JAKARTA:(GLOBALNEWS.ID)-Salah satu prestasi Presiden Jokowi di periode pertama pemerintahannya adalah pengendalian inflasi. Para Menteri dan pejabat di kementerian pemerintahan Jokowi periode kedua dituntut untuk terus mempertahankan prestasi tersebut. Untuk itu, wacana Kementrian Keuangan menaikan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok masing masing sebesar 23 dan 35 persen, sebaiknya dibatalkan. Kenaikan cukai dan HJE rokok bila ditinjau dari kaca mata ekonomi secara komprehensif dapat menimbulkan inflasi dan dampak ekonomi yang negatip bagi masyarakat dan negara.
“ Bila dilihat dari sisi penerimaan negara, kenaikan cukai dan kenaikan HJE rokok dapat sedikit membantu menambah pendapatan negara. Namun bila ditinjau secara komprehensif dari sisi makro ekonomi, kebijakan tersebut merugikan masyarakat dan pada akhirnya akan menimbulkan inflasi yang tinggi. Padahal, selama periode pertama, Presiden Jokowi, dianggap berhasil mengendalikan inflasi. Karena itu, kebijakan menaikan cukai dan HJE rokok sebaiknya ditunda. Bila dipaksakan akan menimbulkan inflasi tinggi sekaligus merugikan citra pemerintahan Preisiden Jokowi di periode kedua sekaligus mengganggu perekonomian nasional saat kondisi ekonomi saat ini sedang kurang menggembirakan,” Papar Gur Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Prof Dr Chandra Fajri Ananda, kepada pers, kemarin di Jakarta..
Lebih lanjut, pakar ekonomi yang menyelesaikan Pendidikan doktor nya di Jerman ini menyampaikan, dalam suasana ekonomi yang sedang tidak baik seperti saat ini, dimana angka eksport turun, import naik, pendapatan masyarakat turun, jauh lebih bijaksana kementrian keuangan menunda rencana kenaikan cukai dan HJE rokok ditunda sambal menunggu suasana ekonomi kondusif. Pemerintah perlu membuat kondisi ekonomi stabil terlebih dahulu, baru kemudian menaikan cukai rokok.
Selain itu, lanjut Chandra Fajri Ananda, sebelum mengambil keputusan menaikan cukai dan HJE rokok pemerintah perlu membuat kebijakan yang komprehensif. Baik dari sisi kesehatan, pertanian, perdagangan, perindustri juga fiskal atau keuangan dengan melibatkan para pemangku kepentingan di setiap kementrian secara Bersama sama. Bukan diambil sendiri sendiri.
“Karena itu pemerintah perlu duduk Bersama antara Menteri Keuangan, Menteri perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, bersama kalangan akademisi atau perguruan tinggi, pakar kesehatan, perwakilan masyarakat petani dan juga dari kalangan lembaga swadaya masyarakat. Setelah rembukan tersebut menghasilkan keputusan yang terbaik dan kesepakatan bersama, barulah keputusan itu menjadi acuan pemerintah untuk dituangkan dalam bentuk kebijakan dan diimplementasikan. Agar masyarakat tidak bingung, pemerintah harus mengkomunikasikan alasan dari dikeluarkannya kebijakannya tersebut kepada publik, sehingga masyarakat menerima dan menjalankannya. Tidak lagi menimbulkan perdebatan dan penolakan yang tajam,”papar guru besar ekonomi yang menyelesaikan Pendidikan doktornya di Jerman ini.
Duduk Bersama Dahulu
Lebih lanjut, Prof Chandra menyampaikan, sebelum kebijakan ekonomi seperti kenaikan HJE dan cukai rokok diputuskan dan diterapkan di masyarakat, pemerintah melalui kementerian keuangan, seharusnya mengeluarkan petunjuk teknis semacam peraturan Menteri keuangan (PMK) yang mengatur tata cara penarikan cukai dan kenaikan HJE serta besaran besarannya Namun hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan petunjuk teknisnya. Tanpa didahului petunjuk teknis yang harusnya disosialisasikan terlebih dahulu kepada semua pemangku kepentingan, tidak bisa masyarakat langsung menerima dan mematuhinya..
