Irwan Tanamal, 52, Presiden Direktur PT Mahkota Inti Persada, berbagi kisah berbisnis daur ulang dari sampah.
Perusahaan tempatnya bekerja me-recycle sampah untuk dijual ke pabrik yang memproduksi tutup botol atau screw cap dan tutup botol air galon (gallon cap).
“Dulunya, saya fikir untuk bahan preform, kalau pakai produk daur ulang (recycled) bisa lebih murah. Tapi ternyata tidak juga, sampah itu lebih mahal,” ujar Irwan.
Preform adalah bahan setengah jadi untuk botol plastik dan galon jenis polyethylene terephthalate (PET).
“Dulunya, kalau beli botol yang diisi air atau batu sama pemulung supaya berat timbanganya,” kata direktur utama PT Mahkota Inti Persada, yang mendaur ulang 1.200 ton botol plastik tiap bulannya untuk diolah menjadi preform yang siap dicetak menjadi botol plastik siap pakai sebanyak 100 juta botol.
Irwan Tanamal mengatakan PT Mahkota Inti Persada mendaur ulang sampah untuk dijual ke produsen botol AMDK yang menggunakan bahan recycled PET di Asia Tenggara. Namasindo Plas
Cash Setiap Hari
Memang unik bisnis daur ulang botol kemasan plastik, karena selain harus berinvestasi di mesin pabrik, PT Mahkota Inti Persada harus memastikan tersedianya sampah botol plastik dalam volume dalam jumlah yang cukup untuk didaur ulang.
Mata rantai produksi PT Mahkota Inti Persada didukung oleh jaringan pemulung yang berjumlah hingga 20,000 orang. Mereka tersebar di Bali, Lombok, Bekasi, Tangerang Selatan dan Bandung.
“Ini pemulung kecil yang tiap hari berkontribusi sampai 5-6 kilogram sampah botol plastik untuk kita. Pemulung ini. Mereka memperoleh pendapatan sekitar Rp 25,000 per hari. Sekilonya sekitar Rp 4.000-Rp 5.000,” ujarnya.
Irwan Tanamal menjelaskan PT Mahkota Inti Persada harus memastikan memberi dana cash melalui jaringan pengepul besar sehingga pemulung bisa pendapatan rutin setiap hari dari sampah plastik yang dikumpulkannya.
“Itu harus keluar cash terus setiap hari. Tidak ada yang namanya utang. Masalahnya kalau kita tidak ambil 1 atau 2 hari saja, pengepul bisa setor ke tempat yang lain, termasuk pabrik tekstil yang memerlukan bahan recycled PET,” ujarnya.
Ia menambahkan jika harga minyak bumi turun, harga virgin material (pelet plastik terbuat dari minyak bumi) jadi lebih murah.
“Dapatnya pun mudah, banyak produsen dari Cina, kita sebenarnya rugi,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa pembuatan botol plastik sejatinya bisa menggunakan virgin material, selain dari bahan daur ulang.
Minim Regulasi Pendukung
Irvan Tanamal mencontohkan dinegara maju seperti Australia, Amerika atau di kawasan Eropa, pemerintah turun tangan untuk memastikan produsen menggunakan lebih banyak bahan plastik daur ulang.
Australia misalnya, telah merilis beberapa peraturan yang mewajibkan penggunaan kemasan daur ulang.
Bahkan, tahun 2025 negeri Kanguru ini menargetkan untuk mewajibkan produsen untuk menggunakan 100 persen kemasan yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali.
“Harus ada regulasi tentang pengelolaan sampah untuk mengurangi limbah plastik. Kita tidak punya satupun peraturan yang mewajibkan penggunaan kemasan daur ulang. Peraturan semacam ini dibuat bukan untuk penghematan. Memang sejatinya barang recycled itu lebih mahal, itulah image yang harusnya dibangun dan itulah konsep sejati dari go-green,” kata Irwan Tanamal.
Dirut PT Mahkota Inti Persada tersebut menjelaskan khusus untuk industri AMDK, ada banyak hal yang penting diperhatikan, diantaranya karena produknya masuk dalam kategori food grade, atau standar konsumsi, maka botol yang bisa didaur ulang harus dipastikan bebas bahan berbahaya.
“Cara memilah, mencuci, dan mendaur ulangnya pun berbeda. Ada manajemen khusus untuk hal ini. Tapi terlepas dari hal itu semua, yang mahal dalam bisnis ini bukanlah persoalan membeli mesinnya, tapi bagaimana kita bisa membangun network untuk mendapatkan sampahnya,” kata Irwan Tanamal. (Jef)