Arsip Tag: Komisi I DPR Dukung RKUHP Tuntas

Komisi I DPR Nilai KUHP Baru Sejalan Tuntutan Perkembangan Zaman

JAKARTA:(GLOBALNEWS.ID)- Anggota Komisi I DPR Krisantus Kurniawan menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan merupakan upaya nyata bangsa Indonesia mengganti tatanan hukum positif agar sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman

“KUHP suatu negara merupakan ekspresi peradaban bagi negara yang bersangkutan. Penggantian tatanan hukum tersebut merupakan penggantian atau perubahan secara mendasar dan rasional,” tuturnya dalam Webinar bertema ‘Urgensi Pembaruan KUHP’, Kamis (8/12).

Menurut politisi asal pemilihan Kalimantan Barat tersebut, pembaruan Hukum Pidana merupakan upaya untuk mengganti tatanan Hukum Pidana Positif (Ius Constitutum) dengan tatanan hukum pidana yang dicita-citakan (Ius Constituendum). “Pada akhirnya pembaruan hukum pidana harus secara nyata diwujudkan melalui kebijakan/politik hukum pidana.”

Dia menegaskan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri, yaitu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana.

Tentu saja, lanjutnya, pembaharuan hukum pidana tersebut sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

“Maka pembaruan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach),” tuturnya.

Senada dengan Krisantus, Dr. Ismail Cawidu, akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan saat ini, dalam penegakan hukum pidana di Indonesia masih menggunakan KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht atau peninggalan Belanda tahun 1946).

“Hal ini berakibat pada banyaknya jenis perbuatan pidana yang belum diatur dalam KUHP saat ini. Sehingga KUHP lama sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini yang sangat dinamis akibat perubahan sosial, teknologi informasi namun masih melesatarikan adat ketimuran,” tuturnya.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut menilai KUHP baru disusun dengan mendasarkan pemikiran pada aliran Klasik, yang menjaga keseimbangan antara faktor objektif ( Faktor lahiriyah) dan faktor subjektif ( pendekatan Bathiniyah)

“KUHP baru ini tidak lagi membedakan antara tindak pidana kejahatan dan pelanggaran dan mengakomodir hukum-hukum yang masih hidup dan berlaku di tengah masyarakat. Ini jauh lebih maju dibandingkan KUHP lama dan masih berlaku saat ini,” paparnya.

Berbeda dengan dua pembicara, Dr. Algooth Putranto akademisi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta menegaskan tiga tahun depan menjadi ajang pertaruhan bangsa Indonesia antara pihak yang setuju maupun yang tidak setuju dengan KUHP baru.

“Sejak disahkan DPR pada 6 Desember, pertarungan dialektika tentang KUHP baru sudah bukan lagi di jalanan atau di ruang akademis. Pertarungan sudah bergeser ke Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini para penentang harus mempersiapkan diri dengan baik dan Pemerintah harus berbesar hati dengan perdebatan ini,” tuturnya.

Pengajar Ilmu Komunikasi yang menekuni pertarungan dialektika Ruang Publik tersebut menegaskan Pemerintah harusnya mengurangi upaya menguasai ruang public (public sphere) secara tidak sehat dengan menggunakan buzzer seperti halnya ketika menghadapi aksi demonstrasi para penentang KUHP di tahun 2019.

“Biarkan masyarakat berdialektika, upaya mendistorsi dialektika akan membuat masyarakat sipil semakin tidak percaya dengan upaya pemerintah. Biarlah masyarakat berdebat secara sehat. Justru di situ letak indahnya proses demokrasi,” pungkasnya.(Jef)

Komisi I DPR Nilai KUHP Baru Berorientasi Pada Kebijakan

JAKARTA:(GLOBALNEWS.ID) Anggota Komisi I DPR Krisantus Kurniawan menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan adalah sebagai bagian dari kebijakan sosial dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

Dia melihat pembaruan KUHP jika dikaitkan dengan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, maka ekspresi agama tidak luput dari kehidupan sosial setiap individu umat beragama. Sehingga keharmonisan antar umat beragama merupakan bagian dari kebijakan sosial

“Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat. Dalam hal ini adalah upaya perlindungan terhadap umat beragama, sehingga dalam mengekspresikan agama, setiap umat beragama merasa aman dan hidmat tanpa adanya gangguan berupa kejahatan-kejahatan yang akan mengancam berlangsungnya kegiatan beragama,” tuturnya dalam Webinar bertema Dukung KUHP Buatan Indonesia, Jumat (9/12).

Menurut politisi asal pemilihan Kalimantan Barat tersebut sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, lanjutnya pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

“Kebijakan atau politik hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana. Pertama, usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi yang ada pada suatu saat,” tuturnya.

Kedua, lanjutnya, kebijakan dari negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Ditinjau dari sudut politik hukum ini, maka melaksanakan kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan hukum pidana yang memenuhi syarat keadilan, daya guna sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.

Senada dengan itu Dr. Geofakta Razali, dosen komunikasi Universitas Bunda Mulia dan Founder Mindtalheatlh Training menuturkan ramainya informasi keliru tentang KUHP baru tidak lepas dari kondisi masyarakat dan teknologi yang berada pada era post-modern.