“ Bagaimana petunjuk teknis akan dikeluarkan oleh Menteri keuangan, sementara pada pertengahan atau akhir oktober akan terjadi pergantian Kabinet Presiden Jokowi periode kedua. Belum ada kepastian ibu Sri Mulyani Indrawati akan kembali diangkat menduduki posisi Menteri keuangan oleh Presiden. Kalau bu Sri Mulyani tidak menduduki Menteri keuangan, maka, tidak etis juga peraturan Menteri keuangan dikeluarkan di akhir masa tugas Ibu Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Karena itu, saya menyarankan agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menunda rencana kenaikan cukai sebesar 23 persen dan rencana kenaikan HJE sebesar 35 % di sisa waktu periode pertama pemerintahan Jokowi,” pinta Prof Dr Chandra Fajri Ananda.
Lebih lanjut Chandra menjelaskan, Sekiranya Sri Mulyani Indrawati diangkat dan dipercaya kembali sebagai Menteri keuangan atau Menteri keuangannya disisi oleh tokoh yang lain, sebaiknya rencana kenaikan cukai maupun HJE tetap dibicarakan dengan berbagai pemangku kepentingan, terlebih dahulu. Tidak bisa langsung diambil secara sepihak tanpa mendengarkan pendapat phak lain. Apalagi harus langsung diterapkan pada awal tahun 2020.
“Selan itu, Presiden Jokowi juga kan belum berbicara atau belum menyampaikan hal apapun yang berkaitan dengan isu rencana kenaikan cukai dan HJE Rokok. Sementara Presiden itu rujukan dan panutan rakyat. Jika Presiden belum membicarakan soal kenaikan cukai rokok, berarti tidak ada rencana pemerintah untuk menaikan cukai rokok. Karena itu, jauh lebih baik, rencana kenaikan cukai dan HJE ditunda. Setelah pelantikan Menteri yang baru nanti, Menteri keuangan yang baru coba mengajak para Menteri bidang lain seperti Menteri perindustrian, perdagangan, pertanian bersama Lembaga perguruan tinggi, perwakilan industri dan petani tembakau serta lembaga swadaya masyarakat duduk Bersama mencari solusi yang tepat apakah cukai dan HJE rokok perlu dinaikan atau tidak, baik dilihat dari sektor penerimaan negara maupun kesehatan dan perekonomian masyatakat“papar Prof Dr Chandra Fajri Ananda.
Diakui Prof Chandra Fajri Ananda, dari sisi makro ekonomi, cukai memiliki dua fungsi. Pertama untuk penerimaan negara. Kedua adalah untuk pengendalian produk itu sendiri. Dari sisi penerimaan negara, Prof Chandra Fajri Ananda mempertanyakan, mengapa hanya cukai rokok saja yang terus dinaikan untuk menambah pendapatan negara. Sementara masih banyak produk atau sektor lain yang hingga saat ini belum dikenakan cukai. Padahal di negara negara maju, sudah dikenakan cukai. Sementara industry rokok sudah terlalu dibebani dengan banyak aturan atau over regulated.
Menurutnya, Kementrian keuangan kemungkinan sudah membuat perhitungan jika cukai dan HJE dinaikan sekian persen akan terjadi penurunan produksi rokok dan penurunan tingkat pembelian rokok. Namun penurunan tersebut sudah tertutupi dengan adanya kenaikan cukai yang tinggi.
“Namun harusnya tidak hanya melihat sampai di situ. Harus dipikirkan juga, Jika kenaikan cukai yang tinggi berdampak pada berhentinya operasinya pabrik pabrik rokok maka mata penghasilan petani tembakau, buruh pabrik rokok, karyawan jasa distribusi danlogistik serta bidang lainnya juga terganggu. Hal ini dapat mengganggu perekonomian masyarakat dan berdampak pada penerimaan negara. Akibatnya, penambahan penerimaan negara dari kenaikan cukai rokok, tidak menutup biaya yang harus ditutup pemerintah akibatnya banyaknya lapangan pekerjaan industry rokok dan petani tembakau yang hilang. Selain itu, keuangan pemerintah daerah juga terganggu. Sebab, dari cukai rokok tersebut ada bagian buat pemerintah daerah. Jika pabrik rokoknya tutup, cukai rokok berkurang, pendapatan daerah juga berkurang. Hal ini akan berakibat pada pembangunan di daerah juga terganggu,”papar ayah empat anak ini.
Sementara dari sisi pengendalian, tidak harus industri rokok dimatikan dengan pengenaan cukai dan HJE Yang tinggi agar masyarakat perokok berkurang dan hidup makin sehat. Melainkan pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hidup sehat dan penegakan regulasi yang konsisten. (jef)