Arsip Tag: RUU perkoperasian

Perkuat Substansi Draf RUU Perkoperasian, KemenKopUKM Terus Menjaring Masukan

Surabaya:(Globalnews.id)- UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dianggap sudah tidak mampu lagi menjadi solusi bagi beragam persoalan faktual yang sedang terjadi di dunia perkoperasian di Indonesia sehingga diperlukan UU Perkoperasian yang baru yang diharapkan dapat mengakomodir dan menjadi solusi jangka panjang bagi perkembangan koperasi di tanah air.

“Oleh karena itu, kami terus menginventarisir dan menjaring masukan dari seluruh stakeholder untuk memperkaya substansi RUU Perkoperasian dalam draf yang sedang disusun bersama ini,” kata Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM Henra Saragih, mewakili Sekretaris KemenKopUKM, saat membuka acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (23/9).

Di acara yang dihadiri para Kepala Dinas Koperasi dan UKM se-Jawa Timur (provinsi, kabupaten, dan kota), pelaku koperasi, serta anggota gerakan koperasi itu, Henra menekankan pentingnya penguatan ekosistem perkoperasian.

“Di dalamnya mencakup pembentukan Lembaga Pengawas Independen untuk memperkuat pengawasan, khususnya bagi sektor simpan pinjam koperasi, agar lebih prudent dan terpercaya,” kata Henra.

Begitu juga dengan pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi yang disebutnya mutlak dibutuhkan untuk memperkuat ekosistem perkoperasian saat ini. Kemudian, pengaturan tentang kepailitan, dimana kepailitan suatu koperasi hanya dapat ditetapkan oleh pejabat berwenang.

Tak ketinggalan adalah pengaturan sanksi pidana yang dibutuhkan untuk melindungi badan hukum, anggota, dan masyarakat luas dari penyalahgunaan dan/atau penyelewengan praktik berkoperasi.

“Banyak hal dari segala permasalahan koperasi tersebut yang tidak tercover dalam UU Perkoperasian yang lama,” kata Henra.

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI M Sarmuji menekankan semangat berkoperasi saat ini harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. “UU yang sekarang ada, termasuk UU 17/2012 yang sudah dibatalkan MK, sudah tidak sesuai lagi,” kata Sarmuji.

Oleh karena itu, menurut Sarmuji, ada kesempatan untuk menyusun UU Perkoperasian yang paling bisa merespons fakta-fakta yang terjadi sekarang. “Secara faktual, ada koperasi yang dikelola dengan baik dan maju. Misalnya Kopontren Sidogiri,” ucap Sarmuji.

Namun, di sisi lain, tidak sedikit juga koperasi dipakai untuk modus kejahatan tertentu. “Ada 8 koperasi bermasalah dengan masalah sangat besar dan nilai kerugian fantastis yang dalam sidang PKPU disebutkan sebesar Rp26,1 triliun,” kata Sarmuji.

Dari masalah besar itu, Sarmuji mengajak seluruh stakeholder koperasi untuk menarik sebuah pelajaran berharga. Pertama, adanya aset atas nama entitas lain, badan hukum, dan perorangan yang terafiliasi ke koperasi.

Kedua, asset base resolution yang dijadikan dasar hukum global pembayaran, belum sesuai harapan. “Dikarenakan, nilai aset tidak sebanding dengan kewajiban yang harus dibayar koperasi. Bahkan, ada aset yang bukan atas nama koperasi,” kata Sarmuji.

Ketiga, penyaluran pinjaman dalam keadaan macet. Keempat, rendahnya penawaran aset oleh pembeli karena kondisi pasar yang masih dibalut pandemi.

Di samping itu, Sarmuji juga melihat tantangan ke depan yang tidak ringan bagi koperasi. Misalnya, partisipasi anggota koperasi yang masih sangat minim. Kemudian, sosialisasi koperasi yang belum optimal. “Masih banyak masyarakat yang tidak mengenal bahkan tidak peduli terhadap koperasi,” kata Sarmuji.

Tantangan lain, kualitas pengelolaan manajemen koperasi yang belum profesional. “Juga, masih rendahnya modal usaha dan sulitnya pembiayaan terhadap koperasi,” ucap Sarmuji.

Yang tak kalah penting adalah tantangan yang berkaitan dengan infrastruktur atau kemampuan sumber daya koperasi terhadap teknologi informasi yang belum memadai. Belum lagi tantangan dari pinjaman online yang hadir di tengah masyarakat dengan militansi tinggi.

“Aneka tantangan itulah yang harus kita jawab dengan UU Perkoperasian yang baru,” kata Sarmuji.

Salah satu anggota Tim Penyusun Akademis draft RUU Perkoperasian, Dr Noer Sutrisno, menambahkan UU Perkoperasian yang baru harus mampu membangun ekosistem bisnis yang baik untuk memperkuat koperasi. “Ini yang harus kita perjuangkan,” kata Noer.

Sebab, kata Noer, saat ini ekosistem bisnis koperasi masih lemah. Ditambah lagi dengan hubungan kemitraan yang stagnan, akses pendanaan tidak mudah, hingga rendahnya partisipasi anggota terhadap permodalan koperasi.

“Ada koperasi yang mampu mengelola dana besar. Serta, jumlah koperasi banyak tapi dengan skala usaha yang kecil,” kata Noer.

Noer juga berharap RUU yang baru ini memperhatikan tren perubahan demografi, teknologi, dan bisnis secara jangka panjang. “RUU ini juga harus mengakomodir dan mengantisipasi berbagai perubahan, peluang, serta kebaruan,” kata Noer Sutrisno.

