Surabaya:(Globalnews.id)- UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dianggap sudah tidak mampu lagi menjadi solusi bagi beragam persoalan faktual yang sedang terjadi di dunia perkoperasian di Indonesia sehingga diperlukan UU Perkoperasian yang baru yang diharapkan dapat mengakomodir dan menjadi solusi jangka panjang bagi perkembangan koperasi di tanah air.
“Oleh karena itu, kami terus menginventarisir dan menjaring masukan dari seluruh stakeholder untuk memperkaya substansi RUU Perkoperasian dalam draf yang sedang disusun bersama ini,” kata Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM Henra Saragih, mewakili Sekretaris KemenKopUKM, saat membuka acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (23/9).
Di acara yang dihadiri para Kepala Dinas Koperasi dan UKM se-Jawa Timur (provinsi, kabupaten, dan kota), pelaku koperasi, serta anggota gerakan koperasi itu, Henra menekankan pentingnya penguatan ekosistem perkoperasian.
“Di dalamnya mencakup pembentukan Lembaga Pengawas Independen untuk memperkuat pengawasan, khususnya bagi sektor simpan pinjam koperasi, agar lebih prudent dan terpercaya,” kata Henra.
Begitu juga dengan pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi yang disebutnya mutlak dibutuhkan untuk memperkuat ekosistem perkoperasian saat ini. Kemudian, pengaturan tentang kepailitan, dimana kepailitan suatu koperasi hanya dapat ditetapkan oleh pejabat berwenang.
Tak ketinggalan adalah pengaturan sanksi pidana yang dibutuhkan untuk melindungi badan hukum, anggota, dan masyarakat luas dari penyalahgunaan dan/atau penyelewengan praktik berkoperasi.
“Banyak hal dari segala permasalahan koperasi tersebut yang tidak tercover dalam UU Perkoperasian yang lama,” kata Henra.
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI M Sarmuji menekankan semangat berkoperasi saat ini harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. “UU yang sekarang ada, termasuk UU 17/2012 yang sudah dibatalkan MK, sudah tidak sesuai lagi,” kata Sarmuji.
Oleh karena itu, menurut Sarmuji, ada kesempatan untuk menyusun UU Perkoperasian yang paling bisa merespons fakta-fakta yang terjadi sekarang. “Secara faktual, ada koperasi yang dikelola dengan baik dan maju. Misalnya Kopontren Sidogiri,” ucap Sarmuji.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit juga koperasi dipakai untuk modus kejahatan tertentu. “Ada 8 koperasi bermasalah dengan masalah sangat besar dan nilai kerugian fantastis yang dalam sidang PKPU disebutkan sebesar Rp26,1 triliun,” kata Sarmuji.
Dari masalah besar itu, Sarmuji mengajak seluruh stakeholder koperasi untuk menarik sebuah pelajaran berharga. Pertama, adanya aset atas nama entitas lain, badan hukum, dan perorangan yang terafiliasi ke koperasi.
Kedua, asset base resolution yang dijadikan dasar hukum global pembayaran, belum sesuai harapan. “Dikarenakan, nilai aset tidak sebanding dengan kewajiban yang harus dibayar koperasi. Bahkan, ada aset yang bukan atas nama koperasi,” kata Sarmuji.
Ketiga, penyaluran pinjaman dalam keadaan macet. Keempat, rendahnya penawaran aset oleh pembeli karena kondisi pasar yang masih dibalut pandemi.
Di samping itu, Sarmuji juga melihat tantangan ke depan yang tidak ringan bagi koperasi. Misalnya, partisipasi anggota koperasi yang masih sangat minim. Kemudian, sosialisasi koperasi yang belum optimal. “Masih banyak masyarakat yang tidak mengenal bahkan tidak peduli terhadap koperasi,” kata Sarmuji.
Tantangan lain, kualitas pengelolaan manajemen koperasi yang belum profesional. “Juga, masih rendahnya modal usaha dan sulitnya pembiayaan terhadap koperasi,” ucap Sarmuji.
Yang tak kalah penting adalah tantangan yang berkaitan dengan infrastruktur atau kemampuan sumber daya koperasi terhadap teknologi informasi yang belum memadai. Belum lagi tantangan dari pinjaman online yang hadir di tengah masyarakat dengan militansi tinggi.
“Aneka tantangan itulah yang harus kita jawab dengan UU Perkoperasian yang baru,” kata Sarmuji.
Salah satu anggota Tim Penyusun Akademis draft RUU Perkoperasian, Dr Noer Sutrisno, menambahkan UU Perkoperasian yang baru harus mampu membangun ekosistem bisnis yang baik untuk memperkuat koperasi. “Ini yang harus kita perjuangkan,” kata Noer.
Sebab, kata Noer, saat ini ekosistem bisnis koperasi masih lemah. Ditambah lagi dengan hubungan kemitraan yang stagnan, akses pendanaan tidak mudah, hingga rendahnya partisipasi anggota terhadap permodalan koperasi.
“Ada koperasi yang mampu mengelola dana besar. Serta, jumlah koperasi banyak tapi dengan skala usaha yang kecil,” kata Noer.
Noer juga berharap RUU yang baru ini memperhatikan tren perubahan demografi, teknologi, dan bisnis secara jangka panjang. “RUU ini juga harus mengakomodir dan mengantisipasi berbagai perubahan, peluang, serta kebaruan,” kata Noer Sutrisno.
Tanggung Renteng
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Koperasi Setia Budi Wanita Dr Sri Untari Bisowarno berharap UU Perkoperasian tidak boleh berbau kapitalis, neokolonialisme, neo imperialisme, dan liberal. “Tapi, harus mencitrakan Indonesia yang Pancasila. Ini hal yang paling mendasar sesuai sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Sri Untari yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Timur.
Kongkretnya, kata Sri Untari, koperasi harus dikelola dengan cara yang baik sesuai dengan jati diri koperasi. Dimana pengurus tidak semaunya sendiri, harus ada Rencana Strategis (Renstra) koperasi yang dikembangkan.
“Dalam penyusunan Renstra, harus melibatkan anggota. Jadi, koperasi harus profesional, tapi tetap berlandaskan jati diri koperasi,” ujar Sri Untari.
Di dalamnya mencakup visi, misi, tujuan target, hingga perumusan kebijakan. “Kalau koperasi mau maju, ya harus ke arah sana,” kata Sri Untari.
Selain itu, Sri Untari juga ingin koperasi beradaptasi dengan teknologi. Termasuk merangkul anak-anak muda untuk semangat berkoperasi.
“Bahkan, saya ingin dalam UU Perkoperasian, sistem tanggung renteng dijadikan sebagai sebuah model. Harus kita kembangkan model koperasi seperti ini, di luar yang konvensional dan syariah,” kata Sri Untari.
Sri Untari juga sepakat bahwa lembaga penjaminan simpanan (LPS) koperasi harus yang ada tertuang dalam UU yang baru. Begitu juga dengan pengawasan koperasi yang mesti diperkuat. “Saya punya cita-cita bahwa ekonomi Indonesia dengan soko guru koperasi. AS yang kapitalis, tapi ekonominya sosialis, sehingga koperasi di sana bisa besar dan kuat,” kata Sri Untari.
Untuk itu, kata Sri Untari, dibutuhkan kebijakan dan regulasi dari mulai UU hingga peraturan pelaksanaan di bawahnya.(Jef)