Arsip Tag: Pokja Susun RUU Perkoperasian

RUU Perkoperasian Telah Masuki Tahap Harmonisasi, Ditargetkan Rampung Tahun Ini

Jakarta:(Globalnews.id) – Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yang ditargetkan rampung tahun ini, saat ini telah sampai pada tahap harmonisasi dengan salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal isi RUU Perkoperasian melibatkan stakeholder terkait.

Sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mendapatkan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), agar RUU Perkoperasian dapat segera diselesaikan sehingga permasalahan yang menimpa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) beberapa waktu terakhir ini, tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

“Arahan Presiden yakni terkait perlunya membangun ekosistem kelembagaan koperasi yang lebih kuat, yang kemudian di dalam RUU ini kita rumuskan adanya Otoritas OPK (Otoritas Pengawas Koperasi), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) koperasi, APEX koperasi, komite penyehataan koperasi, hingga dalam rangka pelindungan ini juga kita terapkan sanksi pidana, yang perumusannya sesuai KUHP yang berlaku sekarang,” kata Deputi Ahmad Zabadi saat mengikuti Rapat Pleno Harmonisasi RUU Perkoperasian secara virtual melalui video conference, Jumat (28/04).

Zabadi menambahkan, dengan adanya RUU Perkoperasian maka dapat diciptakan ekosistem kelembagaan koperasi yang lebih baik. Ia meyakini dengan model kelambagaan yang baru niscaya koperasi dapat lebih berkembang kedepan serta siap menghadapi berbagai tantangan, peluang, dan perubahan di masa yang akan datang.

“Arah pengaturan RUU Perkoperasian ini ingin memberikan playing field setara dengan pelaku usaha lain, lebih dari itu koperasi juga diberi kesempatan berusaha di seluruh lapangan usaha dan juga diberikan pelindungan terhadap anggota, masyarakat, bahkan badan hukum koperasi sendiri,” ujar Ahmad Zabadi.

Ahmad Zabadi berharap RUU Perkoperasian dapat terselesaikan tepat waktu, sehingga pada triwulan 2 tahun 2023 dapat dilakukan pembahasan dengan Komisi VI DPR RI, dan dapat segera disahkan tahun ini.

Ia menambahkan sejak Juli 2022, pihaknya telah melakukan kegiatan serap aspirasi hingga Forum Group Discussion dengan melibatkan tidak kurang dari 5.000 orang.

“Sesuai dengan jadwal yang telah kami tentukan, kita sudah melakukan pembahasan antar kementerian (PAK) tidak kurang dari 10 kali pertemuan, yang ditandai dengan penyelesaian PAK, untuk diminta penyelerasan naskah akademik oleh BPHN Kementerian Hukum dan HAM, dan telah dinyatakan RUU koperasi selaras secara sistematika dan muatannya,” ucap Ahmad Zabadi.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Nana Mulyana mengatakan, Indonesia perlu melakukan reformasi perkoperasian dengan pembaruan regulasi untuk menyesuaikan anatomi kelembagaan koperasi agar lebih adaptif, dengan perkembangan zaman untuk mendukung pengembangan koperasi kedepan.

Dalam konteks ini RUU Perkoperasian diharapkan bisa melindungi anggota yang terlibat dan juga masyarakat luas dalam kehidupan sehari – hari.

“Melindungi anggota dan koperasi sebagai badan hukum. Perlu kita lihat bersama bagaimana citra KSP yang dalam beberapa waktu belakangan ini dikesankan seringkali merugikan masyarakat, dan ternyata kerap disalahgunakan oleh oknum tertentu yang menggunakan baju koperasi,” ujar Asep.

TIdak hanya itu dengan adanya RUU Perkoperasian, ke depan diharapkan tercipta level playing field yang lebih luas bagi koperasi, bahkan koperasi tidak sekadar terbonsai, melainkan menjadi kekuatan perekonomian suatu negara.

“Saya lihat di beberapa negara di Eropa seperti Swiss, koperasi bisa mendirikan bank besar dan ini patut kita contoh di Indonesia untuk dikembangkan dan dapat dilakukan oleh koperasi,” ucap Asep.(Jef)

KemenKopUKM Ajak Guru Besar UNS Diskusikan Draf RUU Perkoperasian

Surakarta:(Globalnews.id) – Sebagai upaya menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama para guru besar bidang hukum dan ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) di Surakarta, beberapa waktu yang lalu.

FGD RUU Perkoperasian tersebut dibuka oleh Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi bersama Dekan Fakultas Hukum UNS Profesor I Gusti Ayu Ketut Rachmi, dan dihadiri oleh para guru besar hukum dan ekonomi, dosen UNS, Pemerintah Daerah, serta para pengurus koperasi.

Ahmad Zabadi mengungkapkan, KemenKopUKM membutuhkan masukan dari berbagai pihak, baik para pelaku koperasi maupun akademisi dan para ahli yang berkompeten untuk memberikan pandangannya terkait draf RUU Perkoperasian yang sedang dalam proses penyusunan.

“Dalam rangka reformasi perkoperasian perlu dilakukan sosialisasi RUU Perkoperasian karena perubahan zaman memberi tantangan strategis yang berbeda bagi koperasi dan bagi seluruh pelaku usaha menjadi semakin kompleks, canggih, cepat, dan mudah,” kata Zabadi.

Zabadi menekankan, reformasi perkoperasian menjadi bentuk perubahan struktural yang dilakukan melalui pembaharuan atau perubahan regulasi (reforma regulasi) untuk menyesuaikan anatomi kelembagaan dan usaha koperasi agar lebih adaptif dengan perubahan zaman, serta perkembangan ekosistem perkoperasian yang mendukung tumbuh kembangnya koperasi.

“Selain itu, perkembangan aneka teknologi merupakan keniscayaan dan harus direspons sebagai peluang bagi koperasi menjadi wahana untuk tumbuh dan berkembang,” katanya.

Guru Besar Ekonomi UNS Profesor Izza Mafruhah yang sekaligus menjadi pemateri dalam FGD RUU Perkoperasian menyatakan draf RUU Perkoperasian telah mengatur hal-hal yang diperlukan untuk tumbuh kembangnya koperasi, seperti sistem pengawasan, tata kelola koperasi, pengelolaan aset, kewajiban, dan permodalan koperasi.

