam koperasi kepada calon anggota atau non anggota.

“Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan anggota koperasi, menurut Zabadi perlu diatur keberadaan lembaga pengawas independen untuk mengatur tata kelola dan pengawasan usaha simpan pinjam koperasi. Pengaturan tentang pelindungan terhadap simpanan anggota, dan pengaturan tentang kebijakan penyehatan koperasi untuk mengembangkan industri usaha simpan pinjam yang kredibel dan sehat,” jelas Zabadi.

Kedelapan, pengaturan tentang selisih hasil usaha koperasi. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUUXI/2013 tentang Selisih Hasil Usaha, dinilai terdapat ketidakadilan terkait dengan hak dan kewajiban anggota, di mana ketika koperasi mengalami surplus hasil usaha, anggota tidak berhak atas surplus yang berasal dari transaksi dengan non anggota. Ia menjelaskan, ketika koperasi mengalami defisit hasil usaha baik disebabkan oleh transaksi dengan anggota atau non anggota, anggota wajib menyetor modal koperasi sebagai tambahan modal.

Kesembilan, pengaturan tentang restrukturisasi koperasi. “Sesuai dengan aturan yang ada, proses penyehatan Koperasi melalui restrukturisasi yang dilakukan secara mandiri oleh koperasi dilaksanakan tanpa garis panduan undang-undang yang jelas disebabkan ketiadaan regulasi. Oleh karena itu, ditemukan praktik di lapangan tentang adanya kegiatan penggabungan koperasi yang berbeda–beda sehingga merugikan anggota,” papar Zabadi.

Kesepuluh, pengaturan tentang kepailitan, pembubaran, dan penyelesaian. Regulasi yang berlaku tidak mengatur tentang kepailitan dan PKPU. Ironisnya, pemerintah juga tidak bisa mencegah kepailitan koperasi.

“Proses penyelesaian melalui jalur pengadilan tidak sejalan dengan keberadaan koperasi, terlebih dapat menimbulkan masalah lain, khususnya kepailitan yang menyebabkan terjadinya pembubaran koperasi,” jelas Zabadi.

Kesebelas, perlunya mendorong tumbuhnya ekosistem koperasi karena saat ini, koperasi di Indonesia tidak memiliki banyak instrumen pendukung sebagai ekosistem pengembangan usahanya, sehingga tidak dapat bersaing dengan pelaku usaha lain.

Terakhir keduabelas, ketentuan pidana. Ketiadaan pengaturan tentang ketentuan pidana tentu tidak memberikan rasa keadilan kepada anggota dan masyarakat yang dirugikan oleh koperasi. Keterbatasan tersebut sekaligus tidak memberikan perlindungan hukum kepada usaha koperasi di Indonesia.

“Terulangnya kasus kejahatan yang menyalahgunakan nama ataupun wewenang sebagai pengurus koperasi yang merugikan anggota, dan dapat terbebas dari sanksi hukum menjadi alasan perlu diaturnya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perkoperasian saat ini,” tutup Zabadi.(Jef)

KemenKopUKM Pastikan RUU Perkoperasian Segera Dibahas di DPR

Jakarta:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) memastikan Surat Presiden (Surpres) kepada Pimpinan DPR RI terkait pembahasan RUU (Rancangan Undang-Undang) Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian telah diterima DPR, menandai tahapan pembahasan bagi RUU Perkoperasian oleh DPR.

“Statusnya adalah kumulatif terbuka, sehingga tidak masuk dalam Prolegnas. Kapan pun Pemerintah siap dapat langsung mengirimkannya kepada DPR. Alhamdulillah Surpres sudah turun dan telah disampaikan kepada DPR pekan lalu. Dapat dipastikan mulai Oktober 2023 pembahasan akan dilangsungkan,” kata Deputi Bidang Perkoperasi KemenKopUKM Ahmad Zabadi, di Jakarta, Selasa (26/9).

Zabadi mengatakan, Pemerintah menargetkan agar pembahasan dan pengesahan RUU dapat terlaksana akhir tahun 2023. Di mana status undang-undang ini adalah perubahan ketiga terhadap UU Nomor 25 Tahun 1992.

“Ini perlu kami sampaikan kepada masyarakat, khususnya gerakan koperasi bahwa RUU Perkoperasian disiapkan awalnya untuk mengganti Undang-Undang lama dengan Undang-Undang yang baru,” katanya.