Tanggung Renteng

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Koperasi Setia Budi Wanita Dr Sri Untari Bisowarno berharap UU Perkoperasian tidak boleh berbau kapitalis, neokolonialisme, neo imperialisme, dan liberal. “Tapi, harus mencitrakan Indonesia yang Pancasila. Ini hal yang paling mendasar sesuai sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Sri Untari yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Timur.

Kongkretnya, kata Sri Untari, koperasi harus dikelola dengan cara yang baik sesuai dengan jati diri koperasi. Dimana pengurus tidak semaunya sendiri, harus ada Rencana Strategis (Renstra) koperasi yang dikembangkan.

“Dalam penyusunan Renstra, harus melibatkan anggota. Jadi, koperasi harus profesional, tapi tetap berlandaskan jati diri koperasi,” ujar Sri Untari.

Di dalamnya mencakup visi, misi, tujuan target, hingga perumusan kebijakan. “Kalau koperasi mau maju, ya harus ke arah sana,” kata Sri Untari.

Selain itu, Sri Untari juga ingin koperasi beradaptasi dengan teknologi. Termasuk merangkul anak-anak muda untuk semangat berkoperasi.

“Bahkan, saya ingin dalam UU Perkoperasian, sistem tanggung renteng dijadikan sebagai sebuah model. Harus kita kembangkan model koperasi seperti ini, di luar yang konvensional dan syariah,” kata Sri Untari.

Sri Untari juga sepakat bahwa lembaga penjaminan simpanan (LPS) koperasi harus yang ada tertuang dalam UU yang baru. Begitu juga dengan pengawasan koperasi yang mesti diperkuat. “Saya punya cita-cita bahwa ekonomi Indonesia dengan soko guru koperasi. AS yang kapitalis, tapi ekonominya sosialis, sehingga koperasi di sana bisa besar dan kuat,” kata Sri Untari.

Untuk itu, kata Sri Untari, dibutuhkan kebijakan dan regulasi dari mulai UU hingga peraturan pelaksanaan di bawahnya.(Jef)

MenKopUKM: UU Perkoperasian adalah Solusi Sistemik dan Jangka Panjang

Jakarta:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) bersama seluruh stakeholder terus menggodok draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian untuk menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 dengan berbagai isu strategis dipetakan mencakup ketentuan modal, pola tata kelola, perluasan lapangan usaha, dan yang paling krusial adalah penguatan ekosistem perkoperasian.

“Saya menilai, UU baru ini akan menjadi solusi sistemik, serta solusi jangka panjang untuk membangun koperasi Indonesia menjadi lebih sehat, kuat, mandiri, dan tangguh,” kata MenKopUKM Teten Masduki usai rapat dengan Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM bersama Tim Ahli yang terdiri dari Noer Sutrisno MA, PhD, Prof. Dr. Suwandi, Dr. Agung Nur Fajar, Ir. Arfian Muslim MR, dan Firdaus Putra, HC. di Jakarta, Selasa (20/9).

Menurut Menteri Teten, penguatan ekosistem perkoperasian akan dilakukan dengan beberapa upaya. Pertama, dengan inisiatif pendirian Lembaga Pengawas Independen untuk memperkuat pengawasan, khususnya bagi sektor simpan pinjam koperasi.

“Koperasi-koperasi skala menengah dan besar dengan jumlah anggota puluhan dan bahkan ratusan ribu orang, pengawasannya perlu diperkuat agar lebih prudent dan menjadi terpercaya,” kata MenKopUKM.

Kedua, inisiatif pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi. Tujuannya, untuk membangun rasa aman dan nyaman bagi anggota-anggota koperasi dalam menyimpan dananya di koperasi.

“Hal ini sesuai dengan aspirasi gerakan koperasi di Indonesia bahwa Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi adalah mutlak dibutuhkan untuk memperkuat ekosistem perkoperasian saat ini,” ujar Menteri Teten.

Ketiga, pengaturan tentang kepailitan, di mana kepailitan suatu koperasi hanya dapat ditetapkan oleh pejabat berwenang. Tujuannya, agar penanganan masalah dalam koperasi dapat mengikuti tahap-tahap yang tepat dan tidak terganggu klaim pailit, baik internal maupun tuntutan dari eksternal.

“Kepailitan memang benar-benar obyektif melalui serangkaian mekanisme atau proses dan penetapan tertentu,” kata MenKopUKM.

Keempat, pengaturan sanksi pidana yang dibutuhkan untuk melindungi badan hukum, anggota, dan masyarakat luas dari penyalahgunaan dan/atau penyelewengan praktik berkoperasi.

Dengan pengaturan pidana, Menteri Teten meyakini berbagai celah yang selama ini dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjadi berkurang.

Peran Pengawas

Selain keempat upaya tersebut, UU baru mendatang juga akan memperkuat peran pengawas. Selama ini di lapangan banyak pengawas tidak berperan, lebih terlihat sebagai pelengkap struktur organisasi saja.

Dalam RUU ini diatur bahwa pengawas dikenai tanggung jawab atas kerugian bila lalai dalam mengawasi koperasinya.

“Dengan ketentuan tersebut, harapannya pengawas akan makin waspada dan benar-benar memerankan fungsinya dengan sebaik-baiknya,” kata Menteri Teten.

Dengan beberapa upaya itu, maka kasus 8 koperasi bermasalah dapat diantisipasi, dihindari, dan bila terjadi dapat ditangani dengan sebaik-sebaiknya di masa-masa mendatang.