“Draf RUU ini telah menutupi aneka celah kelemahan dari UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Diperlukan pula pengaturan yang berkaitan dengan pemberdayaan, peningkatan partisipasi anggota, dan mempertahankan sifat kerakyatan dari koperasi,” kata Izza.

Pada kesempatan yang sama, guru besar hukum perdata Profesor Pujiono menyoroti definisi koperasi dan menguraikan unsur-unsurnya. Pujiono menyatakan telah ada perbaikan dan tambahan unsur dalam definisi koperasi dibandingkan Undang-Undang terdahulu, terutama unsur asosiat orang dan perusahaan.

“Dari sisi politik hukum, draf RUU Perkoperasian menggambarkan kemajuan pengaturan, baik dalam aspek konsideran, asas, definisi, norma pengaturan dan penjelasannya. Perlu ditekankan bahwa koperasi adalah kegiatan ekonomi, yang berwatak sosial dan bernapaskan kebudayaan, sehingga perlu dikaji kesejajaran kata ekonomi, sosial, dan budaya dalam definisi koperasi,” kata Pujiono

Guru besar hukum pidana Profesor Sentot Sudarwanto juga mengapresiasi draf RUU Perkoperasian, sekaligus menyarankan perlunya pengaturan sanksi administratif dan pidana bagi koperasi yang memiliki izin, tetapi melanggar prinsip koperasi.

“Perlu adanya pengaturan mengenai ganti rugi bagi korban usaha simpan pinjam koperasi, karena itu yang lebih diperlukan oleh para korban. Sanksi pidana bersifat ultimum remedium,” ujar Sentot.

Di sisi lain, guru besar hukum administrasi negara Profesor I Gusti Ayu Ketut Rachmi menyatakan perlunya partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang agar tidak mudah di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

“Upaya KemenKopUKM untuk melibatkan pemangku kepentingan termasuk akademisi di kampus UNS adalah bentuk meaningful participation penyusunan RUU Perkoperasian. Fakultas Hukum UNS siap menjadi mitra KemenKopUKM dalam penyusunan RUU Perkoperasian dan mendukung proses sosialisasinya,” katanya.(Jef)

Perkuat Draf RUU Perkoperasian, KemenkopUKM Cari Masukan ke Praktisi dan Akademisi Makassar

Makassar:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menampung aspirasi dan masukan dari berbagai kalangan masyarakat termasuk praktisi koperasi untuk menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

Berbagai aspirasi dan masukan tersebut diantaranya terkait terminologi koperasi, permodalan, badan hukum, hingga pengawasan koperasi.

Mengenai pengawasan koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Ketua Koperasi Produsen Kopmamindo Sulsel, Taslimin Andi, sepakat bila pengawasan koperasi diserahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Semua lembaga pembiayaan diawasi OJK, kenapa koperasi tidak,” ucap Taslimin, pada acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (18/11).

Sebab, kata Taslimin, tak sedikit orang yang tidak percaya dengan pengawasan koperasi yang dilakukan sendiri atau dinas terkait di daerah. “Tidak bisa tidak, pengawasan koperasi harus dilakukan OJK. Saya tidak percaya pengawasan dilakukan dinas koperasi,” kata Taslimin.

Bagi Taslimin, apapun usahanya jika tanpa pengawasan ketat, maka akan sulit untuk maju dan berkembang. “Kalau perlu KPK turun tangan, karena banyak juga koperasi yang menikmati dana negara, termasuk misalnya melalui lembaga pembiayaan yang memberikan bantuan,” ucap Taslimin.

Selain pengawasan oleh OJK, Taslimin juga berharap UU Perkoperasian mengakomodir keberadaan lembaga penjamin simpanan koperasi.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Negeri Makassar (UNM) Dr Herman juga sepakat bahwa untuk meningkatkan kredibilitas KSP, pengawasan harus dilakukan OJK. “Karena, kalau mengelola keuangan maka harus diawasi ketat,” kata Herman.

Selain pengawasan, Herman juga menunjuk pentingnya kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi sebagai bagian dari skema pengawasan ketat. “Itu semua harus ada agar kredibilitas koperasi sama dengan korporasi,” kata Herman.

Herman berharap, jangan sampai UU Perkoperasian yang baru jauh panggang dari api, atau tidak mengakomodir fakta-fakta yang terjadi di tengah masyarakat. Diantaranya, masalah pajak, keanggotaan, kelembagaan, dan sebagainya.

Herman juga menekankan, agar jangan sampai UU Perkoperasian tidak bisa menyelesaikan beragam masalah yang ada. “Ini terkait terminologi yang harus diperjelas dan dipertegas lagi dalam RUU yang ada di Pasal 1,” ucap Herman.

Selain itu, kata Herman, perlu ketegasan hukum dari koperasi dalam kedudukan hukum di samping yang lainnya, yakni BUMN, korporasi, dan lainnya.

“Yang membedakan koperasi dengan PT hanya permodalan. Jika modal PT dari persero dengan keuntungan untuk pemegang saham, sedangkan modal koperasi dari anggota dengan keuntungan untuk anggota,” kata Herman.

Herman belum melihat kedudukan hukum koperasi yang jelas. Sehingga, masih perlu diatur sedemikian rupa dengan menegaskan pada jati diri koperasi.

Generasi milenial berkoperasi juga menjadi sorotan Herman. Bagi Herman, saat ini, masih sedikit anak-anak muda yang antusias berkoperasi. “UU harus mengakomodir keterlibatan generasi muda dalam koperasi. Ini kesempatan bagi kita untuk membuat instrumen dalam UU agar menarik anak muda berkoperasi,” kata Herman.

Sementara itu, Ketua Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Ahmad Daniel sepakat UU Perkoperasian direvisi, dimana ada pasal yang ditambah, ada juga pasal yang dihapus.

“Status Gerakan Koperasi di bawah yang perlu diperbaiki. Contoh, masyarakat kurang percaya KSP karena tidak ada lembaga penjamin simpanan anggota,” kata Daniel.