Namun adanya aspirasi gerakan koperasi untuk mendapatkan pembaharuan regulasi, dan adanya ketentuan Pasal 97A UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana UU Nomor 25 Tahun 1992 sudah dua kali diubah melalui dua undang-undang omnibus law.

Pertama adalah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dan kedua adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Sehingga sesuai ketentuan, RUU Perkoperasian statusnya adalah perubahan ketiga terhadap UU Nomor 25 Tahun 1992.

Meski demikian berbagai subtansi yang sudah disosialisasikan dalam serap aspirasi (meaningfull participation) kepada pemangku kepentingan dan masyarakat sejak tahun 2022 sampai dengan 2023 ini tidak mengalami perubahan.

“Yang berubah hanya sistematikanya saja, dari awalnya RUU Perkoperasian yang sifatnya penggantian, disesuaikan menjadi perubahan terhadap Undang-undang Perkoperasian,” kata Zabadi.

Ditegaskan Zabadi, perubahan UU ini sangat mendesak dan dibutuhkan masyarakat, sesuai surat Presiden kepada Pimpinan DPR RI yang menyatakan sebagai prioritas utama untuk dibahas dan memperoleh persetujuan.

Menurutnya, tantangan zaman, dinamika lapangan, serta kebutuhan masyarakat perlu secepatnya dijawab dengan pembaruan regulasi. Agar kemudian masyarakat pada umumnya dan gerakan koperasi pada khususnya memiliki daya dukung regulasi yang baik.

Untuk itu Zabadi mengatakan, setidaknya ada beberapa hal utama yang menjadi perhatian Pemerintah dalam perubahan UU ini. Yakni pertama, terkait peneguhan identitas koperasi dengan mengadaptasi jati diri koperasi dari International Cooperative Alliance (1995) yang dipadukan dengan karakter dan semangat ke-Indonesiaan, antara lain dalam bentuk azas kekeluargaan dan gotong royong.

Kedua, modernisasi kelembagaan koperasi dengan melakukan pembaruan pada ketentuan keanggotaan, perangkat organisasi, modal, serta usaha. “Tidak ketinggalan adopsi dan rekognisi pada model yang sudah berkembang di kalangan masyarakat seperti Koperasi Syariah, Koperasi Multi Pihak, Apex Koperasi, pola tanggung renteng, dan lain-lain,” katanya.

Ketiga, peningkatan standar tata kelola yang baik (good cooperative governance) untuk mendorong koperasi-koperasi di Indonesia memiliki standar tersebut. Sehingga watak koperasi sebagai perusahaan yang dimiliki bersama dapat benar-benar dikendalikan secara demokratis oleh anggotanya.

Keempat, perluasan lapangan usaha koperasi, dengan menghapus penjenisan koperasi (sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013). Sehingga ke depan koperasi dapat menjalankan usaha di sektor apapun sebagaimana tersedia dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), yang sedikitnya ada 1790 pilihan.

Yang kelima, pengarusutamaan koperasi sektor riil, affirmative action ini dilakukan agar koperasi sektor riil dapat menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat. “Berbagai dukungan, insentif, fasilitasi telah diatur dalam UU ini. Ke depan koperasi sektor riil harus menjadi arus utama kelembagaan ekonomi rakyat untuk mewujudkan ekonomi yang berkeadilan di tengah masyarakat Indonesia,” ucapnya.

Lalu keenam, peningkatan pelindungan kepada anggota dan/atau masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mengusulkan pendirian dua pilar lembaga. Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi dan Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi. Dengan pendirian dua lembaga tersebut, membuktikan negara hadir dalam melindungi kepentingan anggota, koperasi, dan masyarakat pada umumnya.

Terakhir yang ketujuh, peningkatan kepastian hukum, dengan mengatur ketentuan sanksi administratif dan pidana. Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan bagi anggota, koperasi, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan badan hukum koperasi.

“Adanya sanksi pidana ini diharapkan dapat membuat jera orang/pihak-pihak yang memanfaatkan koperasi untuk kepentingan dirinya semata, seperti praktik ternak uang atau rentenir,” kata Zabadi.

Ia pun menilai, substansi perubahan UU ini sangat kaya dan mendalam. Hal tersebut karena perubahan sekarang merupakan hasil kondensasi dan kristalisasi dari upaya menyempurnakan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang telah dilakukan selama beberapa periode pemerintahan, dan dibahas kembali secara intensif dengan pemangku kepentingan pada 2022-2023.