Saat ini, kata MenKopUKM, pemerintah tidak memiliki instrumen yang cukup sehingga kurang optimal dikarenakan keterbatasan pengaturan dalam regulasi eksisting.

“Bagaimana pun kasus 8 koperasi bermasalah dengan taksiran kerugian mencapai Rp26 triliun menjadi peringatan bahwa regulasi yang ada memiliki celah dan lubang yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” kata Menteri Teten.(Jef)

KemenKopUKM Paparkan 4 Hal Pokok Terkait Pengaturan dalam Draf RUU Perkoperasian

Solo:(Globalnews.id)- Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Henra Saragih mengungkapkan ada empat pokok pengaturan dalam draf RUU Perkoperasian yakni terkait tata koperasi yang baik, pengawasan, sanksi, dan perlindungan anggota.

Sebagai representasi dari KemenKopUKM, Henra pada acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surakarta, Jawa Tengah, beberapa hari yang lalu, menjelaskan hal pertama yakni terkait tata kelola koperasi yang baik dan bisa relevan dengan kemajuan zaman kekinian.

“Ini menyangkut akuntabilitas dan transparansi, dimana laporan dan publikasi rutin, serta laporan keuangan koperasi, menggunakan Akuntan Publik,” kata Henra.

Di dalam poin ini mencakup pengaturan asal-usul dana disimpan atau yang dikenal dengan prinsip pengguna jasa. Dimana, jika ingin mengubah AD/ART akan dimintakan siapa sebenarnya pemilik manfaat dari koperasi tersebut.

Ini penting, kata Henra, karena ketika ada permasalahan terjadi di koperasi, dapat dengan mudah untuk dideteksi siapa pemilik manfaat. “Pemilik manfaat bukan berarti dia ada dalam legal dokumen saja. Tapi, bisa juga anggota atau _silent member_, tapi memiliki peran sangat strategis dalam mengendalikan koperasi. Ini juga perlu kita atur, sehingga ke depan tak ada lagi koperasi bermasalah,” kata Henra.

Terkait dengan pengaturan tata kelola investasi, juga diatur sehingga akan ada batasan-batasan dan hal-hal yang dilarang. “Begitu juga dengan modernisasi koperasi, sesuai dengan semangat koperasi,” kata Henra.

UU Perkoperasian yang baru akan mendorong regenerasi koperasi dan pendidikan kepada anggota dalam mengelola usaha koperasi dengan nominal tertentu. “Ini harus merekrut pihak ketiga dalam manajemen pengelolaan koperasi,” ucap Henra.

Bahkan, rekonstruksi modal koperasi juga akan diatur. Dimana koperasi bisa memanfaatkan potensi anggotanya. Ini juga akan direkonstruksikan, sehingga potensi-potensi anggota bisa diakselerasi dan dimaksimalkan. “Jadi, tidak hanya berharap dari luar saja,” kata Henra.

Kedua, terkait pengawasan. Akan diatur terkait penyalahgunaan usaha simpan pinjam untuk praktik rentenir dan pinjaman online (pinjol) ilegal yang menghimpun dana masyarakat secara bebas.

Ini arahnya akan membentuk lembaga pengawas khusus Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Konsekuensinya, harus dipikirkan bagaimana bentuknya, mekanismenya, SDM-nya, hingga bentuk-bentuk sanksi yang akan diterapkan.

Ketiga, pengaturan terkait dengan sanksi bagi koperasi bermasalah atau tidak sesuai dengan ketentuan UU. “Selama ini, untuk menangani koperasi bermasalah, pihak Polri agak kesulitan dalam mengenakan aturan pidana yang sesuai,” ucap Henra.

Ada yang memakai UU Perbankan dan UU Perasuransian. “Kalau tidak bisa dikenai pasal dalam UU teknis, maka akan mengarah ke KUHP. Tentunya, ini akan menyulitkan penyidik Polri,” katanya.

Keempat, menyangkut perlindungan anggota koperasi dan penjaminan. Saat ini, KemenKopUKM sedang menangani 8 koperasi bermasalah yang jumlah kerugiannya sekitar Rp30 triliun. “Ini tidak ada perlindungan dan jaminannya. Serupiah pun tidak ada. Kita coba atur itu, apakah kita akan merujuk ke LPS perbankan, misalnya,” kata Henra.

Oleh karena itu, Henra berharap pada partisipasi publik dan stakeholder agar saat RUU menjadi UU tidak menjadi pertentangan di kalangan masyarakat hingga berproses ke Judicial Review. “Kita akan meminimalisir itu terjadi lagi, seperti halnya yang pernah terjadi pada UU Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian,” katanya Henra.(Jef)

Para Pelaku Koperasi Sampaikan Aspirasi untuk Draft RUU Perkoperasian

Solo:(Globalnews.id)- Para pelaku koperasi di Indonesia menyampaikan masukan dan aspirasi untuk menyempurnakan draf UU Perkoperasian yang baru pengganti UU Nomor 25/1992 tentang Koperasi yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman sekarang ini.

Ketua KSP Kopdit Esthi Manunggal Alexander Daryanto menyampaikan harapan dengan adanya UU yang baru maka koperasi bisa tertata lebih baik lagi. Misalnya saja koperasi papan nama bisa benar-benar ditertibkan.

“Dan bagi koperasi yang benar-benar konsekuen menjalankan prinsip koperasi, bisa lebih eksis lagi dalam melayani kebutuhan masyarakat,” kata Alexander, pada acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (31/8).