Hal lainnya, kata Daniel, jangka waktu kepengurusan tidak perlu dibatasi. “Sepanjang pengurus koperasi bagus berprestasi membuat koperasi berkinerja baik, tidak perlu diganti. Jangan sampai setelah diganti malah hancur. Banyak yang seperti itu,” kata Daniel.

Di mata Daniel, prinsip-prinsip koperasi yang sudah ada dalam UU yang lama, harus tetap dipertahankan alias jangan diubah. “Logo koperasi juga jangan diubah, karena itu mengandung sejarah perjuangan koperasi,” ucap Daniel. (Jef)

SesKemenKopUKM Tekankan Pentingnya Lembaga Penjamin Simpanan, Pengawasan, Kepailitan, dan Sanksi Pidana Dalam UU Perkoperasian

Medan:(Globalnews id) – Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM (SesKemenKopUKM) Arif Rahman Hakim menekankan beberapa hal yang menjadi perhatian untuk dapat diatur dalam RUU Perkoperasian yang baru. Diantaranya, pembentukan Lembaga Pengawas Independen untuk memperkuat pengawasan.

“Hal lainnya adalah menyangkut pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi, pengaturan tentang kepailitan, dan pengaturan sanksi pidana,” jelas SesKemenKopUKM secara daring, pada acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (26/10).

Oleh karena itu, Arif menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian harus segera diubah. Karena, sudah tidak dapat mengakomodir cepatnya perkembangan serta dinamika di bidang perkoperasian khususnya dan di bidang ekonomi serta sosial umumnya.

“Segala permasalahan di bidang perkoperasian harus diselesaikan. Salah satunya adalah melalui perubahan atas UU Nomor 25 Tahun 1992 yang dianggap sudah tidak dapat mengakomodir dan mengatasi permasalahan-permasalahan perkoperasian dewasa ini,” ucap SesKemenKopUKM.

Diharapkan, dengan penyusunan RUU Perkoperasian dapat mengakomodir perkembangan dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan Perkoperasian ke depan.

“Juga, dapat menjadi solusi jangka panjang, khususnya terkait Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang bermasalah saat ini dan sedang dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),” kata Arif.

Untuk itu, lanjut Arif, pihaknya terus menginventarisir, menggali masukan, serta aspirasi dari para pembina koperasi, gerakan koperasi, serta akademisi untuk memperkaya substansi Naskah Akademis serta pengaturan dalam draft RUU Perkoperasian yang sedang disusun Kelompok Kerja.

SesKemenKopUKM berharap para pelaku Gerakan Koperasi dapat menyampaikan masukan maupun aspirasinya secara detail untuk pengaturan di bidang perkoperasian ke depan.

“Sehingga, hal-hal tersebut dapat melengkapi, memperkaya, ataupun memperbaiki draft Naskah Akademis dan RUU Perkoperasian yang sedang disusun,” ucap Arif.

Arif pun mengajak semua pihak berkontribusi aktif dalam penyusunan RUU Perkoperasian sampai nanti dapat disahkan menjadi UU Perkoperasian yang baru. “Tujuannya, untuk dapat menciptakan iklim serta kondisi perkoperasian ideal yang sesuai dengan prinsip dan jati diri koperasi,” kata SesKemenKopUKM.

Ekosistem Koperasi

Dalam kesempatan yang sama, anggota Tim RUU Perkoperasian Agung Nur Fajar mengungkapkan, menyusun RUU adalah membangun semangat masyarakat berkoperasi. Jargon-jargon seperti membangun koperasi maju, kuat, tangguh, dan mandiri harus dituangkan operasionalnya ke dalam UU.

“Inti dari bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya dalam lagu Indonesia Raya, bagi gerakan Koperasii adalah membangun semangat masyarakat Indonesia berkoperasi, dan membangun ekosistem perkoperasian.. Jadi, kalau kita mau membangun koperasi, yang harus kita bangun dan kembangkan adalah ekosistemnya,” kata Agung.

Agung mencontohkan, akan sulit membangun KSP jika tidak ada lembaga penjamin simpanannya. “Kalau koperasi memiliki LPS, maka kredibilitasnya akan sama dengan bank,” ucap Agung.

Agung mengakui, saat ini, ekosistem koperasi masih lemah. Selain tidak ada LPS, juga belum memiliki otoritas pengawasannya. “Ini yang akan kita siapkan dalam UU yang baru,” ujar Agung.

Menurut Agung, ke depan, pengawas koperasi akan menjadi profesi yang menarik, meski nanti sebagian pengawasan koperasi (KSP) akan dialihkan ke OJK sesuai UU Pengembangan dan Perkuatan Sistem Keuangan (PPSK). “Pengawasan koperasi akan sama dengan standarnya OJK,” kata Agung.

Lebih dari itu, di perbankan, ada yang namanya Komite Stabilitas Sektor Keuangan. Dimana bila ada bank bermasalah, tidak langsung ditutup. Bahkan, jika sistemik, maka akan dibail-out LPS. Sedangkan di koperasi, begitu mudah ditutup bila bermasalah.

“Kita akan bikin Komite Penyehatan Koperasi. Jadi, kalau ada koperasi bermasalah, tidak serta merta ditutup. Ini namanya membangun eksosistem koperasi,” ucap Agung.

Di samping itu, lanjut Agung, dalam UU yang baru juga akan membangun yang namanya Koperasi Multi Pihak. Tujuannya, agar bisa menampung anak muda membangun bisnis sesuai kebutuhan para mileneal. “Kita juga akan menerapkan teknologi digital, agar koperasi tidak terkesan jadul,” ucap Agung.

Anggota tim kerja RUU, Alfian Muslim, menambahkan bahwa ke depan akan lebih dikembangkan koperasi di sektor riil. Misalnya, minyak makan merah dan bawang merah, akan dikembangkan melalui koperasi agar para petani mendapat nilai tambah dari produk yang dihasilkannya.

“Kita juga ingin koperasi digemari kaum milenial atau generasi Z dan UU Perkoperasian bisa menampung keinginan para anak muda. Nantinya, koperasi harus melakukan regenerasi untuk generasi berikutnya,” kata Alfian.(Jef)

Beragam Masukan Pelaku Koperasi untuk Perkuat UU Perkoperasian

Surabaya:(Globalnews.id) – Untuk menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman sekarang ini, para pelaku koperasi banyak menyampaikan masukan dan aspirasi.