“Sehingga dalam perumusannya benar-benar melalui kondensasi dan kristalisasi dari berbagai pengalaman, khazanah, praktik baik, isu/masalah kontemporer, dan antisipasi perubahan serta peluang di masa depan,” kata Zabadi.

RUU Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 25 Tahun 1992 ini kata Zabadi, sudah sangat mencerminkan meaningful participation, karena setiap suara pemangku kepentingan, baik yang setuju dan berbeda pandangan dengan rancangan pemerintah telah didengarkan, dipertimbangkan, dan dijelaskan secara memadai.

Pembahasan telah dimulai dari proses serap aspirasi, diskusi substansi naskah akademik dan RUU telah berulang-ulang dilakukan dengan berbagai pemangku kepentingan di daerah secara langsung (luring) maupun daring, serta dibahas dengan para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Selanjutnya dibahas melalui panitia antar kementerian/lembaga, dan dilakukan penyelarasan dengan BPHN dan harmonisasi dengan lintas kementerian/lembaga, sehingga segala aspek pengaturan yang penting dinilai telah dibahas secara komprehensif dalam RUU Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Zabadi berharap, RUU Perkoperasian ini dapat menjadi landasan hukum untuk mewujudkan asas kekeluargaan dan semangat gotong royong dalam membangun perekonomian nasional yang tumbuh stabil secara berkelanjutan dan berkeadilan.

“Keadilan ekonomi akan menjadi isu utama kebijakan pemerintah pada masa mendatang. Koperasi merupakan wahana utama untuk mewujudkan tujuan nasional di bidang ekonomi, yaitu masyarakat yang adil dan makmur,” kata Zabadi.(Jef)

KemenKopUKM: UU P2SK Berikan Keleluasan Berbisnis bagi Koperasi di Sektor Jasa Keuangan

Jakarta:(Globalnews.id)- Setelah disahkannya UU Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), koperasi dapat bergerak bebas menjalankan usahanya di seluruh sektor jasa keuangan sehingga hal ini menjadi angin segar untuk koperasi dalam mengembangkan bisnisnya.

Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi melalui keterangan resminya di Jakarta, Jumat (07/7).

Dengan hadirnya UU P2SK, koperasi bisa menjalankan usaha di berbagai sektor jasa keuangan, mulai dari perbankan, asuransi, pasar modal, hingga kegiatan usaha lainnya yang belum diatur atau sudah diatur dalam UU mengenai jasa keuangan.

“Kalau koperasi memiliki kemampuan untuk mendirikan bank dengan badan hukum koperasi ini sudah bisa, mendirikan perusahaan asuransi sudah bisa, dan usaha yang bergerak di pasar modal juga bisa. Jadi tidak ada batasan, koperasi sudah bisa dipastikan memiliki kesempatan yang sama dengan badan usaha lainnya,” kata Zabadi.

Namun demikian, Ahmad Zabadi mengatakan, terdapat empat hal yang menjadi fokus utama dalam mengimplementasikan UU P2SK yang hingga saat ini sudah dijalankan.

“Yang pertama agenda penguatan pengawasan eksisting, yang kedua terkait ketentuan peralihan UU P2SK yakni verifikasi usaha simpan pinjam koperasi, ketiga pengembangan sistem pengawasan terpadu sebagai embiro dari Otoritas Pengawas Koperasi (OPK) yang dirumuskan dalam RUU Perkoperasian, dan terakhir yakni terbentuknya OPK itu sendiri,” ujar Zabadi.

KemenkopUKM juga memiliki waktu paling lambat dua tahun untuk melakukan penilaian kepada seluruh koperasi yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan mana koperasi yang bergerak di sektor jasa keuangan dan koperasi yang hanya melayani anggotanya.

“Jadi untuk koperasi yang hanya melayani anggota dan melakukan simpan pinjam akan tetap ada di bawah pengawasan KemenkopUKM. Dan untuk koperasi yang melayani di luar anggota akan diawasi oleh lembaga terkait seperti OJK,” ucap Zabadi.

Sebagai tindak lanjut adanya UU P2SK, KemenKopUKM juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM (PeremenkopUKM) nomor 8 tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi yang mulai berlaku pada 27 Juni 2023.