Menurut Alexander, yang harus diperkuat, selain terkait kelembagaan koperasi, juga menyangkut investasi. Dimana KSP Kopdit Esthi Manunggal yang berdiri pada 2001 dan beranggotakan sekitar 3.500 orang, memiliki permodalan 80 persen dari luar (anggota koperasi), bukan dari lembaganya.

“Saya berharap UU Perkoperasian yang baru mampu mengatur modal dari lembaga, sehingga koperasi semakin kuat. Jadi, kalau ada permasalahan modal, bisa mengatasi dengan baik,” kata Alexander.

Dalam arti, ia berharap besaran penyertaan modal tersebut diatur secara jelas dalam UU. “Saya meyakini, dengan adanya payung hukum yang baru ini, langkah koperasi semakin mantap dalam perekonomian nasional,” kata Alexander.

Sementara Ketua Koperasi Trangsan Manunggal Jaya Suparji menjelaskan koperasi yang dipimpinnya berdiri pada 2007 di Desa Trangsan, Sukaharjo, Jawa Tengah, dan bergerak di sektor produksi dan pemasaran produk furnitur (rotan) orientasi ekspor sangat memerlukan payung hukum yang relevan untuk mendukung bisnis koperasinya.

Dia berharap, dengan segera lahirnya UU Perkoperasian yang baru, maka akan mempermudah langkah-langkah koperasi produksi untuk melakukan ekspansi usaha. “Agar koperasi dapat kesempatan lebih terkait pembiayaan. Terlebih lagi, produk furnitur kami kami sudah ekspor ke AS, Eropa, Australia, Korsel, Jepang, hingga Uni Emirat Arab,” ucap Suparji.

Intinya, Suparji berharap ada kemudahan pembiayaan bagi koperasi sektor riil. “Memang, sudah ada lembaga pembiayaan khusus koperasi, yakni LPDB-KUMKM. Namun, saya merasa sulit mengaksesnya,” kata Suparji.

Suparji menegaskan bahwa koperasi sektor riil lebih memerlukan pembiayaan ringan untuk operasionalnya. “Harusnya, LPDB-KUMKM datang dan melihat ke lapangan. Sehingga, bisa melihat potensi yang dimiliki koperasi sektor riil,” kata Suparji.

Padahal, menurut Suparji, koperasi sektor riil harus didukung pembiayaan yang kuat dan murah. “Karena, memang butuh untuk investasi peralatan, produksi, dan lain-lain,” ungkap Suparji.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua I Bidang Operasional Koperasi Jasa Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Tanjung Mas Semarang Ronal Nainggolan meminta aturan baru itu agar mempertahankan hal yang sudah baik. Bahkan, lebih diperkuat lagi.

“Dengan adanya payung hukum yang baru ini, saya berharap eksistensi kita bisa lebih kuat. Saya juga ingin agar pemerintah bisa berpihak kepada rakyatnya, melalui UU Perkoperasian,” kata Ronal. (Jef)

KemenKopUKM Jaring Aspirasi dari Berbagai Pihak untuk Draf RUU Perkoperasian Baru

Solo:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menjaring masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yang baru agar semakin adaptif terhadap dinamika dan perkembangan zaman.

“Saat ini, draf Naskah Akademis serta RUU Perkoperasian sedang dalam proses pembahasan untuk dilakukan finalisasi,” kata Kepala Biro Hukum dan Kerjasama KemenkopUKM Henra Saragih, mewakili Sekretaris KemenkopUKM, saat membuka acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (31/8).

Ia mencontohkan terkait pengelolaan koperasi yang bertentangan dengan asas dan prinsip koperasi banyak terjadi akibat adanya celah kelemahan dalam peraturan perundangan yang ada yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok oknum yang menyelahgunakan koperasi.

Di samping itu, ia menyadari bahwa UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak dapat mengakomodir cepatnya perkembangan serta dinamika perkoperasian khususnya dan di bidang ekonomi serta sosial umumnya.

Sebelumnya UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian telah terbit memperbaharui regulasi di bidang perkoperasian. Namun, UU tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga, UU Nomor 25 Tahun 1992 dinyatakan berlaku kembali.

Sejumlah pihak menilai UU 25/1992 sudah tidak mampu mengakomodir dan mengatasi banyak permasalahan perkoperasian dewasa ini, maka
pada awal 2022 ini, KemenkopUKM kembali menyusun RUU Perkoperasian.

Belajar dari pengalaman UU 17/2012 yang dibatalkan MK, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengingatkan, UU Perkoperasian yang baru ini harus dirumuskan secara tepat sesuai perkembangan dan dinamika yang ada.

“Dan saat ini merupakan momen yang tepat untuk penyusunan UU Perkoperasian,” kata Aria Bima, secara daring.

Di depan para Kepala Dinas Koperasi dan UKM (provinsi dan kabupaten/kota), pelaku koperasi dan gerakan koperasi, serta akademisi, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu menyebutkan beberapa hal krusial yang harus diperhatikan dalam penyusunan draf RUU Perkoperasian yang baru.

“Pertama, terkait definisi koperasi. Dimana koperasi adalah orang yang bersatu secara sukarela dan bersifat otonom, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Serta, berazaskan kekeluargaan dan gotong royong,” kata Aria Bima.

Lebih dari itu, kata Aria Bima, koperasi juga harus bisa ekspansif dalam dunia bisnis yang modern. “Definisi koperasi ini harus dirumuskan dengan tepat, agar tidak terulang seperti UU 17/2012,” kata Aria Bima.