Sekretaris Koperasi Bukop (Badan Usaha Koperasi) Majapahit (Malang, Jatim) H Sutjipto, misalnya, menegaskan bila ingin koperasi maju sesuai dengan pilar-pilar ekonomi kerakyatan, hendaknya ranah persaingan dengan lembaga keuangan bermodal besar (bank) harus dibedakan.

“Bayangkan, koperasi modalnya dari anggota, tidak mungkin bisa bersaing dengan lembaga keuangan besar,” kata Sutjipto di sela-sela acara Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Draf RUU Perkoperasian di Surabaya, Jawa Timur, beberapa hari yang lalu.

Dengan kondisi seperti itu, kata Sutjipto, kualitas pelayanan koperasi pun cenderung kalah bersaing. Bahkan, pasar koperasi juga sudah banyak yang dimasuki dan digerogoti usaha modal besar. “Pemodal besar bisa menyalurkan kredit dengan bunga rendah. Itu yang kita rasakan,” kata Sutjipto, yang sudah menggeluti dunia koperasi selama 42 tahun.

Selain itu, Sutjipto juga mengkritisi penjenisan sektor usaha dalam badan hukum yang dilakukan koperasi, seperti koperasi jasa, konsumen, produksi, serta simpan-pinjam. “Ini mengganggu pengembangan koperasi. Padahal, kita bisa memenuhi segala kebutuhan anggota. Jadi, unit usaha kita jangan dibatasi,” kata Sutjipto.

Sutjipto mencontohkan koperasinya yang sudah berdiri sejak 1954 yang bergerak di unit serba usaha dengan anggota 34 Pusat Koperasi Pengawai Negeri Republik Indonesia (PKPRI) di seluruh Jatim, memiliki unit usaha simpan-pinjam, kavling tanah, dan kost-kostan putri, serta unit usaha lainnya.

“Kebutuhan anggota itu banyak. Tak hanya kredit, tapi juga lainnya seperti sandang, pangan, hingga papan. Unit usaha koperasi jangan dikavling-kavling. Kita harus sama-sama bisa hidup di Indonesia,” kata Sutjipto.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Puskud Jatim H Abdul Muhaimin. Menurut dia, masih banyak koperasi, terutama yang kecil-kecil, perlu mendapat perlindungan dan pembinaan dalam sisi payung UU. “Kita disuruh bertarung di pentas kapitalis, ya tidak mungkin,” ucap Muhaimin.

Masalah aset KUD juga mendapat sorotan Muhaimin. Dimana selama ini aset KUD di banyak wilayah menjadi ajang rebutan banyak pihak. “Sudah banyak yang masuk ranah pengadilan. Tapi, sampai sekarang, belum ada penyelesaian,” kata Muhaimin.

Dalam kesempatan yang sama, M Rifan dari Kopontren Sidogiri, mengatakan usaha ritel yang dimiliki koperasinya mengalami beberapa kendala dalam pengembangannya, terutama dalam hal perizinan usaha. “Kami tidak bisa mendirikan usaha ritel di tempat-tempat strategis, seperti rest area jalan tol,” kata Rifan.

Perkembangan Usaha

Sementara itu, Ketua KSPPS BMT Nusa Umat Sumenep Jatim H Masyudi Kahzillas berharap UU yang baru mampu mengakomodir perkembangan usaha tanpa kehilangan jati diri koperasi. Sehingga, ke depan, usaha koperasi bisa bersaing.

Masyudi juga berharap, jenis usaha koperasi tidak dikavling-kavling seperti sekarang ini. “Biarkan anggota koperasi yang memutuskan usaha apa yang akan dijalankan koperasi,” kata Masyudi, yang memiliki anggota sebanyak 325 ribu orang di 97 cabang di Jatim.

Dengan demikian, kata Nasyudi, akan jauh lebih fleksibel bagi koperasi untuk menjalankan usaha sesuai potensi yang dimilikinya.

Masyudi juga sepakat bahwa pengawasan koperasi harus diperkuat. “Tapi, yang harus dipahami adalah pengaturan likuiditas, jasa pinjaman, dan lain-lain, itu menjadi wewenang penuh anggota,” ujar Masyudi.

Selain itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi juga harus segera dibentuk. “Karena, simpanan anggota harus kita jaga bersama. Kita tahu, kekuatan koperasi itu ada di anggota,” kata Masyudi. (Jef)

Perkuat Substansi Draf RUU Perkoperasian, KemenKopUKM Terus Menjaring Masukan

Surabaya:(Globalnews.id)- UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dianggap sudah tidak mampu lagi menjadi solusi bagi beragam persoalan faktual yang sedang terjadi di dunia perkoperasian di Indonesia sehingga diperlukan UU Perkoperasian yang baru yang diharapkan dapat mengakomodir dan menjadi solusi jangka panjang bagi perkembangan koperasi di tanah air.

“Oleh karena itu, kami terus menginventarisir dan menjaring masukan dari seluruh stakeholder untuk memperkaya substansi RUU Perkoperasian dalam draf yang sedang disusun bersama ini,” kata Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM Henra Saragih, mewakili Sekretaris KemenKopUKM, saat membuka acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (23/9).

Di acara yang dihadiri para Kepala Dinas Koperasi dan UKM se-Jawa Timur (provinsi, kabupaten, dan kota), pelaku koperasi, serta anggota gerakan koperasi itu, Henra menekankan pentingnya penguatan ekosistem perkoperasian.

“Di dalamnya mencakup pembentukan Lembaga Pengawas Independen untuk memperkuat pengawasan, khususnya bagi sektor simpan pinjam koperasi, agar lebih prudent dan terpercaya,” kata Henra.

Begitu juga dengan pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi yang disebutnya mutlak dibutuhkan untuk memperkuat ekosistem perkoperasian saat ini. Kemudian, pengaturan tentang kepailitan, dimana kepailitan suatu koperasi hanya dapat ditetapkan oleh pejabat berwenang.