“Hadirnya Peraturan ini untuk mengakomodir kebutuhan hukum di kalangan masyarakat dan anggota koperasi. Dengan harapan, dapat mendorong terciptanya tata kelola koperasi yang baik dan professional sehingga dapat memajukan koperasi dan anggotanya, kata Zabadi.

Senada dengan itu, Tenaga Ahli Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Agung Nur Fajar yang turut hadir sebagai narasumber pada acara Seri Webinar Dalam Rangka Peringatan Hari Koperasi ke-76 dengan tema “Koperasi Pasca Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2023 P2SK menambahkan, disahkannya UU P2SK memposisikan usaha simpan pinjam koperasi, sebagai bagian integral dari industri keuangan nasional.

“Usaha simpan pinjam koperasi, diperlakukan sebagai sektor keuangan formal, karena sebelumnya terkesan dipinggirkan dan tak terurus. Sekarang melalui UU P2SK koperasi menjadi sektor keuangan formal, ini membuka ruang pengembangan usaha kedepan,” ujar Agung Nur Fajar.

Agung juga menambahkan, koperasi dapat dengan leluasa memilih sifat usahanya, apakah tertutup _(close loop)_ ataupun terbuka _(open loop)._

“Dalam UU P2SK koperasi diberikan keleluasan untuk memilih, mau memilih _close loop_ dari oleh dan untuk anggota maka kegiatanya usaha simpan pinjamnya diawasi oleh KemenKopUKM, ataupun _open loop_ (melayani non anggota) yang kegiatan usahanya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan,” kata Agung.(Jef)

Tingkatkan GCG, Pengurus Koperasi Dilarang Punya Hubungan Sedarah dan Semenda

JAKARTA:(Globalnews.id) – Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menerbitkan peraturan terbaru tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi lewat Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (PermenKopUKM) Nomor 8 Tahun 2023 yang mulai berlaku pada 27 Juni 2023.

Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi mengatakan aturan pelarangan hubungan sedarah dan hubungan keluarga semenda ini dimaksudkan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG) dalam bisnis koperasi. Harapannya, dengan memiliki tata kelola yang baik, kepercayaan masyarakat terhadap koperasi semakin meningkat.

Dalam Pasal 50 ayat (3) aturan terbaru disebutkan, pengurus dan pengelola koperasi simpan pinjam dilarang mempunyai hubungan keluarga sedarah dan hubungan keluarga semenda sampai derajat kesatu dengan pengurus lain, pengawas, dan pengelola.

“Koperasi simpan pinjam itu menjalankan bisnis keuangan, dan bisnis keuangan adalah bisnis kepercayaan. Dalam menjaga dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat maka koperasi harus tumbuh didasarkan pada landasan-landasan yang kuat, di mana ownership dan membership memiliki hak yang sama, koperasi juga harus dikelola secara profesional, transparan, tidak boleh ada conflict of interest,” kata Deputi Bidang Perkoperasian Ahmad Zabadi, di Jakarta, Rabu, (05/07).

Zabadi menambahkan, larangan serupa sejatinya juga sudah diatur dalam PermenkopUKM Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi yang telah diterbitkan sebelumnya, yaitu Permenkop Nomor 15/Per/M.KUKM/IX/2015 dalam Pasal 4 ayat (4) dan PermenkopUKM Nomor 02/PER/M.KUKM/II/2017 dalam Pasal 3.

Aturan tentang pelarangan hubungan keluarga sedarah dan hubungan keluarga semenda ini, kata Zabadi, dimuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum.

“Dalam Pasal 8 disebutkan, mayoritas anggota direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota direksi dan/atau dengan anggota dewan komisaris,” kata Zabadi.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2020 tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga memuat aturan serupa. Dalam Pasal 64 disebutkan mayoritas anggota direksi dilarang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota direksi; dan/atau anggota dewan komisaris.

“Aturan yang sama juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Undang-Undang yang lebih dikenal dengan sebutan UU P2SK ini mengatur tentang larangan hubungan keluarga sedarah dan hubungan keluarga semenda dalam Pasal 17, 38B, 58B, dan 89B,” ujar Zabadi.

Zabadi menambahkan, para pengelola dan pengurus koperasi sudah sepatutnya belajar menjaga integritas sesuai prinsip koperasi sebagaimana cita-cita pendiri koperasi Bung Hatta.