Hal krusial lainnya adalah terkait modal koperasi. Yang di dalamnya mencakup iuran pokok, modal anggota, penyertaan modal, pembagian SHU, hingga dana hibah. “Jangan sampai penyertaan modal justru untuk mengakuisisi koperasi tersebut,” kata Aria Bima.

Di samping itu, Aria Bima juga menyebut koperasi berbasis syariah yang harus diatur dalam UU. “Seperti apa batasan-batasan koperasi syariah. Karena, koperasi syariah sedang menjamur di kalangan masyarakat,” kata Aria Bima.

Terkait pengawasan koperasi, juga menjadi perhatian khusus Aria Bima. Dirinya tidak setuju jika pengawasan koperasi, khususnya KSP, dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Idealnya, harus membuat satu lembaga otoritas tersendiri untuk mengawasi KSP,” kata Aria Bima.

Sehingga, dengan pengawasan secara realtime terhadap KSP, serta mengatur arus simpan dan pinjam yang dilakukan koperasi, para anggota merasa aman berkoperasi. “Saya meyakini, saat ini, kepercayaan terhadap koperasi, khususnya KSP, masih terbilang tinggi,” kata Aria Bima.

Lebih dari itu, Aria Bima menyebutkan roh koperasi jangan diutak-atik. Menurut dia, koperasi bukanlah untuk menggali keuntungan, melainkan sebuah lembaga usaha untuk memenuhi kebutuhan bersama. “Yang perlu diingat, koperasi itu kumpulan orang-orang, bukan kumpulan uang,” kata Aria Bima.

Dasar koperasi juga adalah kerja sama antara kaum ekonomi lemah agar saling membantu untuk memperbaiki taraf hidup. Mencakup orang-orang yang punya kepentingan yang sama berhimpun dalam koperasi, serta atas dasar sukarela.

“Ini menjadi roh dan harus diperhatikan dalam organisasi koperasi. Ada prinsip-prinsip koperasi yang harus dijaga dalam penyusunan UU Perkoperasian,” kata Aria Bima.

Sementara itu, anggota Tim Perumus RUU Perkoperasian Dr Suwandi menekankan bahwa UU Perkoperasian yang baru selain sebagai payung hukum, seyogyanya juga kuat dan memberi ruang kreatif bagi tumbuhnya koperasi masa depan yang modern.

“UU Perkoperasian harus kuat sesuai dengan visi koperasi ke depan yang moderen,” kata Suwandi.

Digitalisasi Koperasi
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah Ema Rachmawati berharap UU Perkoperasian yang baru harus tegas menjabarkan definisi koperasi.

Sebab, di UU lama, antara koperasi primer dan sekunder tidak ada faktor pembedanya. “Perlu pembatasan, koperasi primer seperti apa, sekunder seperti apa,” ujar Ema.

Harapan lainnya, kata Ema, dari sisi pengawasan koperasi harus diperkuat, dimana jelas tergambar pengawasan internal dan eksternal, dan bagaimana melaksanakan pengawasan.

Ema juga menggarisbawahi tentang skema pembiayaan koperasi yang harus diatur. Dicontohkannya, pembiayaan koperasi melalui LPDB-KUMKM untuk KSP dan koperasi sektor riil harus diubah. Karena, karakter dan tipe koperasi sektor riil berbeda dengan KSP.

Ema menambahkan, UU Perkoperasian ini sejalan dengan UU Cipta Kerja. Jadi, terkait kemudahan, perlindungan, pemberdayaan koperasi, harus sama dengan pelaku UKM. “Di UU lama itu belum ada,” ucap Ema.

Digitalisasi koperasi juga menjadi hal yang dinilainya penting bagi pelaku koperasi. “Artinya, ini penting diatur dalam UU. Karena, koperasi harus mengikuti tren yang baru, yaitu digitalisasi. Modernisasi koperasi selama ini digaungkan, tapi indikator koperasi modern belum jelas, seperti apa tahapannya,” kata Ema.(Jef)

KemenKopUKM Perkuat Kinerja Tim Penyusun Naskah Akademik Revisi UU Perkoperasian

Jakarta:(Globalnews.id)- Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) sangat serius untuk segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian agar semakin relevan dengan perkembangan zaman salah satunya dengan semakin memperkuat kinerja Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Perkoperasian.

Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi menjelaskan tim ini beranggotakan praktisi koperasi, pakar ekonomi manajemen, dan pakar hukum.

“Mereka secara maraton sedang menggodok kajian dan rancangan pengaturan dalam RUU Perkoperasian,” ucap Zabadi dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (7/8).

Ahmad Zabadi menegaskan bahwa penyusunan RUU Perkoperasian ini sangat penting guna menjawab permasalahan dan tantangan koperasi yang terjadi saat ini.

Selain mengkaji arah pembangunan koperasi ke depan, tim juga fokus pada berbagai regulasi yang sudah ada di sektor ekonomi.

“Selain itu, dalam penyusunannya tim juga tetap memperhatikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan uji materiil UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sebelumnya,” kata Ahmad Zabadi.

Untuk memenuhi kewajiban uji materiil ini, dia pun menegaskan akan dilakukannya _meaningfull partisipasion_ dari publik sesuai UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana akan dilangsungkan Focus Group Discussion (FGD) di beberapa tempat.

“Hal tersebut bertujuan untuk menjaring aspirasi dan masukan dari publik atas dokumen yang telah disusun oleh tim,” katanya.