Tak ketinggalan adalah pengaturan sanksi pidana yang dibutuhkan untuk melindungi badan hukum, anggota, dan masyarakat luas dari penyalahgunaan dan/atau penyelewengan praktik berkoperasi.

“Banyak hal dari segala permasalahan koperasi tersebut yang tidak tercover dalam UU Perkoperasian yang lama,” kata Henra.

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI M Sarmuji menekankan semangat berkoperasi saat ini harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. “UU yang sekarang ada, termasuk UU 17/2012 yang sudah dibatalkan MK, sudah tidak sesuai lagi,” kata Sarmuji.

Oleh karena itu, menurut Sarmuji, ada kesempatan untuk menyusun UU Perkoperasian yang paling bisa merespons fakta-fakta yang terjadi sekarang. “Secara faktual, ada koperasi yang dikelola dengan baik dan maju. Misalnya Kopontren Sidogiri,” ucap Sarmuji.

Namun, di sisi lain, tidak sedikit juga koperasi dipakai untuk modus kejahatan tertentu. “Ada 8 koperasi bermasalah dengan masalah sangat besar dan nilai kerugian fantastis yang dalam sidang PKPU disebutkan sebesar Rp26,1 triliun,” kata Sarmuji.

Dari masalah besar itu, Sarmuji mengajak seluruh stakeholder koperasi untuk menarik sebuah pelajaran berharga. Pertama, adanya aset atas nama entitas lain, badan hukum, dan perorangan yang terafiliasi ke koperasi.

Kedua, asset base resolution yang dijadikan dasar hukum global pembayaran, belum sesuai harapan. “Dikarenakan, nilai aset tidak sebanding dengan kewajiban yang harus dibayar koperasi. Bahkan, ada aset yang bukan atas nama koperasi,” kata Sarmuji.

Ketiga, penyaluran pinjaman dalam keadaan macet. Keempat, rendahnya penawaran aset oleh pembeli karena kondisi pasar yang masih dibalut pandemi.

Di samping itu, Sarmuji juga melihat tantangan ke depan yang tidak ringan bagi koperasi. Misalnya, partisipasi anggota koperasi yang masih sangat minim. Kemudian, sosialisasi koperasi yang belum optimal. “Masih banyak masyarakat yang tidak mengenal bahkan tidak peduli terhadap koperasi,” kata Sarmuji.

Tantangan lain, kualitas pengelolaan manajemen koperasi yang belum profesional. “Juga, masih rendahnya modal usaha dan sulitnya pembiayaan terhadap koperasi,” ucap Sarmuji.

Yang tak kalah penting adalah tantangan yang berkaitan dengan infrastruktur atau kemampuan sumber daya koperasi terhadap teknologi informasi yang belum memadai. Belum lagi tantangan dari pinjaman online yang hadir di tengah masyarakat dengan militansi tinggi.

“Aneka tantangan itulah yang harus kita jawab dengan UU Perkoperasian yang baru,” kata Sarmuji.

Salah satu anggota Tim Penyusun Akademis draft RUU Perkoperasian, Dr Noer Sutrisno, menambahkan UU Perkoperasian yang baru harus mampu membangun ekosistem bisnis yang baik untuk memperkuat koperasi. “Ini yang harus kita perjuangkan,” kata Noer.

Sebab, kata Noer, saat ini ekosistem bisnis koperasi masih lemah. Ditambah lagi dengan hubungan kemitraan yang stagnan, akses pendanaan tidak mudah, hingga rendahnya partisipasi anggota terhadap permodalan koperasi.

“Ada koperasi yang mampu mengelola dana besar. Serta, jumlah koperasi banyak tapi dengan skala usaha yang kecil,” kata Noer.

Noer juga berharap RUU yang baru ini memperhatikan tren perubahan demografi, teknologi, dan bisnis secara jangka panjang. “RUU ini juga harus mengakomodir dan mengantisipasi berbagai perubahan, peluang, serta kebaruan,” kata Noer Sutrisno.

Tanggung Renteng

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Koperasi Setia Budi Wanita Dr Sri Untari Bisowarno berharap UU Perkoperasian tidak boleh berbau kapitalis, neokolonialisme, neo imperialisme, dan liberal. “Tapi, harus mencitrakan Indonesia yang Pancasila. Ini hal yang paling mendasar sesuai sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Sri Untari yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Timur.

Kongkretnya, kata Sri Untari, koperasi harus dikelola dengan cara yang baik sesuai dengan jati diri koperasi. Dimana pengurus tidak semaunya sendiri, harus ada Rencana Strategis (Renstra) koperasi yang dikembangkan.

“Dalam penyusunan Renstra, harus melibatkan anggota. Jadi, koperasi harus profesional, tapi tetap berlandaskan jati diri koperasi,” ujar Sri Untari.

Di dalamnya mencakup visi, misi, tujuan target, hingga perumusan kebijakan. “Kalau koperasi mau maju, ya harus ke arah sana,” kata Sri Untari.

Selain itu, Sri Untari juga ingin koperasi beradaptasi dengan teknologi. Termasuk merangkul anak-anak muda untuk semangat berkoperasi.

“Bahkan, saya ingin dalam UU Perkoperasian, sistem tanggung renteng dijadikan sebagai sebuah model. Harus kita kembangkan model koperasi seperti ini, di luar yang konvensional dan syariah,” kata Sri Untari.

Sri Untari juga sepakat bahwa lembaga penjaminan simpanan (LPS) koperasi harus yang ada tertuang dalam UU yang baru. Begitu juga dengan pengawasan koperasi yang mesti diperkuat. “Saya punya cita-cita bahwa ekonomi Indonesia dengan soko guru koperasi. AS yang kapitalis, tapi ekonominya sosialis, sehingga koperasi di sana bisa besar dan kuat,” kata Sri Untari.

Untuk itu, kata Sri Untari, dibutuhkan kebijakan dan regulasi dari mulai UU hingga peraturan pelaksanaan di bawahnya.(Jef)

MenKopUKM: UU Perkoperasian adalah Solusi Sistemik dan Jangka Panjang

Jakarta:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) bersama seluruh stakeholder terus menggodok draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian untuk menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 dengan berbagai isu strategis dipetakan mencakup ketentuan modal, pola tata kelola, perluasan lapangan usaha, dan yang paling krusial adalah penguatan ekosistem perkoperasian.