“Saat ini, media sosial merupakan era post-modern dimana seluruh hal dipertanyakan dan diungkapkan secara bebas terus menerus. Maka menjadi tantangan dari pemerintah untuk memberikan informasi yang benar dan tulus,” tuturnya.

Pendapat Geo didukung Prof. Henri Subiakto, Guru Besar FISIP, Universitas Airlangga yang menuturkan maraknya disinformasi KUHP baru disebabkan fenomena mass self communication akibat kemudahan sosial media.

Menurut Staf Ahli Menkominfo RI tersebut berita tentang isi KUHP sering tidak lengkap sehingga munculkan disinformasi. “Ini disebarkan oleh pihak yang berkeberatan dengan KUHP baru dan lalu ditulis oleh media tanpa kemauan untuk mempelajari dan memahami pasal-pasal tersebut.”

Prof. Henri Subiakto mendapati disinformasi tak hanya pada terjadi pada KUHP baru tetapi juga terhadap UU Cipta Kerja dan UU ITE dan dalam hal ini hampir semua isu kontroversial selalu ada yang memanfaatkan untuk unjuk rasa.

“Harus diakui ini adalah persoalan Komunikasi Negara dan problem utamanya adalah ketidak jelasan argumentasi Pemerintah dan Negara. Ini kekalahan Komunikasi. Sehingga harus disadari oleh seluruh unsur pemerintah untuk memberikan informasi yang benar tentang KUHP yang mulai berlaku tiga tahun mendatang,” pungkasnya.(Jef)

Komisi I DPR Dukung RKUHP Segera Tuntas

JAKARTA:(GLOBALNEWS.ID)-Komisi I DPR mendukung penuntasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh Pemerintah dan DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada Desember 2022 sehingga dapat segera diterapkan.

Menurut anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Krisantus Kurniawan penuntasan RKUHP menjadi UU dalam Paripurna pada Desember 2022 menjadi penting bagi bangsa Indonesia yang selama ini masih menggunakan produk hukum berasal dari masa kolonial.

“Karena pertahanan membutuhkan acuan hukum yang tegas dan tidak membuat keraguan aparat negara dalam bertindak. Demikian pula arus informasi, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh di dalam masyarakat yang demokratis dan sangat terbuka,” tuturnya dalam diskusi daring akhir pekan lalu.

Dalam Webinar Ngobrol Bareng Legislator (NGOBRAS) bertajuk ‘Antihoaks RKUHP’ selain Krisantus Kurniawan hadir Dr. Hasyim Gautama, Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik, Ditjen IKP Kementerian Kominfo dan Dr. Kurnia Setiawan, Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Tarumanagara (Untar).

Legislator dari daerah pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat I tersebut menampik tudingan bahwa RHUKP mendorong negara semakin otoritarian dan represif justru sebaliknya RKUHP adalah produk hukum yang perlu disesuaikan dengan perubahan masyarakat, perkembangan zaman dan kebutuhan hukum modern.

“Nah, KUHP peninggalan Belanda yang berlaku saat ini memiliki kecenderungan menghukum, tidak memiliki alternatif sanksi pidana serta belum memuat tujuan dan pedoman pemindanaan. Jadi justru RKUHP yang diributkan sekarang ini justru produk hukum modern,” tuturnya.

Senada dengan Krisantus, Dr. Hasyim Gautama memaparkan tudingan tanpa dasar tentang RKUHP marak beredar di media sosial (medsos) dan bukan tidak mungkin karena keengganan melakukan konfirmasi dianggap sebagai kebenaran.
“Kominfo sebagai Kementerian yang memantau arus informasi di media massa maupun internet menemukan salah satu hoaks tentang RKUHP adalah soal hukuman mati, ini informasi yang beredar di medsos dan cukup masif,” tuturnya menjawab pertanyaan salah satu peserta.

Menurut Dr. Hasyim Gautama terdapat dua faktor utama pemicu hoaks yakni faktor kepentingan dan faktor ekonomi. Untuk meminimalisir terperdaya oleh hoaks dibutuhkan kemampuan literasi yang baik dalam mengkonsumsi informasi.

Menurut Dr. Kurnia Setiawan membagikan sejumlah langkah mudah menangkap hoaks a.l Cermati alamat situs, jangan cuma membaca judul, memeriksa fakta, lakukan cek foto atau video dan ikut grup diskusi anti hoax.

Mantan aktivis 1998 ini menjelaskan beberapa ciri penyebaran hoaks a.l Menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan atau pemujaan, sumber tidak jelas, tidak ada yang bisa dimintai klarifikasi atau tanggung jawab, pesannya sepihak baik menyerang atau bahkan membela saja, mencatut nama tokoh berpengaruh.

“Jika media berita, medianya pakai nama mirip media terkenal. Kemudian memanfaatkan fanatisme, atas nama ideologi atau agama, judul tidak cocok dengan isi, tampilan bersifat provokatif dan yang paling jelas adalah minta supaya dishare atau diviralkan,” pungkasnya.(Jef)