JAKARTA:(Globalnews.id)- Guna mewujudkan korporasi petani berbasis koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM bersama Agriterra (badan pertanian dari Belanda) sepakat melakukan kerjasama dalam pengembangan sektor pertanian dengan skala keekonomian yang signifikan.
“Dari MoU ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah produk petani hingga memiliki nilai keekonomian. Dalam hal ini para petani di Indonesia harus mulai berani masuk ke sektor industri”, kata Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Victoria BR Simanungkalit, pada acara penandatanganan MoU antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan Agriterra, di Jakarta, Selasa (27/11).
Victoria menambahkan bahwa kerjasama ini sudah berlangsung cukup lama. Pada September 2017, Kemenkop dan UKM mulai memperkenalkan Agriterra ke Dinas Koperasi Provinsi Jawa Tengah dan Puskud Jateng yang berkeinginan untuk merevitalisasi KUD-KUD pangan dengan membangun korporasi petani model koperasi dalam pendirian pabrik beras 100% milik petani.
Untuk program pendirian pabrik beras model koperasi ini Agriterra bermitra dengan KUD Pringgodani (Demak), KSU Citra Kinaraya (Demak), dan KUD Bayan (Purworejo) untuk menyusun rencana usaha dan proposal pinjaman investasi pabrik beras dan mekanisme pertanian dengan total investasi sebesar Rp40 miliar untuk sawah seluas 800-2000 hektar.
“Agriterra dan KUD Pringgodani juga mulai menawarkan rencana usaha tersebut kepada para petani. Sementara Agriterra dan Kemenkop dan UKM mencarikan lembaga keuangan yang bersedia mendanai pendirian pabrik beras dan mekanisme pertanian tersebut, khususnya memberi pinjaman kontribusi ekuitas petani dan mengingat bahwa pabrik ini baru akan dibangun”, papar Victoria.
Menurut Victoria, dengan adanya bentuk kerjasama yang jelas, Agriterra dan Kemenkop dan UKM menyusun MoU untuk mempromosikan korporasi petani model koperasi untuk industrialisasi sektor pertanian. “Target pendirian lima pabrik pengolahan yang 100% milik petani”, tandas Victoria.
Bagi Victoria, memperkuat kelembagaan koperasi petani merupakan hal yang sangat penting. Sehingga, mampu menjadi alat untuk menjamin kepentingan petani sebagai anggota koperasi di pedesaan. “Petani bisa berkumpul dalam satu wadah koperasi agar memiliki bargaining position yang kuat”, imbuh Victoria.
Oleh karena itu, Victoria mengajak dan mengharapkan semua pihak untuk bersinergi membangun korporasi petani berbasis koperasi. “Dengan begitu, kita bisa mengembangkan banyak potensi pertanian yang ada di daerah masing-masing hingga tercipta korporasi petani yang kuat dan mandiri. Kami tidak bisa melakukan itu sendirian, melainkan mengajak sinergi semua pihak termasuk pemda”, kata Victoria lagi.
Dalam kesempatan yang sama, Managing Director Agriterra Kees Blokland mengatakan, dengan membangun korporasi petani di desa-desa maka akan menjamin ketersediaan pangan dan ketersediaan lapangan kerja. “Ini bisa terjadi apabila para petani sadar bahwa hanya para petani yang bisa mewujudkan itu”, kata Kees.
Kees pun menekankan bahwa pemerintah bisa membantu rencana tersebut dengan cara tidak mempersulit pendirian pabrik. “Walau saat ini di seluruh negara di dunia jumlah petani terus berkurang, namun dengan program korporasi petani maka produksi pangan tetap stabil dan terjaga”, tegas Kees.
Kees mengungkapkan, model penggalangan modal internal (petani) melalui koperasi seperti ini sudah dilakukan Agriterra di beberapa negara. Contoh di Ethiopia (Afrika). “Di Ethiopia sudah berhasil hingga mampu membukukan modal korporasi petani sebesar 500 juta Euro. Agriterra juga sudah meneliti bahwa negara-negara yang maju koperasinya, maju pula kondisi sosial masyarakatnya. Intinya, koperasi mampu berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi suatu negara”, pungkas Kees.(jef)