“Bung Hatta adalah sosok yang paling menghindari konflik kepentingan. Ada banyak kisah yang bisa diambil dari Bung Hatta, salah satunya tentang cerita mesin jahit. Bagaimana Bung Hatta tetap melanjutkan kebijakan pemerintah tentang pemotongan nilai mata ORI (Oeang Republik Indonesia) dari 100 menjadi 1,” kata Zabadi.

Kebijakan pemotongan nilai mata ORI ini berdampak pada turunnya nilai uang yang dimiliki oleh sang istri, Rahmi Rachim yang hendak membeli mesin jahit. Akibat adanya pemotongan nilai ORI, Rahmi tidak bisa membeli mesin jahit. Padahal, ia sudah menabung cukup lama untuk mewujudkan keinginannya memiliki mesin jahit.

Sebagai pejabat, Bung Hatta sebetulnya bisa memundurkan atau membocorkan penerbitan kebijakan pemotongan nilai ORI agar istrinya bisa membeli mesin jahit terlebih dahulu. Namun, upaya ini tidak dilakukan demi kepentingan yang lebih besar.

Bung Hatta meminta sang istri untuk bersabar demi kepentingan bangsa dan menyuruhnya menabung lagi agar bisa membeli mesin jahit yang diinginkannya.

Kisah itu menjadi cermin dan inspirasi bagi para pelaku gerakan koperasi di tanah air untuk mengedepankan kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan pribadi atau keluarga/golongan.(Jef)

KemenkopUKM Dorong Petani Berkoperasi untuk Tingkatkan Skala Ekonomi

Jakarta:(Globalnews.id) – Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi mendorong petani berlahan sempit dan nelayan agar berkonsolidasi dalam wadah koperasi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan memiliki skala ekonomi.

“Koperasi bisa menjadi jawaban berbagai keterbatasan di kalangan petani dan nelayan. Kita tahu bahwa petani yang menggambarkan pelaku usaha mikro dan kecil, saat ini memiliki keterbatasan ekonomi seperti lahan yang terbatas, SDM (Sumber Daya Manusia), akses pembiayaan, hingga kemampuan untuk menjangkau pasar,” kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi saat menyampaikan keynote speech pada Seri Webinar dalam Rangka Peringatan Hari Koperasi ke-76 secara virtual, Senin (03/07).

Zabadi menjelaskan dengan segala keterbatasan yang dimiliki, koperasi menjadi pilihan rasional dalam mengembangkan usaha bagi para petani dan nelayan.

“Koperasi bisa berperan mengolah hasil panen, dan koperasi pula yang bergerak sebagai aggregator dalam menghubungkan hasil produksi dengan market. Sehingga dengan demikian, bisnis yang dikelola memiliki skala ekonomi dan daya saing. Ini sekaligus meningkatkan produktivitasnya,” ujar Zabadi.

Ia memberikan contoh Koperasi Al-Ittifaq di Bandung, Jawa Barat, yang mampu mengonsolidasikan petani berlahan sempit dengan rata – rata 50 hingga 100 meter, menjadi 1.200 hektare.

“Selain mengonsolidasikan lahan sempit para petani, koperasi itu bermitra dengan offtaker akhir seperti gerai ritel modern Superindo dan lainnya untuk memasarkan produk hasil petani,” ucap Zabadi.

Di sektor perikanan, Zabadi menyebutkan pihaknya menerapkan program Solusi Nelayan (Solar Untuk Koperasi Nelayan) untuk membantu para nelayan yang tergabung dalam koperasi, agar dapat lebih mudah menjangkau solar bersubsidi.

“Kita tahu di sektor perikanan, 60 persen biaya yang dikeluarkan ada pada bahan bakarnya. Para nelayan harus membeli harga bahan bakar solar jauh dari harga subsidi yang ditentukan. Kami upayakan 250 desa kampung nelayan untuk dapat difasilitasi SPBU nelayan kedepannya,” kata Zabadi.

Hadir sebagai narasumber Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Tungkot Sipayung mengatakan, petani dan koperasi sawit merupakan penggerak ekonomi pedesaan yang tercatat signifikan mengurangi kemiskinan dan pengangguran di pedesaan.

“Mengapa petani sawit memerlukan koperasi? Karena skala usaha perkebunan sawit rakyat relatif kecil dan menyebar, jalan sendiri-sendiri memiliki posisi tawar lemah, serta secara lokal berada dalam dua kekuatan monopsonistis dan monopolistis,” kata Tungkot Sipayung.