RUU Perkoperasian sampai saat ini terus didorong hingga dapat disahkan untuk menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 sebagai upaya menghadirkan ekosistem bisnis koperasi yang dinamis, adaptif, dan akomodatif bagi kebutuhan anggota dan masyarakat.

UU Nomor 25 Tahun 1992 sendiri sudah berusia 30 tahun dengan substansi yang cenderung obsolete (ketinggalan) sehingga perlu diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman dan lingkungan strategis terkini.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah munculnya koperasi-koperasi bermasalah sehingga citra koperasi di kalangan masyarakat kurang baik. Ini bertolak belakang dengan prinsip koperasi, bahwa koperasi dengan azas kebersamaan, kekeluargaan, demokrasi tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesejahteraan kepada anggotanya.

Berbagai permasalahan koperasi saat ini, antara lain penyalahgunaan badan hukum koperasi untuk melakukan praktik pinjaman online ilegal dan rentenir, penyimpangan penggunaan aset oleh pengurus, di lain pihak potensi anggota tidak dioptimalkan, dan pengawasan yang belum berjalan maksimal.

Pelanggaran koperasi yang juga kerap terjadi dalam bentuk tidak adanya izin usaha simpan pinjam maupun izin kantor cabang.

Salah satu kendala yang juga banyak ditemukan dalam koperasi bermasalah saat ini adalah mekanisme pengajuan PKPU dan kepailitan oleh kreditur/anggota koperasi yang belum diatur dalam UU sehingga menyulitkan anggota yang harus menghadapi proses PKPU dan pailit. Ribuan anggota koperasi bermasalah kini terkatung-katung menunggu proses pengembalian simpanannya yang rumit.

Selain itu juga, pengaturan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengurus/pengelola koperasi maupun pihak lain yang mengatasnamakan koperasi belum ada. Hal ini menjadi perhatian serius agar pengurus koperasi/pengelola bertanggung jawab dan taat azas terhadap semua aturan yang ada. Adapun, pembubaran, penyelesaian, dan kepailitan koperasi akan turut diatur.

“Hal krusial lainnya adalah mempertegas regenerasi dan suksesi di koperasi dan mengatur pembatasan masa periode kepengurusan. Menguatkan pengaturan pengelolaan koperasi berdasarkan prinsip syariah dan mendorong penjaminan simpanan anggota koperasi,” kata Ahmad Zabadi.(Jef)

Penyusunan Draf RUU Perkoperasian Ditargetkan Rampung Oktober 2022

qqqqqqqq

Bali:(Globalnews.id) – Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi mengatakan penyusunan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian dan penyempurnaannya ditargetkan rampung Oktober 2022 agar segera dibahas di DPR pada 2023.

“Oktober 2022 paling tidak kami targetkan selesai dan RUU Perkoperasian ke DPR, sehingga tahun depan bisa dibahas di DPR,” kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi di Bali, Senin (20/6).

Zabadi berterima kasih atas dukungan sejumlah anggota DPR terkait RUU Perkoperasian terkait hingga saat ini KemenKopUKM masih terus dalam upaya mempercepat agar naskah RUU terselesaikan.

Ia menjelaskan, draf RUU yang saat ini tengah disusun KemenKopUKM ini merupakan pengganti dari UU Perkoperasian Nomor 17 Tahun 2012 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Oleh karena itu, saat ini UU Perkoperasian lama yqakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinyatakan masih tetap berlaku untuk sementara waktu, sampai dengan ditetapkan undang-undang yang baru. Namun seiring perkembangan zaman UU tersebut memang memerlukan qqqqqqqqqpenyempurnaan agar tetap relevan bagi upaya pemberdayaan koperasi.

Zabadi menjelaskan, RUU Perkoperasian yang ada di DPR sebelumnya kebetulan ada di akhir periode 2019, yang seharusnya sudah ketok palu. Namun sampai saat ini masih tertunda dengan status carry over (pengalihan pembahasan).

Mestinya dengan status carry over tersebut, pemerintah hanya membahas hal yang belum disepakati saja. Tapi rupanya belakangan, status carry over tersebut sudah habis masa berlakunya.

“Kemudian ini yang menjadikan harus dibahas dari nol kembali. Tetapi ada beberapa hal yang sudah sampai pembahasan waktu itu. Terutama terkait dengan fungsi pengawasan, keberadaan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) khusus koperasi. Lalu adanya aturan sanksi pidana atas praktik-praktik yang merugikan koperasi, prinsip dan nilai koperasi yang sudah termuat dalam pembahasan sebelumnya,” kata Zabadi.

Saat ini pembaruan RUU juga menyoal kepailitan koperasi. Sehingga diharapkan nanti saat pembahasan di DPR, kepailitan ini menjadi concern. Karena sebagaimana di perbankan maupun asuransi dalam menghadapi permasalahan tetapi mereka tidak bisa di PKPU kan kecuali lembaga otoritas, sebagaimana yang diatur oleh UU PKPU.

“Padahal koperasi setiap saat bisa saja terancam posisinya. Dua orang cukup bisa mengajukan ke PKPU, nah ini tentu saja kami ingin adanya equalitas di sini. Di mana keberadaan koperasi khususnya KSP (Koperasi Simpan Pinjam), perlakukannya di dalam kepailitan di sejajar dengan perbankan dan asuransi,” katanya.

Selanjutnya fungsi pengawasan koperasi juga menjadi keharusan. Mengingat koperasi bermasalah yang sudah banyak terjadi. “Tentu respons secara kelembagaan bagi koperasi, bagaimana ke depan menghadapi tantangan perubahan, lingkungan strategis penting juga kita rumuskan kembali,” kata Zabadi.