“Saya menilai, UU baru ini akan menjadi solusi sistemik, serta solusi jangka panjang untuk membangun koperasi Indonesia menjadi lebih sehat, kuat, mandiri, dan tangguh,” kata MenKopUKM Teten Masduki usai rapat dengan Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM bersama Tim Ahli yang terdiri dari Noer Sutrisno MA, PhD, Prof. Dr. Suwandi, Dr. Agung Nur Fajar, Ir. Arfian Muslim MR, dan Firdaus Putra, HC. di Jakarta, Selasa (20/9).

Menurut Menteri Teten, penguatan ekosistem perkoperasian akan dilakukan dengan beberapa upaya. Pertama, dengan inisiatif pendirian Lembaga Pengawas Independen untuk memperkuat pengawasan, khususnya bagi sektor simpan pinjam koperasi.

“Koperasi-koperasi skala menengah dan besar dengan jumlah anggota puluhan dan bahkan ratusan ribu orang, pengawasannya perlu diperkuat agar lebih prudent dan menjadi terpercaya,” kata MenKopUKM.

Kedua, inisiatif pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi. Tujuannya, untuk membangun rasa aman dan nyaman bagi anggota-anggota koperasi dalam menyimpan dananya di koperasi.

“Hal ini sesuai dengan aspirasi gerakan koperasi di Indonesia bahwa Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi adalah mutlak dibutuhkan untuk memperkuat ekosistem perkoperasian saat ini,” ujar Menteri Teten.

Ketiga, pengaturan tentang kepailitan, di mana kepailitan suatu koperasi hanya dapat ditetapkan oleh pejabat berwenang. Tujuannya, agar penanganan masalah dalam koperasi dapat mengikuti tahap-tahap yang tepat dan tidak terganggu klaim pailit, baik internal maupun tuntutan dari eksternal.

“Kepailitan memang benar-benar obyektif melalui serangkaian mekanisme atau proses dan penetapan tertentu,” kata MenKopUKM.

Keempat, pengaturan sanksi pidana yang dibutuhkan untuk melindungi badan hukum, anggota, dan masyarakat luas dari penyalahgunaan dan/atau penyelewengan praktik berkoperasi.

Dengan pengaturan pidana, Menteri Teten meyakini berbagai celah yang selama ini dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjadi berkurang.

Peran Pengawas

Selain keempat upaya tersebut, UU baru mendatang juga akan memperkuat peran pengawas. Selama ini di lapangan banyak pengawas tidak berperan, lebih terlihat sebagai pelengkap struktur organisasi saja.

Dalam RUU ini diatur bahwa pengawas dikenai tanggung jawab atas kerugian bila lalai dalam mengawasi koperasinya.

“Dengan ketentuan tersebut, harapannya pengawas akan makin waspada dan benar-benar memerankan fungsinya dengan sebaik-baiknya,” kata Menteri Teten.

Dengan beberapa upaya itu, maka kasus 8 koperasi bermasalah dapat diantisipasi, dihindari, dan bila terjadi dapat ditangani dengan sebaik-sebaiknya di masa-masa mendatang.

Saat ini, kata MenKopUKM, pemerintah tidak memiliki instrumen yang cukup sehingga kurang optimal dikarenakan keterbatasan pengaturan dalam regulasi eksisting.

“Bagaimana pun kasus 8 koperasi bermasalah dengan taksiran kerugian mencapai Rp26 triliun menjadi peringatan bahwa regulasi yang ada memiliki celah dan lubang yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” kata Menteri Teten.(Jef)

KemenKopUKM Paparkan 4 Hal Pokok Terkait Pengaturan dalam Draf RUU Perkoperasian

Solo:(Globalnews.id)- Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Henra Saragih mengungkapkan ada empat pokok pengaturan dalam draf RUU Perkoperasian yakni terkait tata koperasi yang baik, pengawasan, sanksi, dan perlindungan anggota.

Sebagai representasi dari KemenKopUKM, Henra pada acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surakarta, Jawa Tengah, beberapa hari yang lalu, menjelaskan hal pertama yakni terkait tata kelola koperasi yang baik dan bisa relevan dengan kemajuan zaman kekinian.

“Ini menyangkut akuntabilitas dan transparansi, dimana laporan dan publikasi rutin, serta laporan keuangan koperasi, menggunakan Akuntan Publik,” kata Henra.

Di dalam poin ini mencakup pengaturan asal-usul dana disimpan atau yang dikenal dengan prinsip pengguna jasa. Dimana, jika ingin mengubah AD/ART akan dimintakan siapa sebenarnya pemilik manfaat dari koperasi tersebut.

Ini penting, kata Henra, karena ketika ada permasalahan terjadi di koperasi, dapat dengan mudah untuk dideteksi siapa pemilik manfaat. “Pemilik manfaat bukan berarti dia ada dalam legal dokumen saja. Tapi, bisa juga anggota atau _silent member_, tapi memiliki peran sangat strategis dalam mengendalikan koperasi. Ini juga perlu kita atur, sehingga ke depan tak ada lagi koperasi bermasalah,” kata Henra.

Terkait dengan pengaturan tata kelola investasi, juga diatur sehingga akan ada batasan-batasan dan hal-hal yang dilarang. “Begitu juga dengan modernisasi koperasi, sesuai dengan semangat koperasi,” kata Henra.

UU Perkoperasian yang baru akan mendorong regenerasi koperasi dan pendidikan kepada anggota dalam mengelola usaha koperasi dengan nominal tertentu. “Ini harus merekrut pihak ketiga dalam manajemen pengelolaan koperasi,” ucap Henra.

Bahkan, rekonstruksi modal koperasi juga akan diatur. Dimana koperasi bisa memanfaatkan potensi anggotanya. Ini juga akan direkonstruksikan, sehingga potensi-potensi anggota bisa diakselerasi dan dimaksimalkan. “Jadi, tidak hanya berharap dari luar saja,” kata Henra.

Kedua, terkait pengawasan. Akan diatur terkait penyalahgunaan usaha simpan pinjam untuk praktik rentenir dan pinjaman online (pinjol) ilegal yang menghimpun dana masyarakat secara bebas.