Ia juga menekankan pentingnya para petani sawit untuk memiliki organisasi ekonomi yang mengintegrasikan hulu-hilir sehingga dapat mencapai skala ekonomi. Dengan begitu, para petani sawit rakyat yang hanya bergerak pada on farm dapat memiliki nilai tambah pada mata rantai bisnis sawit.

Senada dengan Tungkot Sipayung, CEO Rumah Kesejahteraan Pendi Yusup mengungkapkan, dengan berkoperasi para petani dan nelayan akan merasakan manfaat ekonomi yang lebih ketimbang berjalan sendiri-sendiri.

“Koperasi bisa menjawab kebutuhan anggota, dalam konteks petani mampu memenuhi kebutuhannya. Selain itu dengan mengonsolidasikan diri maka akan tercapai skala ekoomi, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih murah,” kata Pendi Yusup.(Jef)

Program Solusi Nelayan Untuk Ekosistem Koperasi

Surabaya:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) mengatakan bahwa program Solar untuk Koperasi Nelayan (Solusi Nelayan) menjadi pemicu bagi terbangunnya ekosistem koperasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi menjelaskan, program Solusi Nelayan merupakan program bersama KemenKopUKM, Kementerian BUMN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memenuhi ketersediaan BBM maupun produk lain yang menjadi kebutuhan nelayan.

“Solusi Nelayan ini nanti akan dikelola koperasi supaya para nelayan dapat memanfaatkan BBM subsidi agar tepat sasaran. Tapi ini hanyalah trigger untuk membangun ekosistem koperasi,” ucapnya ketika melakukan audiensi bersama Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi bersama para nelayan di Kantor Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (9/6).

Lebih lanjut, Zabadi menambahkan bahwa selama ini harga BBM yang terjangkau menjadi hal yang langka dan masalah tersendiri bagi para nelayan. Sebab 60 persen biaya operasional nelayan dihabiskan untuk membeli BBM.

Dengan hadirnya Program Solusi Nelayan, mereka akan mendapatkan solusi dari sisi BBM melalui tersedianya SPBU Nelayan yang menyediakan solar bagi mereka.

“Selama ini mereka membeli solar itu sekitar Rp12 ribu. Padahal harga solar itu hanya Rp6.800 di SPBU. Maka kehadiran SPBU Nelayan melalui program Solusi Nelayan akan menjadi jawaban untuk mengatasi permasalahan mereka,” kata Zabadi.

Selain itu, nelayan juga dikatakan memiliki masalah dalam distribusi dan pemasaran hasil tangkapan mereka. Selama ini mereka dikatakan masih mengandalkan tengkulak yang merugikan nelayan karena pembayarannya yang harus menunggu sampai satu bulan dan harga jual yang diberikan rendah.

“Dengan kehadiran koperasi nelayan, selain untuk mengelola SPBU Nelayan, mereka juga nantinya dapat menjadi agregator bagi hasil tangkapan nelayan. Jadi inilah ekosistem yang akan hadir melalui Solusi Nelayan,” katanya.

Rencananya, SPBU Nelayan ini akan segera dibangun di Surabaya dengan bantuan pola kemitraan antara PT Pertamina (Persero) dengan Pemerintah Kota Surabaya.

Sebelumnya MenKopUKM Teten Masduki mengatakan bahwa SPBU Nelayan sangat penting untuk dibangun. Hal ini karena terdapat 11 ribu desa nelayan di Indonesia, namun baru ada 338 SPBU. MenKopUKM juga memastikan pemerintah akan memperbanyak SPBUN melalui program Solusi di Indonesia.

“Maka Pemerintah akan membangun secara bertahap SPBU mini supaya pasokan BBM dekat dengan desa nelayan,” ucap Menteri Teten.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menyatakan bahwa dirinya sangat mendukung program Solusi Nelayan. Bahkan dia meminta adanya percepatan pembangunan SPBU Nelayan ini.

“Solusi Nelayan ini meringankan beban nelayan untuk pergi ke laut. Nantinya koperasi akan memastikan nelayan mendapatkan BBM tepat sasaran. Tapi intinya bukan BBM, tapi pemberdayaan nelayan,” kata Eri.

Dia juga menyatakan akan menghibahkan lahan untuk pembangunan SPBU Nelayan. Bahkan, pihaknya akan memberikan bantuan sebesar Rp300 juta untuk pembangunannya.