Anggota Komisi VI DPR Nyoman Parta mengatakan, kehadiran RUU Perkoperasian yang baru akan menjadi instrumen perlindungan bagi koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (KUMKM) dari segala kendala maupun ancaman yang datang.

“Kita ingin ada legacy tentang UU Perkoperasian ini. Sehingga menjadi bukti bahwa negara hadir bagi KUMKM lewat Undang-Undang,” kata Nyoman Parta.

Anggota DPR dari Fraksi PDIP ini berharap, agar penyusunan terbaru draf RUU Perkoperasian di KemenKopUKM ini segera rampung agar segera dibahas di DPR.

“Diharapkan justru tahun ini sudah masuk (pembahasan di DPR). Kalau tidak bisa masuk prolegnas ya minimal tahun 2023 harus selesai ketok palu,” harap Nyoman.

Ia melanjutkan, di tengah tantangan ekonomi global yang tinggi, perlindungan terhadap KUMKM juga harus terus diperkuat. Meskipun diakuinya, memang tak mudah mengatur persoalan kelembagaan koperasi. Mulai dari hal kecil hingga carut-marut yang ada di dalamnya.

“Kemampuan mereka (KUMKM) dalam menyangga, bahkan melindungi dan menjadi tulang punggung dari kemajuan ekonomi di akar rumput, harus diberi keberpihakan,” katanya.

Hadirnya RUU Perkoperasian menjadi penting untuk mengambil ceruk ruang perekonomian dan menegaskan tidak mengecilkan yang besar, tetapi juga mempercepat yang kecil menjadi besar.

Selain itu Nyoman ingin, agar KemenKopUKM yang sejatinya merupakan kementerian yang mewakili persentase terbesar dari kegiatan ekonomi bangsa ini, bahkan serapan dari tenaga kerja yang besar, harus mendapatkan prioritas anggaran juga yang besar.

“Kalau bicara data, UMKM paling nyata sebagai pengentas pengangguran dan kemiskinan. Di mana 99 persen lapangan kerja berasal dari UMKM, tetapi pendanaannya marginal. Jadi ke depan harus diberikan dana maksimal kepada pengelolaan Koperasi dan UMKM,” kata Nyoman.(Jef)

KemenKopUKM: UU Perkoperasian Perlu Direvisi Dorong Ekosistem Bisnis Koperasi Makin Maju

Jakarta:(Globalnews.id)-– Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menyatakan revisi atas Undang-Undang (UU) tentang Perkoperasian perlu terus didorong hingga disahkan demi menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 sebagai upaya menghadirkan ekosistem bisnis koperasi yang dinamis, adaptif, dan akomodatif bagi kebutuhan anggota dan masyarakat.

Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi pada keterangan resminya di Jakarta, Minggu (5/6), mengatakan UU Perkoperasian yang saat ini berlaku adalah UU Nomor 25 Tahun 1992 yang sudah berusia 30 tahun dengan substansi yang cenderung obsolete (ketinggalan) sehingga perlu diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman dan lingkungan strategis terkini.

“Seiring perubahan cepat dalam dunia usaha dan teknologi serta berbagai permasalahan yang terjadi maka diperlukan UU yang juga mampu mengakomodasi, menjawab perubahan tersebut, dan memperbaiki tata kelola perkoperasian. Dengan demikian koperasi bisa bergerak lincah, modern, dipercaya, dan terutama memberikan kepastian hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran yang dapat menurunkan citra koperasi di kalangan masyarakat,” kata Zabadi.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah munculnya koperasi-koperasi bermasalah sehingga gambaran koperasi di masyarakat kurang baik. Ini bertolak belakang dengan prinsip koperasi, bahwa koperasi dengan azas kebersamaan, kekeluargaan, demokrasi tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesejahteraan kepada anggotanya.

Berbagai permasalahan koperasi saat ini, antara lain penyalahgunaan badan hukum koperasi untuk melakukan praktik pinjaman online ilegal dan rentenir, penyimpangan penggunaan asset oleh pengurus, di lain pihak potensi anggota tidak dioptimalkan, dan pengawasan yang belum berjalan maksimal.

Pelanggaran koperasi yang juga kerap terjadi dalam bentuk tidak adanya izin usaha simpan pinjam maupun izin kantor cabang.

“Banyak koperasi yang dikelola tidak sesuai dengan prinsip dan nilai koperasi sehingga menimbulkan malpraktik yang merugikan anggota maupun masyarakat. Pendidikan anggota dan kerja sama antar koperasi yang merupakan bagian penting dalam pelaksanaan prinsip koperasi tidak diselenggarakan sebagaimana mestinya dan adanya ketergantungan koperasi terhadap dominasi pengurus. Padahal dalam koperasi peran anggotalah yang paling utama,” kata Zabadi.

Salah satu kendala yang juga banyak ditemukan dalam koperasi bermasalah saat ini adalah mekanisme pengajuan PKPU dan kepailitan oleh kreditur/anggota koperasi yang belum diatur dalam UU sehingga menyulitkan anggota yang harus menghadapi proses PKPU dan pailit. Ribuan anggota koperasi bermasalah kini terkatung-katung menunggu proses pengembalian simpanannya yang rumit.

Zabadi mengatakan melihat begitu banyaknya permasalahan yang muncul, maka perlu penguatan dan pembaruan dalam draf RUU Perkoperasian yang akan disusun.