Ini arahnya akan membentuk lembaga pengawas khusus Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Konsekuensinya, harus dipikirkan bagaimana bentuknya, mekanismenya, SDM-nya, hingga bentuk-bentuk sanksi yang akan diterapkan.

Ketiga, pengaturan terkait dengan sanksi bagi koperasi bermasalah atau tidak sesuai dengan ketentuan UU. “Selama ini, untuk menangani koperasi bermasalah, pihak Polri agak kesulitan dalam mengenakan aturan pidana yang sesuai,” ucap Henra.

Ada yang memakai UU Perbankan dan UU Perasuransian. “Kalau tidak bisa dikenai pasal dalam UU teknis, maka akan mengarah ke KUHP. Tentunya, ini akan menyulitkan penyidik Polri,” katanya.

Keempat, menyangkut perlindungan anggota koperasi dan penjaminan. Saat ini, KemenKopUKM sedang menangani 8 koperasi bermasalah yang jumlah kerugiannya sekitar Rp30 triliun. “Ini tidak ada perlindungan dan jaminannya. Serupiah pun tidak ada. Kita coba atur itu, apakah kita akan merujuk ke LPS perbankan, misalnya,” kata Henra.

Oleh karena itu, Henra berharap pada partisipasi publik dan stakeholder agar saat RUU menjadi UU tidak menjadi pertentangan di kalangan masyarakat hingga berproses ke Judicial Review. “Kita akan meminimalisir itu terjadi lagi, seperti halnya yang pernah terjadi pada UU Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian,” katanya Henra.(Jef)

KemenKopUKM Jaring Aspirasi dari Berbagai Pihak untuk Draf RUU Perkoperasian Baru

Solo:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menjaring masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yang baru agar semakin adaptif terhadap dinamika dan perkembangan zaman.

“Saat ini, draf Naskah Akademis serta RUU Perkoperasian sedang dalam proses pembahasan untuk dilakukan finalisasi,” kata Kepala Biro Hukum dan Kerjasama KemenkopUKM Henra Saragih, mewakili Sekretaris KemenkopUKM, saat membuka acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (31/8).

Ia mencontohkan terkait pengelolaan koperasi yang bertentangan dengan asas dan prinsip koperasi banyak terjadi akibat adanya celah kelemahan dalam peraturan perundangan yang ada yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok oknum yang menyelahgunakan koperasi.

Di samping itu, ia menyadari bahwa UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak dapat mengakomodir cepatnya perkembangan serta dinamika perkoperasian khususnya dan di bidang ekonomi serta sosial umumnya.

Sebelumnya UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian telah terbit memperbaharui regulasi di bidang perkoperasian. Namun, UU tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga, UU Nomor 25 Tahun 1992 dinyatakan berlaku kembali.

Sejumlah pihak menilai UU 25/1992 sudah tidak mampu mengakomodir dan mengatasi banyak permasalahan perkoperasian dewasa ini, maka
pada awal 2022 ini, KemenkopUKM kembali menyusun RUU Perkoperasian.

Belajar dari pengalaman UU 17/2012 yang dibatalkan MK, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengingatkan, UU Perkoperasian yang baru ini harus dirumuskan secara tepat sesuai perkembangan dan dinamika yang ada.

“Dan saat ini merupakan momen yang tepat untuk penyusunan UU Perkoperasian,” kata Aria Bima, secara daring.

Di depan para Kepala Dinas Koperasi dan UKM (provinsi dan kabupaten/kota), pelaku koperasi dan gerakan koperasi, serta akademisi, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu menyebutkan beberapa hal krusial yang harus diperhatikan dalam penyusunan draf RUU Perkoperasian yang baru.

“Pertama, terkait definisi koperasi. Dimana koperasi adalah orang yang bersatu secara sukarela dan bersifat otonom, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Serta, berazaskan kekeluargaan dan gotong royong,” kata Aria Bima.

Lebih dari itu, kata Aria Bima, koperasi juga harus bisa ekspansif dalam dunia bisnis yang modern. “Definisi koperasi ini harus dirumuskan dengan tepat, agar tidak terulang seperti UU 17/2012,” kata Aria Bima.

Hal krusial lainnya adalah terkait modal koperasi. Yang di dalamnya mencakup iuran pokok, modal anggota, penyertaan modal, pembagian SHU, hingga dana hibah. “Jangan sampai penyertaan modal justru untuk mengakuisisi koperasi tersebut,” kata Aria Bima.

Di samping itu, Aria Bima juga menyebut koperasi berbasis syariah yang harus diatur dalam UU. “Seperti apa batasan-batasan koperasi syariah. Karena, koperasi syariah sedang menjamur di kalangan masyarakat,” kata Aria Bima.

Terkait pengawasan koperasi, juga menjadi perhatian khusus Aria Bima. Dirinya tidak setuju jika pengawasan koperasi, khususnya KSP, dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Idealnya, harus membuat satu lembaga otoritas tersendiri untuk mengawasi KSP,” kata Aria Bima.

Sehingga, dengan pengawasan secara realtime terhadap KSP, serta mengatur arus simpan dan pinjam yang dilakukan koperasi, para anggota merasa aman berkoperasi. “Saya meyakini, saat ini, kepercayaan terhadap koperasi, khususnya KSP, masih terbilang tinggi,” kata Aria Bima.

Lebih dari itu, Aria Bima menyebutkan roh koperasi jangan diutak-atik. Menurut dia, koperasi bukanlah untuk menggali keuntungan, melainkan sebuah lembaga usaha untuk memenuhi kebutuhan bersama. “Yang perlu diingat, koperasi itu kumpulan orang-orang, bukan kumpulan uang,” kata Aria Bima.

Dasar koperasi juga adalah kerja sama antara kaum ekonomi lemah agar saling membantu untuk memperbaiki taraf hidup. Mencakup orang-orang yang punya kepentingan yang sama berhimpun dalam koperasi, serta atas dasar sukarela.

“Ini menjadi roh dan harus diperhatikan dalam organisasi koperasi. Ada prinsip-prinsip koperasi yang harus dijaga dalam penyusunan UU Perkoperasian,” kata Aria Bima.