“Saya akan tanda tangani bahwa lahan ini boleh dikelola untuk kebutuhan solar untuk nelayan selamanya. Saya yang akan memastikan ini. Suratnya akan saya tandatangani hari ini. Lalu PKBL Pertamina kan akan memberikan bantuan Rp200 juta, nanti Rp300 juta dari kami karena ini menjadi tugas pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan,” ucapnya.(Jef)

RUU Perkoperasian Telah Masuki Tahap Harmonisasi, Ditargetkan Rampung Tahun Ini

Jakarta:(Globalnews.id) – Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yang ditargetkan rampung tahun ini, saat ini telah sampai pada tahap harmonisasi dengan salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal isi RUU Perkoperasian melibatkan stakeholder terkait.

Sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mendapatkan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), agar RUU Perkoperasian dapat segera diselesaikan sehingga permasalahan yang menimpa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) beberapa waktu terakhir ini, tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

“Arahan Presiden yakni terkait perlunya membangun ekosistem kelembagaan koperasi yang lebih kuat, yang kemudian di dalam RUU ini kita rumuskan adanya Otoritas OPK (Otoritas Pengawas Koperasi), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) koperasi, APEX koperasi, komite penyehataan koperasi, hingga dalam rangka pelindungan ini juga kita terapkan sanksi pidana, yang perumusannya sesuai KUHP yang berlaku sekarang,” kata Deputi Ahmad Zabadi saat mengikuti Rapat Pleno Harmonisasi RUU Perkoperasian secara virtual melalui video conference, Jumat (28/04).

Zabadi menambahkan, dengan adanya RUU Perkoperasian maka dapat diciptakan ekosistem kelembagaan koperasi yang lebih baik. Ia meyakini dengan model kelambagaan yang baru niscaya koperasi dapat lebih berkembang kedepan serta siap menghadapi berbagai tantangan, peluang, dan perubahan di masa yang akan datang.

“Arah pengaturan RUU Perkoperasian ini ingin memberikan playing field setara dengan pelaku usaha lain, lebih dari itu koperasi juga diberi kesempatan berusaha di seluruh lapangan usaha dan juga diberikan pelindungan terhadap anggota, masyarakat, bahkan badan hukum koperasi sendiri,” ujar Ahmad Zabadi.

Ahmad Zabadi berharap RUU Perkoperasian dapat terselesaikan tepat waktu, sehingga pada triwulan 2 tahun 2023 dapat dilakukan pembahasan dengan Komisi VI DPR RI, dan dapat segera disahkan tahun ini.

Ia menambahkan sejak Juli 2022, pihaknya telah melakukan kegiatan serap aspirasi hingga Forum Group Discussion dengan melibatkan tidak kurang dari 5.000 orang.

“Sesuai dengan jadwal yang telah kami tentukan, kita sudah melakukan pembahasan antar kementerian (PAK) tidak kurang dari 10 kali pertemuan, yang ditandai dengan penyelesaian PAK, untuk diminta penyelerasan naskah akademik oleh BPHN Kementerian Hukum dan HAM, dan telah dinyatakan RUU koperasi selaras secara sistematika dan muatannya,” ucap Ahmad Zabadi.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Nana Mulyana mengatakan, Indonesia perlu melakukan reformasi perkoperasian dengan pembaruan regulasi untuk menyesuaikan anatomi kelembagaan koperasi agar lebih adaptif, dengan perkembangan zaman untuk mendukung pengembangan koperasi kedepan.

Dalam konteks ini RUU Perkoperasian diharapkan bisa melindungi anggota yang terlibat dan juga masyarakat luas dalam kehidupan sehari – hari.

“Melindungi anggota dan koperasi sebagai badan hukum. Perlu kita lihat bersama bagaimana citra KSP yang dalam beberapa waktu belakangan ini dikesankan seringkali merugikan masyarakat, dan ternyata kerap disalahgunakan oleh oknum tertentu yang menggunakan baju koperasi,” ujar Asep.

TIdak hanya itu dengan adanya RUU Perkoperasian, ke depan diharapkan tercipta level playing field yang lebih luas bagi koperasi, bahkan koperasi tidak sekadar terbonsai, melainkan menjadi kekuatan perekonomian suatu negara.

“Saya lihat di beberapa negara di Eropa seperti Swiss, koperasi bisa mendirikan bank besar dan ini patut kita contoh di Indonesia untuk dikembangkan dan dapat dilakukan oleh koperasi,” ucap Asep.(Jef)