Jakarta – Wabah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) membuat Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (PUMK) mengalami berbagai permasalahan usaha. Diantaranya, penurunan volume usaha, hingga melemahnya kolektibilitas pinjaman.
“Bahkan, penutupan tempat usaha menjadi hal yang dialami PUMK di masa pandemi yang mengakibatkan mereka terjerat masalah hukum, seperti masalah kredit macet, utang piutang, wanprestasi, hingga masalah ketenagakerjaan dengan karyawan dan sebagainya,” ungkap Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim, pada acara Rapat Koordinasi Penyediaan Layanan Bantuan Hukum Bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, secara daring, Senin (8/11).
Arif mengakui, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, PUMK masih kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari konsultan profesional, baik konsultan usaha maupun konsultan hukum.
Oleh karena itu, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang tertera pada Pasal 48 hingga Pasal 52 tentang penyediaan Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi pelaku usaha mikro dan usaha kecil, Kementerian Koperasi dan UKM telah menyusun program kegiatan fasilitasi hukum untuk membantu PUMK menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi.
“Sehingga, UMK dapat terus menjalankan usahanya dan berkembang dengan baik,” tandas Arif.
Rinciannya, Pasal 48 menegaskan untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada pelaku UMK, Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum diberikan secara gratis.
Pasal 49 berisi persyaratan mendapatkan layanan bantuan dan pendampingan hukum yaitu pelaku UMK dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, memiliki NIB, serta menyerahkan dokumen berkaitan dengan perkara.
Sementara Pasal 50 menegaskan untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada pelaku UMK yang meminta layanan bantuan dan pendampingan hukum yang disediakan pihak lain. “Tata cara dan besaran pembiayaan layanan ditetapkan oleh Menteri,” imbuh Arif.
Sedangkan Pasal 51 menyebutkan bahwa dalam memberikan bantuan dan layanan pendampingan hukum, pemerintah pusat dan pemerintah daerah melaksanakan beberapa hal. Pertama, melakukan identifikasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh pelaku UMK.
Kedua, membuka informasi kepada pelaku UMK mengenai bentuk dan cara mengakses layanan bantuan dan pendampingan hukum. Ketiga, meningkatkan literasi hukum;
Keempat, mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program dan kegiatan layanan bantuan dan pendampingan hukum.
“Kelima, melakukan kerjasama dengan instansi terkait, perguruan tinggi dan atau organisasi profesi hukum,” jelas SesKemenKopUKM.
Berikutnya, Pasal 52 memaparkan pelaksanaan layanan bantuan dan pendampingan hukum dilaksanakan oleh Kementerian/lembaga dan perangkat daerah yang membidangi usaha mikro, kecil dan menengah sesuai dengan kewenangan.
Dimana hasil pelaksanaan layanan bantuan dan pendampingan hukum dilaporkan kepada Kementerian Koperasi dan UKM. “Kementerian Koperasi dan UKM melaksanakan evaluasi paling sedikit satu kali dalam setahun,” tukas Arif.
Arif menambahkan, program layanan bantuan dan pendampingan hukum ini secara khusus ditangani Asisten Deputi Fasilitasi Hukum dan Konsultasi Usaha yang dibentuk di bawah Deputi Bidang Usaha Mikro, sesuai dengan nomenklatur Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 1 tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Koperasi dan UKM.
Tujuannya, lanjut SesKemenKopUKM, agar fokus membantu pelaku UMK mengatasi permasalahan hukum. “Hal ini merupakan salah satu bentuk keseriusan kami dalam membantu pelaku UMK untuk mendapat kemudahan dengan dibentuknya struktur satuan kerja sesuai dengan amanat PP Nomor 7 Tahun 2021,” papar Arif.
Arif berharap, agar amanat PP Nomor 7 Tahun 2021 dapat secara massive terealisasi di Indonesia secara merata, dari setiap Dinas yang membidangi Koperasi dan UKM di Provinsi, Kabupaten dan Kota, agar mulai menyiapkan organisasi bantuan hukum KUMKM pada struktur satuan kerja perangkat di daerah masing-masing. Sehingga, kemudahan pelaku usaha mikro dan kecil dalam mencari perlindungan hukum dapat tercipta.
Layanan Terpadu Satu Pintu
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Usaha Mikro KemenkopUKM Eddy Satriya menjelaskan, berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 2021 pasal 48 ayat (1) mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum (LBPH) bagi usaha mikro dan kecil.
“Untuk itu, kami telah membentuk program layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi usaha mikro dan kecil yang disingkat LBPH-PUMK,” kata Eddy.
LBPH-PUMK sejak Juni 2021 telah melakukan layanan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang berada di lantai dasar Kementerian Koperasi dan UKM.
Selain melakukan layanan hukum di PTSP, tahun ini juga telah dilakukan beberapa kegiatan. Diantaranya, penyuluhan hukum tentang hak merek dan perjanjian/kontrak kepada 50 orang pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di 10 lokasi. “Yakni, Denpasar, Yogyakarya, Tuban, Magelang, Semarang, Pekalongan, Tasikmalaya, Serang, Medan, dan Banjarmasin,” ujar Eddy.
Kegiatan lainnya adalah bantuan dan pendampingan hukum kepada 10 UMK yang bermasalah hukum di Bali, Jawa Timur, DIY, dan Jakarta.
Eddy berharap, sesuai amanat PP 7 Tahun 2021, Dinas yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat segera membentuk layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi usaha mikro dan kecil sebagaimana yang sudah dibentuk di Kementerian Koperasi dan UKM. “Agar UMK yang memerlukan layanan hukum dapat diberikan dan terlayani,” pungkas Eddy.(Jef)