Sementara itu, anggota Tim Perumus RUU Perkoperasian Dr Suwandi menekankan bahwa UU Perkoperasian yang baru selain sebagai payung hukum, seyogyanya juga kuat dan memberi ruang kreatif bagi tumbuhnya koperasi masa depan yang modern.

“UU Perkoperasian harus kuat sesuai dengan visi koperasi ke depan yang moderen,” kata Suwandi.

Digitalisasi Koperasi
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah Ema Rachmawati berharap UU Perkoperasian yang baru harus tegas menjabarkan definisi koperasi.

Sebab, di UU lama, antara koperasi primer dan sekunder tidak ada faktor pembedanya. “Perlu pembatasan, koperasi primer seperti apa, sekunder seperti apa,” ujar Ema.

Harapan lainnya, kata Ema, dari sisi pengawasan koperasi harus diperkuat, dimana jelas tergambar pengawasan internal dan eksternal, dan bagaimana melaksanakan pengawasan.

Ema juga menggarisbawahi tentang skema pembiayaan koperasi yang harus diatur. Dicontohkannya, pembiayaan koperasi melalui LPDB-KUMKM untuk KSP dan koperasi sektor riil harus diubah. Karena, karakter dan tipe koperasi sektor riil berbeda dengan KSP.

Ema menambahkan, UU Perkoperasian ini sejalan dengan UU Cipta Kerja. Jadi, terkait kemudahan, perlindungan, pemberdayaan koperasi, harus sama dengan pelaku UKM. “Di UU lama itu belum ada,” ucap Ema.

Digitalisasi koperasi juga menjadi hal yang dinilainya penting bagi pelaku koperasi. “Artinya, ini penting diatur dalam UU. Karena, koperasi harus mengikuti tren yang baru, yaitu digitalisasi. Modernisasi koperasi selama ini digaungkan, tapi indikator koperasi modern belum jelas, seperti apa tahapannya,” kata Ema.(Jef)

KemenKopUKM Bentuk Pokja untuk Susun RUU Perkoperasian yang Terkini dan Ideal

Jakarta:(Globalnews.id) – Kementerian Koperasi dan UKM akan melakukan pembaharuan di bidang koperasi untuk mewujudkan koperasi yang sehat, kuat, mandiri, tangguh, berkualitas serta modern. Hal ini dilakukan dengan membentuk kelompok kerja untuk membuat Rancangan Undang-Undang Perkoperasian.

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim mengatakan bahwa sesuai dengan RPJMN 2020-2024, target kontribusi koperasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Nasional sebesar 5,5% dan jumlah koperasi modern yang dikembangkan 500 unit. Di sisi lain terdapat koperasi bermasalah yang melakukan praktik usaha yang menyimpang dan merugikan anggota.

“Untuk mencapai target tersebut dan untuk meningkatkan pencegahan dan penyelesaian koperasi bermasalah maka perlu pembaharuan pengaturan di bidang perkoperasian khususnya dalam hal kelembagaan koperasi, tata kelola, usaha, permodalan, pengawasan, serta penegakan hukumnya,” ungkapnya dalam Kick Off Meetting Pokja RUU Perkoperasian secara virtual di Jakarta, Selasa (5/4).

Lebih lanjut, Arif menambahkan bahwa UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang pada tahun ini berusia 30 tahun, sudah terlalu lama untuk UU di bidang perekonomian. Dalam hal ini, isi dari UU tersebut dikatakan harus diperbarui dengan lingkungan strategis terkini.

Untuk itu, KemenKopUKM akan menyusun Rancangan Undang-Undang yang akan menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 tersebut. Guna mewujudkan UU Perkoperasian yang dapat mengakomodir kebutuhan pengaturan tersebut, Menteri Koperasi dan UKM dikatakan telah menetapkan Keputusan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 20 Tahun 2022.

“Selain itu, RUU Perkoperasian ini juga telah diusulkan untuk masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2023. Harapan kami, RUU ini dapat selesai dibahas bersama dengan DPR RI sebelum tahun 2024,” kata Arif.

Di waktu yang sama, Deputi Bidang Perkoperasian Ahmad Zabadi menyatakan bahwa keterlibatan dari berbagai pihak untuk ikut menyusun RUU Perkoperasian yang ideal sangat penting.

Diharapkan dengan keterlibatan K/L lain, praktisi dan pelaku koperasi, kurator, dan notaris di dalam tim pokja ini dapat memberikan masukan dan gagasan dalam penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Perkoperasian serta Masukan untuk Pengaturan Koperasi dalam RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

“Saya kira tugas kita saat ini untuk menyusun naskah akademik dan RUU Perkoperasian yang ditargetkan tahun ini rampung, semoga dapat kita sama-sama selesaikan sesuai target,” pungkas Zabadi.

Perlu diketahui, pokja RUU Perkoperasian ini terdiri dari beberapa elemen, di antaranya Pengarah yang diisi oleh Menteri Koperasi dan UKM, Penasihat yakni Para Eselon I KemenKopUKM dan Dirjen PP Kemenkumham, Penanggung Jawab yaitu Deputi Perkoperasian, dan Ketua Pokja yakni Kepala Biro Hukum dan Kerjasama.

Anggota Pokja sendiri terdiri dari KemenKopUKM yakni Karo MKOS, Asdep pada Deputi Bidang Perkoperasian, JF Pengawas Koperasi, Peneliti, Kabag dan Kasubag di Biro Hukum dan Kerja Sama serta dan JF Perancang Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian, dari Kemenkumham terdiri dari Direktur Perdata, Direktur Perancangan Peraturan, Direktur Harmonisasi Peraturan II, dan Kapusrenkum BPHN,
Lalu KPPU dari Direktur Pengawasan Kemitraan, Komnasham, Perguruan Tinggi dari UI, UGM, IPB, Unpad, Unibraw, dan Universitas Koperasi Indonesia.

Terakhir dari Praktisi Koperasi ialah Suwandi, Ahmad Subagyo, Kurator, Ikatan Notaris Indonesia, dan koperasi yaitu Inkopsyah BMT, KPBS, serta Koperasi Benteng Mikro Indonesia.(Jef)