“Ada banyak hal yang akan diatur, salah satu yang ingin diperkuat adalah badan hukum koperasi, menguatkan pengaturan pengelolaan koperasi berdasarkan prinsip syariah, penguatan pengawasan internal, disertai sanksinya,” kata Zabadi.

Selain itu juga, pengaturan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengurus/pengelola koperasi maupun pihak lain yang mengatasnamakan koperasi. Hal ini menjadi perhatian serius agar pengurus koperasi/pengelola bertanggung jawab dan taat azas terhadap semua aturan yang ada. Adapun, pembubaran, penyelesaian, dan kepailitan koperasi akan turut diatur.

Hal krusial lainnya adalah mempertegas regenerasi dan suksesi di koperasi dan mengatur pembatasan masa periode kepengurusan. Menguatkan pengaturan pengelolaan koperasi berdasarkan prinsip syariah dan mendorong penjaminan simpanan anggota koperasi.

“UU Perkoperasian yang akan disusun bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anggota, menghadirkan tata kelola koperasi yang baik dan akuntable, serta memberikan efek jera terhadap pelanggaran ketentuan peraturan sebagaimana diatur di dalam undang-undang perkoperasian,” kata Zabadi.

KemenKopUKM telah membentuk Kelompok Kerja pembahasan Naskah Akademik RUU tentang Perkoperasian yang berasal dari akademisi (ahli ekonomi, ahli hukum), praktisi koperasi, pemerhati koperasi, notaris, ahli hukum, kementerian/lembaga terkait, serta internal Kementerian Koperasi dan UKM. Tim juga sudah mulai bekerja melakukan inventarisasi terkait permasalahan dan perkembangan dinamika perkoperasian. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan secara intensif per klaster RUU Perkoperasian.(Jef)

Membangun Norma Perkoperasian Yang Berkeadilan, Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah Audiensi ke MA

Jakarta:(Globalnews.id)-Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah melakukan audiensi dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro dan Ketua Kamar Perdata I Gusti Agung Sumanatha untuk membahas norma norma hukum di bidang perkoperasian, Selasa (08/02).

Ketua Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah Agus Santoso menegaskan Satgas berpandangan tentang pentingnya mendorong penyempurnaan sistem hukum perkoperasian dengan pembaharuan UU Perkoperasian No. 25/1992.

“Kami sudah meminta pandangan dari Pimpinan Komisi VI dan instansi terkait tentang pentingnya RUU Perkoperasian bisa menjadi hak inisiatif Pemerintah dan masuk ke Prioritas Prolegnas Tahun 2022 ini. Selain itu juga diperlukan adanya  aturan di dalam UU PKPU dan Kepailitan yang baru agar bisa menjadi bridging untuk pengaturan penanganan koperasi bermasalah yang akan diatur di dalam UU perkoperasian yang baru nantinya”, ungkap Agus.

Agus juga menyebutkan bahwa UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah terlalu lama, terlebih Kementerian Koperasi dan UKM sendiri tidak diberi wewenang yang cukup untuk mengatur perijinan, lingkup usaha dan pengawasan terhadap koperasi simpan pinjam. Termasuk juga terhadap Koperasi Simpan Pinjam yang ijinnya diterbitkan oleh  pemerintah daerah”.

“Satgas tugasnya mengawal agar hak-hak anggota dapat terpenuhi sesuai dengan homologasi dan perlu menjaga agar tidak terdapat koperasi yang  masuk proses kepailitan, walaupun ditengarai ada beberapa pihak yang menginginkan itu,” ujar Agus.

Lebih lanjut, Agus juga mengungkapkan bahwa dengan dibentuknya Satgas, maka secara tidak langsung telah menguatkan literasi  perkoperasian bagi anggota Koperasi agar tidak terlalu mudah melakukan upaya hukum untuk mempailitkan Koperasinya sendiri. Karena sejatinya anggota koperasi adalah juga pemilik koperasi itu.

“Oleh karena itu tentu akan membingungkan apabila ada anggota yang justru menginginkan koperasi miliknya jatuh pailit.” Ujar Agus

Di Anggaran Dasar koperasi mengatur mengenai Rapat Anggota Tahunan atau Luar Biasa (RAT/RALB), sehingga permohonan PKPU atau pailit yang pada akhirnya dapat berujung pada likuidasi, idealnya harus disepakati di RAT atau RALB, bukan merupakan keputusan individu anggota tertentu  Namun disadari bahwa hal tersebut tidak diatur dengan cermat di dalam UU Koperasi maupun di dalam UU Kepailitan dan PKPU.

“Terkait hal itu, kami mohon arahan dari Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Kamar Perdata untuk bisa mengisi kekosongan hukum terkait permohonan PKPU atau pailit terhadap koperasi”, sambung Agus.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengamini bahwa pengaturan tentang Koperasi tidak tegas dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

“Pembenahan koperasi harus diawali dengan pembenahan dan perubahan UU Perkoperasian”, tutur Andi.

Selain itu, Andi juga menegaskan bahwa seharusnya PKPU bertujuan untuk melakukan proses restrukturisasi sebagaimana yang telah disepakati dalam Akta Perdamaian (homologasi) sehingga wajib ditaati oleh Koperasi dan Anggotanya demi untuk kepentingan bersama.

“Namun demikian, mempertimbangkan strategisnya persoalan ini dan melibatkan perekonomian masyarakat banyak,  maka dalam rangka pembinaan, kami akan mengingatkan para Hakim di pengadilan agar berhati-hati dalam memeriksa permohonan kepailitan koperasi”, pungkas Andi. (Jef)